Nov 30, 2007

A Heartbreaking Gift

Sebuah kado special dan tak akan terlupakan seumur hidup, aku terima tepat di hari ulang tahunku.

Sore kemarin, Dewi adik iparku dengan panic menelpon dan memberi kabar bahwa bapak belum juga pulang. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Tidak biasanya bapak belum pulang hingga sesore itu. Apalagi beliau pamitan hanya pergi ke puskesmas di Cilebut, yang jaraknya maksimal 30 menit naik angkot. Paling lama akan memakan waktu sampai jam 11 siang. Dan seharusnya tak sampai jam 11 karena bapak sudah berangkat ke puskesmas sejak pukul enam pagi.

Aku ikut merasakan kepanikan Dewi. Bagaimanapun, tinggal bapak satu-satunya orang tua tumpuan kasih sayangnya, setelah belum genap seratus hari emak pergi. Tapi aku tak mau makin membuatnya sedih kalau aku ikutan panic. Walaupun dalam hati dan pikiran aku sangatlah kalut. Biar saja ada yang menyangka aku tak punya hati, melihatku tetap tenang dalam situasi begitu. Aku lebih suka berpikir dulu, mencari setidaknya jawaban untuk pikiranku agar hatiku tak terlalu banyak mendapat porsi perhatianku. Biar saja pikiran kemana-mana, menduga-duga, mengira-ngira segala sesuatu yang masuk akal. Daripada hanya bisa sedih, lalu tak bisa berbuat apa-apa.

Aku tak mengatakan bahwa aku sebenarnya sangat takut adanya kemungkinan terburuk akan tiba. Bapak sudah tua, umurnya sudah 85 tahun. Banyak sebab yang bisa membuat bapak terluka. Selain penglihatan yang mulai rabun, bapak mulai kehilangan pendengaran. Pikiranku mengatakan, bisa saja bapak terluka atau bahkan sesuatu yang lebih gawat saat menyeberang rel kereta karena “keisengannya” berbelanja makanan kesukaannya di pasar dekat stasiun.

Karenanya, saat naik angkot dan kereta ke bojong, aku pasang telinga baik-baik. Mungkin saja aku bisa mendapatkan sebuah informasi, jika ada sebuah peristiwa terjadi antara Bojong gede – Cilebut.

Aku tahu bapak belum pikun, karena selalu tahu jalan pulang. Jadi, sekuat apapun pikiranku mencoba mengelak dengan berbagai pikiran”manis”, aku semakin terseret dalam kekhawatiran. Hati kecilku terus berteriak: pasti ada sesuatu yang terjadi dengan bapak. Tapi jika harus mencari, kemana kaki harus kulangkahkan? Ke puskesmas? Tidak mungkin, jam 12 siang mereka sudah tutup, dan jika ada sesuatu mereka pasti sudah menghubungi keluarga karena bapak selalu membawa KTP saat berobat. Bagaimana jika bapak pergi ke Bogor selesai berobat? Jika ada sesuatu di sana, bagaimana harus menemukannya? Perang batin ramai berkecamuk. Pikiran buruk dan doa saling berkejaran.

Lalu ditambah dengan rasa berdosa karena aku sebagai anak merasa gagal menyenangkan orang tua. Padahal itu jadi misi utamaku sejak emak pergi dan aku merasa belum pernah membahagiakan hatinya. Mungkin juga pernah menyakitinya tanpa sempat termaafkan.
Tapi aku terus berusaha selalu berharap yang terbaik, karena itu tak pernah salah, dan karena itu adalah doa. Siapa pula manusia yang mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi pada diri atau keluarga sendiri? Kecuali dia sudah sinting!
Tapi jika itu harus terjadi, benarkah aku telah siap?

Ternyata tidak! Semakin larut, mulutku semakin rajin menggumamkan kekesalan, pengharapan, doa, dan kesedihan. Kesal pada bapak yang teramat keras kepala, selalu merasa masih bertubuh kuat seperti masa muda dulu. Segala sesuatunya ingin dikerjakan sendiri, malu jika meminta bantuan. Tapi lebih kesal lagi pada diri sendiri yang kurang keras kemauan untuk menemani bapak. Yang menyakitkan hati adalah, aku hanya bisa berdoa mengharapkan yang terbaik. Dan sedih yang ku rasakan karena sebenarnya hari ini aku dan suami plus beberapa teman dan murid ingin membuat bapak senang dengan acara bakar ayam di rumah bapak. Kalau biasanya di Cilebut, dan kali ini memilih di Bojong, semata-mata karena ingin berbagi kegembiraan.

Tapi, memang kali ini menjadi sebuah penanda bagiku. Aku mendapatkan teguran dari Allah, karena kemarin aku merasa segalanya “aman-aman” saja. Ternyata, masih banyak kekurangan pada diriku. Aku harus lebih baik, lebih perhatian pada keluarga, lebih segalanya.

Setelah menunggu tanpa kepastian, menjelang pukul sembilan malam, kabar itu datang. Bapak ditemukan di sebuah tempat yang bukan merupakan jalur bapak biasa pulang pergi (cukup jauh dari rumah dan stasiun). Bapak, ditemukan orang tercebur ke dalam sungai yang “untungnya” sedang surut. Itupun jika tak ada tetangga bapak yang kebetulan lewat di tempat kejadian, tak seorangpun mengenal bapak. Dan jarak waktu terjatuh dan ditemukan tetangga setidaknya tiga jam.

Bapak pulang dengan tubuh menggigil dan membiru. Luka terbuka di sekujur tubuh dan perban teramat lebar di kepala sungguh mengejutkan dan memilukan. Saat Bapak pergi, tak sedikitpun luka di tubuhnya. Baju yang dipakainyapun bukan kemeja bapak lagi. Katanya itu dipinjamkan oleh seorang ibu yang menolong dan iba kepadanya.

Apa yang telah terjadi pada bapak?

Bapak pulang dengan trauma di wajahnya. Pertolongan yang kami berikan selalu ditepisnya. Gerakan tangannya menggapai seperti hendak berteriak minta tolong. Dan suara-suara yang keluar dari mulutnya tak bisa kami mengerti. Mungkin mengaduh, atau ingin mengadu. Kami hanya bisa tergopoh bertanya apa yang sakit dan apa yang terjadi.

Bapak pulang, dengan tanpa mengenali kami lagi. Tubuhnya limbung, dan sinar matanya linglung. Dewi dan Kakak tak bisa membendung air matanya. Aku? Sebenarnya aku ingin menangis meraung-raung, ingin mencaci siapa pun orang yang tega melakukan ini pada bapak. Aku ingin dia merasakan apa yang bapak rasakan. Aku ingin meneriakkan di teliganya: “bapak sudah tua, kenapa kamu tega melakukannya?”

Beberapa orang “pahlawan” kami hari itu juga bertutur, saksi mata kejadian itu sempat melihat bapak berdiam lama di bawah pohon dekat jembatan sebelum akhirnya berjalan menyeberang jembatan. Bahkan mereka berpikir bapak bukan orang waras, karena bajunya berangkap empat, dua diantaranya baju seragam anak SD. Bapak juga terlihat menenteng dua bungkusan, yang setelah terjatuhnya bapak, bungkusan itu tak terlihat lagi.

Mereka juga bilang, terkaget-kaget waktu menyaksikan tubuh bapak sudah penuh luka saat diangkat dari sungai. Malah bapak sempat menolak diangkat dari sungai. Bapak lebih memilih berjalan perlahan sambil berpegangan sempadan kali, melewati bawah jembatan.

Ya, Tuhan! Betapa perih dan sakitnya hatiku. Tak terbayang betapa menderitanya bapak melalui semua itu. Dengan tubuh penuh luka, limbung, lalu bapak pulang sendiri tanpa seorangpun menemani. Dengan baju bertumpuk-tumpuk, berdiam di bawah pohon karena (mungkin, menurutku) bapak merasa pusing dan sakit kepala, malah disangka orang gila. Yang membuatku semakin sakit, kata mereka bapak masih tergolong beruntung karena sungainya waktu itu sedang surut. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi, mungkin selamanya kami akan mencari.

Dengan menguatkan hati, kami berusaha memberikan yang terbaik saat itu. Kami menyelimutinya rapat-rapat, agar dingin yang menyekap tubuhnya segera pergi. Tapi luka-luka di kepala dan di tangannya, membuat kami tak berhenti menduga-duga apa yang telah terjadi?

Jika luka itu akibat pukulan penganiayaan, tak ada lebam lain di sekujur tubuhnya. Jika orang itu bermaksud jahat pada bapak, untuk apa bapak diobati? Beberapa orang lain mengatakan bapak sempat terlihat di bawa oleh dua orang berkendara sepeda motor ke sebuah klinik. Mungkinkah bapak korban tabrak lari, dan diantar berobat oleh penolongnya?

Bungkusan kantong plastic yang dibawa pulang, adalah empat baju yang dipakainya sekaligus dan basah karena terjatuh di sungai. Di saku celana, tak ada lagi dompet bapak.
Dan, kemana baju bapak? Apakah dua kantong yang ditentengnya itu adalah baju bapak? Kenapa bapak ada di tempat itu? Kemana saja sebenarnya bapak pergi?

Setelah di telusuri ke lokasi bapak terjatuh, dan warung tempat bapak di tolong, makin banyak keterangan yang membingungkan. Ada yang mengatakan sempat melihat bapak di stasiun Bojonggede, bahkan ada pula yang melihat bapak hampir tertabrak sedan. Tetapi sebuah petunjuk datang saat mendatangi tempat bapak berdiam, ada beberapa bungkus obat yang menurut saksi itu punya bapak. Tapi benarkah ini semua obat yang diminum oleh bapak? Sebanyak ini?

Tak lama Pak Mantri datang memeriksa. Melihat kondisi bapak, beliau menyarankan untuk di bawa ke rumah sakit sesegera mungkin. Takut luka di kepala itu akibat benturan. Apalagi lukanya berada di bagian kepala belakang yang biasanya menimbulkan cedera (gegar) otak. Dan setelah ditunjukkan obat-obat yang ditemukan, beliau makin yakin itu obat yang diberikan setelah kejadian karena ada penghilang mual, penahan sakit, dan antibiotic.

Kami termangu sampai Pak Mantri pulang…

Tiba-tiba aku tertarik bungkusan obat penahan sakit yang sudah “hilang” enam buah kapsulnya. Aku jadi berpikir, jangan-jangan kejadianya pagi hari saat bapak pergi ke puskemas atau setelahnya. Karena, jika dosis yang diberikan adalah 3 x 2 kapsul/hari, dan bapak sudah meminum 6 tablet/kapsul, berarti jatah untuk sehari telah terpenuhi.

Apalagi yang bisa membuat kami bisa membela diri sebagai anak yang baik? Dari pagi hingga malam, kami “membiarkan” bapak terkapar sendirian tanpa seorangpun menyadari. Kami semua sibuk urusan sendiri! Padahal dulu, bapak bekerja untuk kami. Semua hal tentang kami bapak peduli.

Hari ini aku menangis pilu. Waktu itu aku juga menangis, merasakan kepedihan kehilangan kasih sayang ibu yang pergi karena sakit. Tapi ternyata, tangis penyesalan jauh lebih menyakitkan daripada sakit karena kehilangan. Kata “Andai saja, waktu itu....” menjadi sembilu yang mengiris hati, lebih pedih ketimbang kata “selamat tinggal…”

Aku benar-benar menangis. Biar saja orang mengatakan, semua sudah terjadi tak perlu di sesali. Aku tak peduli. Sesal yang menyesaki dada ini adalah milikku. Aku yang merasakan. Di mataku pula bayangan bapak yang kesakitan dan menderita terus menghantui. Ku biarkan saja kata “andai saja..” itu terus mengganggu pikiran dan hatiku. Tak apa-apa. Itu hukuman yang pantas untukku. Jika itu bisa membuat bapak kembali sehat, aku rela. Aku akan “menikmati” sesal ini sampai kerelung jiwa agar aku tetap mengerti rasanya. Agar nanti aku tak mengulang lagi, dan menemukan sesal yang sama.

Tuhan, ampunkan hamba yang lalai menjaga bapak….. kami tak pantas mengaku cinta pada bapak dan Engkau. Berikan kami ajaran ayat-ayat cintaMu, agar kami bisa belajar mencintai dengan lebih tulus dan ikhlas. Terimakasih atas teguranMu, bagi kami ini wujud cintaMU.

Sekarang, ijinkan kami merawat bapak sebaik-baiknya. Berikan kami kesempatan untuk membahagiakan bapak. Jangan biarkan kepala kami menggeleng untuk bapak, jangan biarkan mata kami tertutup untuk bapak. Biarkan tangan kami terus menggandeng dan menjaganya. Tolong sembuhkan bapak. Biarkan Bapak kembali melihat wajah kami yang akan terus tersenyum untuknya.

Tuhan….berikan bapak kesembuhan, dan kekuatan. Hanya dia pemersatu kami saat ini. Kami akan terus menyayanginya. Kami akan selalu datang untuknya. Kami ingin bapak hadir di tengah-tengah kami. Tertawa bahagia, seperti dan lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Tuhan, kuatkanlah juga hati kami. Agar bapak kami tak lagi mendapatkan kesedihan karena kami, anak-anaknya yang dicintai.

Amien Ya Rabbal Alamien…..!

Minggu, 25 November 2007

Nov 16, 2007

Aku si Gerobak...

Aku masih saja teronggok di depan sebuah markas militer. Di sebelahku ada juga temanku. Bukan, bukan karena terkena razia lalu dilarang berjualan. Aku terpaksa begini karena sedang menunggu pemilikku datang. Sudah lebih dari setahun dia tak pernah menegokku. Yang aku dengar dari gerobak warung kopi sebelah-yang sering nguping dari pemiliknya, dia kini kerap di dera sakit. Tubuhnya semakin renta hingga si Angin begitu mudah mengoyak dan menembus kulitnya.
Ah, memang jahat si angin itu! Aku juga tak suka kepadanya.
Setiap melewatiku, tubuhku selalu di goncang-goncang seperti berharap kerudung dan kepalaku lepas. Setelah aku benar-benar menderita, si angin berlalu begitu saja.

Sebenarnya aku sangat berharap pemilikku akan membersihkan aku dari debu yang makin tebal menutupiku. Aku ingin bersolek lagi dan menemani gelak canda para pembeli yang cerewet. Aku rindu sapaan anak-anak muda yang sering lewat dan menyapa pemilikku dengan raungan motornya. Tapi aku juga sering merasa sebal dengan tingkah para anak muda itu yang sering memprotes minuman racikan pemilikku. Katanya kurang manis, atau esnya kurang banyak! Atau ketika mereka mengurangi hitungan satu botol, membuat si kakek, pemilikku merugi.

Kemana ya, si kakek? Bapak tentara teman ngobrolnya pun sering bertanya-tanya. Mungkin dia butuh semangat dari kakek. Atau dia kesepian karena tak ada lagi yang menemaninya berjaga. Kemarin lusa, dia mengunjungiku lagi berharap kakek muncul. Aku suka pada si bapak tentara ini, dia begitu menghormati si kakek meskipun kakek bukan seorang jenderal. Baginya, si kakek melebihi seorang jenderal. Seorang pejuang, adalah cikal bakal tentara, jadi wajib di hormati. Bahkan rasa hormat itu becampur kagum, dan haru karena ternyata perjuangannya tidak terhenti ketika Indonesia merdeka. Bahkan perjuangan yang makin berat ada dihadapannya. Di tahun-tahun berikutnya, si kakek berjuang sendiri untuk hidup keluarganya. Berjualan es menjadi pilihannya. Entah bagaimana mulanya.

Lalu, lahirlah aku! Aku seumur anaknya yang pertama. Akulah yang menjadi saksi perjuangan si kakek. Aku menemaninya melayani pembeli yang terus mengerubutiku. Ah, aku sering kewalahan melayani mereka. Tapi capekku menjadi hilang waktu si kakek (yang waktu itu masih muda) pulang dengan senyum bahagia. Hari itu, sepuluh anaknya bisa makan.

Dulu, kakek juga punya becak. Tapi Pak Gubernur membuatnya harus berpikir lagi dan berusaha lagi dari nol. Becak-becak itu tidak bisa dia selamatkan atau setidaknya dibawa pergi ke Tegal tempat nenek moyangnya.

Apa Pak Gubernur waktu itu hanya peduli mobil? Sampai-sampai becak-becak itu harus menjadi penghuni dasar laut?

Kasihan si kakek…
Aku tak boleh dan tak pernah mengeluh. Bahkan saat kakiku patah aku tak berhenti menemani berjualan. Aku tak pernah merasakan kesal, kakek perhatian sekali padaku. Selesai tugasku menemaninya, kakek akan membersihkan ku, seperti memandikan anak sendiri. Merapikan aku kembali sebelum beranjak pulang. Aku tidak takut ditinggal sendirian, karena esok pagi-pagi sekali kakek akan menjumpaiku lagi.

Tak terasa waktu telah berjalan berpuluh tahun. Di sebelahku telah berjajar penjual-penjual lain yang membawa teman lebih cantik dariku. Benda-benda penghiasnya juga cantik-cantik. Kadang aku sebal dengan mereka, ngiri juga mungkin. Mereka bilang kakek kuno, berjualan es masih pakai gelas kaca dan itu membuatku terlalu berat untuk di bawa-bawa. Sedangkan mereka selalu diajak berjalan-jalan di sepanjang gerbong kereta atau sekedar nongkrong di peron.

Tapi, apa benar itu yang membuat warung kakek semakin sepi?

Kata mereka lagi, minuman kakek juga kuno, warnanya cuma ada merah yang rasanya entah apa namanya. Kalau pemilik mereka, selalu menyediakan minuman yang berwarna-warni, rasa yang enak-enak dan nggak perlu ditunggui. Selesai minum, buang saja wadahnya.

Tapi kakek tetap maunya bikin sirop sendiri, dia nggak suka manis dari gula biang. Ah, dia memang peduli dengan pembelinya. Tapi apa, pembelinya nggak peduli tuh! Mereka bilang minuman kakek nggak praktis! Nggak bisa diminum sambil jalan. Lho, bukanya makan atau minum sambil jalan itu pamali? Tapi, memang pembeli sukanya begitu.

Makin sepilah warung kakek. Apalagi sejak kakek pindah ke Bogor. Selain bukanya jadi agak siang, kakek segera berbegas pulang begitu Ashar menjelang. Padahal kan, kakek pulang barengan orang-orang pulang dari kerja yang sangat mungkin butuh minum dan istirahat. Tempatku berdiri kan bagus, di bawah pohon rindang, dan nggak terlalu ramai kendaraan lalu lalang.

Tapi Kakek bilang, kalau kesorean, kereta akan terlalu penuh dan kakek tak kuat lagi berdesakan. Baiklah, aku mengerti. Lebih baik begitu daripada hari ini pulang terlalu malam, tapi keesokan harinya kakek tak datang.

Hari-hari kini semakin jarang kakek mengunjungi. Aku jadi semakin rindu masa-masa dulu sewaktu aku masih sering di dandani. Seorang bapak tentara betah menemani kakek bercengkrama berlama-lama. Kisah-kisah perjuangan kakek semasa perang kemerdekaan dulu kerap menjadi penyemangat si bapak tentara. Dia juga kerap membantu kakek ketika aku di guncang angin, atau membenahiku saat hujan mengguyur. Kakek memang masih sayang padaku.

Kemanakah gerangan kakek sekarang?

Tiba-tiba aku melihat kelebat anak lelaki si kakek. Dia menyapa bapak tentara yang kebetulan juga sedang menengok keadaanku. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku lihat raut wajah si bapak tentara terlihat kaget lalu sedih. Sejenak kemudian dia menyalami si anak kakek erat-erat. Anak lelaki kakek menengok sejenak ke arahku, lalu beranjak pergi dengan kepala tertunduk.

Aku jadi berpikiran buruk. Tidak…jangan…! Janganlah itu berarti sesuatu yang membuatku sedih. Apakah kakek…. pergi untuk selamanya? Tidak…..!

Si bapak tentara tiba-tiba bergegas berlari ke arahku. Dia mencoba membenahi kerudung di kepalaku yang akan lepas. Dia heran, padahal angin tak sedang lewat. Seorang teman datang membantu, dan bertanya-tanya kenapa tiba-tiba kerudungku akan lepas.
Si bapak tentara cuma bisa menggelengkan kepala. Lalu dengan sedikit bercanda dia mengatakan mungkin aku sedang bersedih.

Memangnya kenapa, pak? Tanya teman si bapak itu lagi.
Karena isteri si kakek kemarin meninggal…..jawabnya. Si teman mengangguk-angguk seakan mengiyakan jawaban si bapak tentara.

Oh, itulah sebabnya. Aku ikut sedih untuk kakek. Setahuku kakek sangat mencintai isteri yang memberinya sepuluh anak itu. Kata kakek, isterinya itu sangat jujur dan pendiam. Dia juga isteri yang iklhas. Ah, pasti kakek merasa sangat kehilangan. Jangan kuatir kek, aku akan selalu ada untukmu. Janganlah lama-lama bersedih.

Tapi, apakah kakek akan tetap berjualan? Entahlah. Mudah-mudahan saja. Kakek tak pernah bisa berdiam lama. Mudah-mudahan kakek cepat pulih dari kesedihan, dan bersama-samaku lagi mengisi waktu.

Tapi, mungkin saja kakek takkan berjualan lagi dan berniat menjualku? Kalau demikian adanya, akulah yang akan merasa kesepian. Aku juga takut pemilikku yang baru tidak merawatku dengan baik.

Kek, kalau boleh memilih, aku ingin tetap bersama kakek. Semangat hidup kakek membuatku selalu gembira bersama kakek.

Tapi kalau kakek menginginkanku pergi, tak apa. Aku akan tetap mengenang kakek sebagai orang terhebat. Meski seumur hidup tak pernah diakui sebagai pejuang kemerdekaan, akulah yang mengakuimu sebagai pejuang terhebat. Anak-anakmu yang tumbuh menjadi generasi penerus yang penuh semangat, akan menjadi trophy penghargaanmu yang terbaik.

Sep 15, 2007

Emak...

Meski napasmu telah terhenti,
Meski ragamu tak lagi menemani,
Meski senyummu tak lagi menghiasi hari.
Kasihmu,
Selamanya akan menghangatkan hati.

Emak....,
Ketika kami rindu hadirmu,
Jika kami dahaga belaimu,
Kami hanya bisa berdoa,
Semoga Tuhan memberimu tempat terbaik.
Karena,
Engkau
Ibu terbaik yang selalu pandai menyimpan duka sendiri,
Tuturmu yang lembut namun tegas,
Tak pernah membuat kami ragu,
Betapa kau selalu ada dalam naungan lindunganmu.

Selamat jalan Emak...
Kami akan selalu merindukanmu.


Bogor, 7 September 2007

Sep 4, 2007

sedang cuti panjang....

kangen menulis. apa daya tangan dan badan hanya satu pasang. sekarang sedang cuti panjang, karena memilih menulisi batin dengan sebuah pelajaran baru dari perjalanan tersulit dalam hidup. doakan saya bisa melewati yang satu ini.

Jun 22, 2007

Apa Enaknya?

Aku selalu bertanya pada temanku yang merokok, apa enaknya? Ada yang bilang, tidak bisa berpikir kalau tidak ada rokok. Bagiku yang tidak merokok, jawaban itu membuat ku harus berpikir keras sekaligus merasa lucu, seakan otak kita benar-benar bergantung pada sebatang rokok. Apakah itu berarti, begitu sebatang rokok habis, habis juga pikiran kita? Dan, untuk bisa berpikir lagi, harus ada sebatang rokok lagi. Begitu kah? Padahal bagiku justeru terbalik. Begitu ada rokok, buyar seketika konsentrasiku.

Kalau aku tanya apa tidak mikir bahayanya? Mereka bilang, mikir! Tapi, mereka lalu buru-buru menambah: karena sudah terlanjur (ketagihan) ya diteruskan aja. Enak sih…., begitu selalu kata mereka.

Saking enaknya merokok, mereka lebih memilih tidak makan daripada tidak merokok. Apa iya? Aku tidak yakin dengan pernyataan itu. Coba kita pikir. Jika setiap hari (selama sebulan) mereka hanya punya uang lima ribu rupiah, apa benar mereka akan memilih membeli rokok ketimbang makan? Pasti perut yang melilit membuat otak akan sedikit gila. Rokok tidak akan membuat perut keroncongan jadi kenyang. Dan, apakah mereka akan tetap memiliki pikiran yang jernih tanpa asupan energi dari makanan?

Aku selalu berpikir itu hanya alasan yang dibuat-buat, supaya orang yang tidak suka merokok berhenti mengganggu. Tapi, bukankah semakin dia berusaha “defence” dengan “membualkan” segala kenikmatan merokok, semakin menunjukkan bahwa sebenarnya dia tidak yakin dengan “manfaat” rokok itu sendiri?

Ada alasan lain: beberapa orang merokok untuk menjaga berat badan agar tidak melar. Kenapa bisa begitu? Karena, merokok bisa menggantikan kebiasaan ngemil. Kalau yang ini, aku bisa bilang: oke, it makes sense! Tapi bukan tidak mungkin, selain kurus karena tidak ngemil, pasti karena dalam tubuh ada sakit yang telah menggerogoti. Di sadari atau tidak, di akui atau tidak, itulah “kerjaan” rokok. Kalau masih muda, memang lebih gampang mengelak dengan berbagai alasan. Apalagi tubuh memang masih terlihat bugar. Tapi lihat beberapa tahun lagi. Andai saja dada manusia dibuat transparan, pasti paru-paru yang menghitam langsung terlihat. Batuk pun datang menyambangi saban malam. Setelah itu, berbagai macam pil atau kapsul pun harus mengisi perut yang berisi zat untuk mencuci tubuh d pembuluh darah dari banyak kotoran.

Kalau mengaku waras, kenapa tidak memilih untuk mengganti cemilan dengan selain rokok? Ada banyak cara jika mau, yang lebih sehat tentunya.

Tapi, mungkin aku tidak akan pernah bisa memahami pilihan para perokok. Walaupun bagiku, mereka lebih nampak sebagai orang yang hidup dengan mitos dan sugesti.
Mitos itu berasal dari sebuah anggapan bahwa, tidak merokok sama saja dengan banci. Nggak jantan! Lalu, karena takut dianggap tidak jantan, serta merta mereka tersugesti untuk terus mengkonsumsi barang berbahaya itu. Lucu, ya…selalu saja mitos itu di luncurkan untuk melawan keadaan sebenarnya.

Kalau dipikir-pikir, mitos-mitos yang beredar di kalangan lelaki memang sering menyesatkan. Bukankah laki-laki atau tidak sebenarnya tidaklah ditentukan dari sebuah sebutan? Dan laki-laki, katanya, selalu mengendepankan pikiran, alias ber-otak, bukan main perasaan seperti perempuan. Tapi lihat faktanya! Memikirkan soal rokok saja, keadaan sudah jungkir balik. Perasaan jadi yang terdepan begitu di usik soal unsur kejantanan ini. Gara-gara iklan, pikiran jadi termakan. Kalau para lelaki itu bisa mikir, atau minimal bisa baca-lah.., pasti mereka tahu rokok lebih banyak bahayanya dari pada manfaatnya. Bahkan lambang kejantanan ini bisa membuat kejantanan yang sebenarnya seperti asap rokok yang tertiup angin. Ada tapi tak nyata. Tanpa itu, lelaki lebih tak berharga bukan?

Entah apa yang ada dibenak manusia. Kedengarannya sia-sia manusia diberikan otak untuk berpikir. Bagaimana tidak, mereka sudah tahu betapa rokok itu tidak ada manfaat sama sekali, bahkan untuk orang sekitarnya. Tapi, tetap saja mereka merokok. Bahkan, saking buruknya pengaruh nikotin, saran yang mereka berikan untuk non perokokpun sama sekali tak masuk akal. Pasti banyak orang telah mendengar saran ini:
“kan perokok pasif lebih banyak dapat racunnya, jadi mendingan jadi perokok aktif”

Menurutku mereka sudah gila. Tidak hanya berani menunjukkan kebodohan mereka, tapi juga sama sekali tidak menghargai keberadaan orang lain yang berhak atas udara tanpa tambahan pencemar.

Tapi, mungkin memang lebih enak bersikap begitu. Masa bodoh. Dianggap bodoh terserah, dianggap pinter juga alhamdulillah... karena kalau dianggap bodoh, mereka tidak terbebani lagi tanggungjawab untuk menjadikan diri lebih pinter bersikap atau berpikir. Aku kan bodoh, jadi ya terserah orang lain mau kena asap rokok atau tidak.... salah sendiri dekat perokok! Sana pergi ke tempat lain yang tidak ada perokoknya....

Duh, gemesnya...! Mana ada sih, di Indonesia ini tempat umum yang tidak ada asap rokoknya? Dari perkantoran sampai WC umum tidak pernah lepas dari asap rokok. Bahkan bapak-bapak menggendong bayipun tidak mau melepaskan rokok di mulutnya.
Kalau diingetin, marah duluan yang datang. Bikin kesal kan? Kesannya aku ini bawel aja, orang lain nggak ada yang protes kok!

Padahal aku yakin bukan hanya aku yang protes. Cuma seringkali, mereka lebih kalah ngotot dengan si perokok. Jadi perokoknya yang menang. Ya kuncinya itu tadi, masa bodoh. Senang aja kalau yang memprotesnya pergi menyingkir. Si pengganggu sudah pergi. Bebas....!

Ya, tapi kalau aku harus adil memang masih ada perokok yang tidak (masa) bodoh. Mereka masih mau berpikir untuk memilih dirinya saja yang sakit karena rokok, tidak usah mengajak orang lain sakit. Kan memang ada tempat yang diperuntukkan khusus bagi mereka. Puas-puasin deh merokok di tempat itu.

Ada lagi yang protes: ah, loe nggak ngerokok sakit. Gue ngerokok nggak kenapa-napa?
Wah, untuk yang satu ini aku cuma bisa bilang: yakin loe nggak sakit? Menurut gue sih, loe tinggal tunggu tanggal mainnya aja! Gue nggak ngerokok aja sakit, apalagi ngerokok! Kalau loe bisa mikir, pikir deh...apa sebutan untuk orang yang dengan suka rela memasukkan racun ke dalam tubuh sendiri?

Jika untuk urusan di atas (mikirin diri sendiri) saja mereka tak bisa mikir, apalagi mikir-in orang lain yang juga kena dampaknya? Boro-boro, deh….

Selamat Hari Tanpa Tembakau Sedunia....(kapan ya, aku lupa! Tapi memang sebaiknya setiap hari aja).
Sebentar lagi adalah Hari Anti Narkoba (harusnya setiap hari juga). Waspada aja, karena merokok itu jembatan emas menuju pada kelas yang lebih gawat. Itu tuh, Narkoba!

Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia juga (yang ini wajib setiap detik, menit, jam dan hari). Udara sudah terpolusi tanpa asap rokok, jangan nambah-nambahin. Medingan itu uang rokok untuk beli premi asuransi kesehatan, biar kalau sakit nggak repot. Sehat itu mahal. Sakit juga nggak ada enaknya. Obat murah sudah habis di borong spekulan. Mereka bukan orang sakit, Cuma nurani nya aja yang sakit. Di negara ini sudah begitu banyak orang sakit dan bodoh, jadi nggak usahlah bergabung dengan mereka.

Setuju? Itu yang diharapkan!

May 12, 2007

Seni (ber) Suara...

Aku tak hendak menjadi ahli seni suara apalagi mengajarkan bagaimana berseni suara. Suaraku sendiri, wah..jauh…dari apa yang di sebut berseni. Aku hanya ingin sekedar menyuarakan suaraku. Mumpung aku lagi sadar aku punya suara dan pengen menyuarakannya. Kemarin sih sebenarnya sudah sadar, tapi, kadang aku di buat nggak sadar oleh sesuatu. Itu lho, yang biasa kita bilang bungkam atau membisu seribu bahasa. Meski membisu kadang sama sekali tidak menyenangkan, nggak mudah dan nggak murah. Tapi, sesekali itu perlu.

Membungkam suara itu jelas tidak mudah, wong dari kecil kita diajari bersuara dan bicara! Lha, sekarang sudah bisa bersuara (pinter malah), kok sering disuruh diam.
Belum lagi saat kita dipaksa diam, kita mendengar suara-suara lain dengan lantang menantang. Mulut jadi gatal ingin menyemburkan semua suara yang sudah kita pelajari. Kuping panas, darah mendidih, kepala mau meledak, mata melotot, dan semua gejala mengkhawatirkan langsung muncul... jika tak terkendali, bisa ditebak segala sesuatu nya akan segera meledak! Dan, sebagaimana diketahui, yang namanya ledakan, pasti membuat kehancuran. Sudah suara tidak didengar, hancur lagi semuanya...

Akibat pem-bungkam-an itu, kita jadi makin miskin kesempatan, akal budi bahkan nurani. Semuanya sudah terkikis kemarahan yang semakin deras mengalir dalam darah. Makanya, diam itu membutuhkan kebesaran hati. Kalau enggak, suara yang pengen di keluarkan dari paru-paru nggak bakalan ketampung dan bisa jadi pembunuh diam-diam. Gawat kan?

Bungkam itu nggak murah karena sudah jadi fitrah manusia untuk bersuara, berkoloni dan berkomunikasi. Jika hal itu dihalangi, energi itu pasti mencari celah untuk keluar dari kebungkaman. Beruntung jika energinya tersalur menjadi sesuatu yang positif, bagaimana jika kebungkaman itu mengubur jutaan manusia dalam liang kenistaaan? Apakah jadi terhitung murah, jika kebungkaman membuat jutaan orang sengsara bahkan mati dalam kebisuan?

Setelah sekian lama bungkam, kran suara itu kini mulai terbuka. Seperti air yang sudah lama terbendung, semburan air membuncah dan menerjang apapun yang ada didepannya. Semua berebut bersuara. Saling berteriak keras mencoba mendapatkan perhatian dari siapapun yang berkuasa atau bahkan mulai menunjukkan kuasa. Tapi celakanya, sang penguasa pun sibuk bersuara, meskipun seringkali “fals” mereka ingin terus didengar. Mereka sibuk mengisi celah suara yang masih terlihat lowong dengan siapapun yang bisa bersuara, bagus atau sekedar me-ngeong kepada sang tuan, bahkan yang hanya bisa mencicit seperti tikus. Suara-suara itu saling bersahutan, berisik dan memekakkan telinga. Nggak nyeni gitu, apa yang bisa dinikmati..!

Jika sudah nggak tahan dengan ketidak-nyeni-an seperti ini, apa yang akan terjadi? Seseorang harus menyadarkan mereka dan berteriak “diaaammm...!!” Tapi jika seseorang ini bersuara kecil, siapa yang mendengar perintahnya? Mungkin lebih efektif jika calon pemimpin itu memulainya dengan diam, lalu berpikir untuk sesuatu yang lebih maju dari sekedar bersuara. Atau, berpikir untuk berbuat sesuatu yang berbeda dari sekedar bersuara. Jika sudah dapat, silahkan berbuat...!

Ada satu usulan, di tanah Jawa, ada satu suara yang dianggap sakral dan kebetulan suaranya keras sekali, pun beda dibanding yang lain. Di jamin, semua yang mendengar suara itu pasti diam bahkan tak lagi saling berteriak. Malah mungkin juga bertepuk tangan.

Nah, suara itu berasal dari sebuah benda yang disebut GONG! Bunyi benda itu menggelegar, keras dan bergema. Sekali pukul, mudah-mudahan itu cukup membuat teriakan yang tak beraturan menjadi terhenti.

Tapi, benda ini juga punya reputasi buruk dikalangan masyarakat Jawa. Karena benda ini bisa jadi bukan sebagai penghenti tetapi malah jadi pertanda dimulainya kegiatan atau penambah “panas” suasana. Pernah dengar kan istilah nge-GONG-i? Kalau tidak salah, itu artinya mengiyakan/membenarkan sesuatu atau kabar yang belum jelas, bisa juga diartikan mengobarkan sesuatu yang mulai panas. Biasanya dilakukan pada suatu masalah yang terkait gossip, biar makin HOT! Maklum, semakin panas suasana, makin menderita seseorang, kita makin senang. Kita seperti makin dibukakan kesempatan bersuara, bahkan mencaci maki sesuatu yang tidak kita senangi. Iya kan?

Tapi, sebenarnya untuk apa sih kita berusaha agar mereka diam? Sebelumnya kan sudah dibahas, membungkam orang agar diam kan sia-sia... Apa karena kita pingin di dengar dan menjadi satu-satunya orang yang didengar? Wah, balik lagi dong, ke jaman ke-bungkam-an?

Dalam benak saya, kita semua menginginkan suara-suara itu tak lagi hanya sekedar keluar dari mulut tanpa pikir, alias asal njeplak! Kita ingin suara-suara itu terdengar merdu ditelinga, dalam irama yang harmonis atau dinamis. Sudah pasti tidak mudah. Tidak setiap orang mau melakukannya. Suara yang terlanjur besar dan lantang, pasti sulit untuk menurunkan suaranya. Lah, wong suara itu membuatnya berkuasa! Sedangkan yang sudah lama tidak bersuara, pasti juga butuh latihan dan dorongan untuk bisa bersuara. Sudah lama tidak bersuara, jelas tidak sehat bagi jiwa. Mereka mungkin takut suaranya tidak di dengar karena tidak menarik, atau malah jadi suara baru yang menarik tapi membuatnya tidak nyaman karena jadi sorotan bahkan ancaman untuk hidupnya. Yah, bersuara saja masih harus belajar (lagi). Tenggorokannya mungkin sudah mengering karena sudah lama tak tersentuh ludah yang biasanya muncrat saat kita bersuara. Mungkin juga karena bersuara butuh keberanian. Jika tak punya keberanian, dada dan perutmu tentu tak pernah terisi udara hingga kempis. Berbeda dengan yang biasa berkoar, perut dan dadanya pasti penuh udara kebanggaan hingga membusung. Setiap saat, udara dalam kantong perut dan dada itu siap dimuntahkan dengan suara menggelegar. Gimana bisa (mau) harmonis? Toleransi saja kita malas... Padahal agar menjadi harmonis, kita memang harus penuh toleransi. Itu suara jangan sampai ada yang terlalu keras, atau terlalu kecil. Iramanya juga harus teratur.

Tapi, kalau semua orang sudah berani bersuara dengan dada membusung, keharmonisan jadi terasa kurang menggairahkan.

Kalau begitu, kita harus menuju level berikutnya yaitu dinamis. Untuk ke level ini, suara suara itu tidak dituntut untuk berirama senada atau sama, tapi bersuara untuk mengekspresi diri sendiri. Dengan satu syarat, ekspresi suara itu tidak boleh membuat suara lain terdengar buruk. Itu berarti, satu suara dengan suara lain harus saling memahami bagaimana cara untuk saling melengkapi suara yang sudah ada agar menjadi indah tanpa membuat suara lain tenggelam. Makin susah ya? Tapi, katanya itulah yang dinamakan demokrasi…

Betul nggak, ya? Mudah-mudahan suaraku ini bukan suara yang asal njeplak, wong mikirnya aja nggak cukup seharian….

May 2, 2007

Spongebob temanku.....

Aku pernah menawari temanku untuk menjadikan dia sebagai subyek tulisanku. Kebetulan dia juga mau. Waktu aku tanya mau nama asli atau samaran, dia bilang jika dia jadi subyek protagonis dia bilang gak perlu nama samaran, tapi kalau antagonis atau teraniaya dia maunya nama samaran. Dan untuk itu dia memilih nama samaran Rooz.

Entah kenapa aku mau menuliskan sosok seorang teman. Padahal bagiku itu seperti “bunuh diri”. Bagaimana tidak, jujur saja, sebenarnya aku kurang paham tentang si Rooz ini. Dulu, pertama kali diperkenalkan, kami sama-sama orang baru di kantor itu. Kesan pertama yang aku dapat, gayanya mahasiswa banget! Bisa dimaklumi sih, dia memang fresh graduate dari sebuah universitas. Jadi, biarpun memasuki dunia “kerja”, gayanya masih belum berubah. Mungkin nanti.

Tetapi, ternyata, ada sesuatu yang membuat dia berbeda. Perbedaan ini sangat mencuri perhatian. Kalau dibilang kejutan, ya mungkin ini suatu kejutan meski seharusnya hari gini untuk yang satu ini tidak perlu terkejut. Banyak kok, orang lain yang melakukan “hal“ yang sama.

Kejutannya berawal di suatu hari, saat pertama kali makan siang bareng di kantor. Meski dari awal memang dia terlihat pe-de, dan tidak terlihat sungkan meski baru kenal, tapi begitu dia tanpa malu dan ragu mengambil makanan, aku mulai mengakui dia memang beda! Soal keterkejutan itu aku tidak sendiri, beberapa teman lain juga berpikir sama. Padahal, untukku sendiri, menu makanan siang itu sebenarnya tidak terlalu sreg. Tapi ketimbang beli, ya oke lah...!

Aku harus mengakui, dia lebih berani. Menyenangkan juga punya teman doyan makan. Sudah lama aku tidak mengagumi sesuatu dan sekarang aku punya. Aku yakin dia suka punya teman seperti aku, karena aku sendiri senang memanjakan orang-orang seperti itu. Tentu dengan membawa makanan ke kantor, walau ala kadarnya.

Setelah sekian lama bekerjasama, aku mulai mendapatkan gambaran bahwa seorang Rooz sangatlah mirip dengan Si Kuning dari Bikini Bottom. Kalau ditanya apanya, aku akan langsung menyebutkan sifat yang ini: ceria! Dimanapun, kemanapun (kadang kalau kita lagi bareng jalan lagi tugas ataupun pulang), aku tak pernah menemukan wajah yang mendung! (Jiee..).

Memang nggak semua sifatnya sama persis seperti Spongebob. Karena Sponge Bob pinter masak, tapi Rooz enggak (dia ngaku sendiri lho...!). Tapi, Spongebob punya binatang piaraan, Rooz juga. Sama-sama kucing lagi! Terus, satu hal yang tidak bisa dilupakan, keceriaannya kadang membuat orang lain be-te! Kesannya dia itu innosence gitu lho...!

Dia boleh dibilang cerdas, tapi tidak jika sedang senang (seperti yang aku bilang, keceriaannya kadang membuat orang lain be-te). Pengalaman hampir terkunci dalam mobilnya (saat pulang bareng dari satu tugas dan dia dijemput sang suami) setidaknya membuktikan itu. Meski maklum, aku dan satu temanku sempat kaget juga. Sempat terpikir aku akan terprangkap di pengapnya mobil. Rooz bilang itu nggak disengaja, maklum selama ini hampir tak pernah ada orang lain dalam mobil itu selain mereka berdua. Jadi, saat kita numpang untuk balik ke kantor, dia lupa ada aku dan satu teman lagi di mobil. Duh, mentang-mentang Pengantin baru.... masih merasa di dunia hanya ada mereka.

Dan seiring semakin jelas karakter tokoh itu dipikiranku, tiba-tiba muncul sosok lain pada teman-teman kerja yang aku pikir juga mirip dengan teman-teman si Spongebob. Ada yang menjadi tokoh naif (kalau tidak mau dikatakan bodoh atau lugu), serius, ketus, narsis, lincah, dan bahkan pelit. Aku tidak akan menunjuk siapa si tokoh serius, ketus dan pelit. Yang jelas, Si Spongebob temanku ini selain ceria dia juga bisa dibilang narsis. Padahal ini setahuku sifatnya si Mr Tentakle ya? Setiap foto selalu ada dia, dan dengan gayanya yang khas! Setiap jepretan, dia akan siap mengacungkan dua jarinya ke depan...peace!

Sekarang, aku nggak tahu lagi perkembangan spektakuler lain. Sudah lama aku tidak kontak sejak aku tak lagi beraktifitas di sana. Terakhir aku bertemu sehabis dia melahirkan putri pertamanya.

Spongebob temanku sudah berbiak....aku ikut senang meski aku juga sempat dibuat khawatir dengan tingkahnya yang tetap berlompatan di stasiun untuk mengejar kereta. Dengan perut gendut itu...aduh, aku gak kebayang beratnya!

Spongebob temanku, dia sekarang sudah sibuk dengan anak dan suaminya. Mudah-mudahan dia tidak kehilangan keceriaannya meski kadang SMS yang sampai padaku adalah tentang kepusingannya mengatur keuangan. Aku tidak pernah bisa menjawab itu, karena aku sendiri sedang mencari solusinya...

Spongebob temanku yang selalu lapar...Aku tak habis khawatir, mungkinkah kamu masih memikirkan praline kesukaanmu (dan ku) sedangkan sang putri sedang menangis minta susu?

Rooz si Spongebob. Si mahasiswa yang dulu selalu leluasa menikmati hidup, kini harus berpusing untuk menata hidup. Tapi, inilah yang disebut hidup baru. Meski hidupmu tak selalu berbeda, tapi kini setiap hari, hidupmu harus mulai dengan alasan yang tak lagi sama.

Tetap semangat ya....!

Manusia (Jangan) Pernah Ber-Evolusi

Yap, tulisan ini dibilang bercanda boleh….., tetapi dianggap serius juga pasti sangat diharapkan.

Dalam evolusi (sekian juta tahun) perkembangan pikiran manusia “mungkin” boleh dikatakan sudah berbeda dan berubah hingga dikatakan modern. Itu bisa kita lihat dari peradaban yang bisa kita lihat. Teknologi salah satunya. Manusia bangga sekali dengan apa yang dihasilkan dari buah pikiran manusia modern. Gedung tinggi, robot, komunikasi tanpa kabel dan sebagainya. Semua dilakukan demi kesejahteraan manusia juga. Yang, meskipun dalam hal sejahtera setiap orang di muka bumi ini punya kriteria sendiri. Umpamanya: Pemerintah Indonesia, mengukur sejahtera dari adanya beras, bukan ketersediaan makanan bergizi (yang harusnya tidak selalu berarti beras). Orang Bule, mungkin (karena saya bukan bule dan tidak tahu ukuran kesejahteraan mereka), adanya daging. Dan seterusnya....

Tapi, apa sih sebenarnya hasil (akibat) dari ke-modern-an itu?
Sejahterakah manusia?

Seorang profesor dari Jepang dengan pen name High Moon, pernah mengambarkan dalam Cartoon GOMIC Part 3-nya yang terbit tahun 1996, hasil dari ke-modern-nan manusia hanyalah sampah yang semakin bertambah. Sampah ini tak hanya berupa fisik seperti plastik dll, juga sampah-sampah yang tidak terlihat oleh mata yang sangat berbahaya. Sampah-sampah dari manusia modern, sesungguhnya tidak membuat manusia sejahtera. Banyak barang tersedia, manusia makin terpicu dan terpacu untuk memilikinya (meski sebenarnya tak butuh). Semakin banyak barang, ternyata manusia tidaklah semakin nyaman. Semakin manusia modern, semakin “modern” juga penyakit yang timbul. Sampai-sampai, sang profesor menggambarkan manusia bakal menjadi makhluk yang punah karena tak bisa mengelola lingkungan termasuk sampah.

Lalu apa arti ke-modern-an manusia? Jadi terasa sia-sia bukan? Susah-susah berpikir modern, nyatanya malah mati karena tak becus mengelola hidupnya (lingkungan hidupnya) sendiri.

Tapi memang, kalau manusia tak menjadi modern, aku tidak bisa mengetik tulisan ini dengan cepat. Meskipun sadar tubuhku juga harus membayarnya dengan terpapar radiasi setidaknya satu jam sehari.

Tapi, lagi-lagi siapa pula yang mengacaukan siklus alam ini hingga terjadi banyak bencana? Sudah pasti Manusia! Kenapa? Karena semua hal dan makhluk di muka bumi selain manusia, punya siklus hidup yang membuat mereka selalu lestari. Mereka adala mekhluk “profesional”. Tanpa manusia mereka takkan celaka.

Tapi tidak dengan manusia. Manusia adalah makhluk yang paling tidak profesional. Manusia butuh alam untuk dirinya, tapi manusia juga yang merusaknya. Semakin cepat manusia me-modern-kan diri, semakin rusak bumi ini dan sulit kembali. Belakangan, jika kita sadar, siklus hujan dan kemarau sangatlah kacau. Belum lagi banyak badai yang sebelumnya tidak pernah menyambangi kawasan tropis sekarang makin rajin menyapa? Petani dan nelayan yang menjadi produsen dalam rantai makanan semakin sulit memanen. Lalu, apakah itu tidak berarti makanan akan semakin berkurang?

Jutaan tahun tanpa menjadi “modern”, alam bisa hidup lestari: tanpa polusi, tanpa depresi, dan tanpa penyakit modern lain. Sekarang, dalam hitungan ribuan tahun saja manusia sudah menuai banyak kerugian.

Jangan-jangan, kita harus mulai untuk mendefinisikan kembali arti sejahtera dan modern?

Mungkin sejahtera yang mutakhir, haruslah tanpa stress atau depresi akibat kehidupan itu sendiri. Karena, sebanyak apapun uang yang kita punya kalau depresi lalu menjadi sakit parah atau bahkan gila, bukankah semua jadi percuma? Tak bisa menikmati semua hal yang telah susah payah diperjuangkan. Apa itu yang dinamakan sejahtera? Secara materi kita melimpah, tapi secara batin kita merana…apa ini yang dinamakan sejahtera?

Dan modern yang paling modern, adalah jika sesuatu yang kita lakukan -apapun itu- tidak menjadikan alam sebagai korban. Kita sudah mulai bisa merasakan sendiri kini, tak ada lagi tempat yang tanpa polusi karena “ke-modern-an” kita teramat mengabaikan alam. Seakan manusia modern tak pernah tergantung pada alam (bumi). Bukankah sebuah kebodohan modern? Bohong banget kan kalau kita berpikir bahwa sekecil apapun perbuatan kita tak pernah “berakibat”? itu kan namanya manusia modern yang bodoh… (tapi mungkin bukan ini yang di sebut modern kali ya..?)

Tapi, mungkin akulah yang tidak pernah berevolusi! Nyatanya, aku tak pernah berhenti berharap perubahan akan terjadi. Tidak seperti sekarang, hanya jargon saja yang di dengungkan. Tapi alam tetap nestapa dan teraniaya.

Selamat hari bumi! Bumiku sayang, bumiku malang…..

Apr 18, 2007

Modern dan Primitif, apa bedanya?

Manusia primitif, jutaan tahun lalu, mencari makan dengan melemparkan batu pada calon mangsanya agar mati dan bisa segera dimakan. Kata para ahli, mereka melakukan itu karena hanya itulah yang terpikir oleh para nenek moyang manusia. Dagingpun mereka makan mentah-mentah, sampai suatu hari (entah bagaimana ceritanya) mereka menemukan alat yang lebih modern seperti kapak batu, lalu besi dan seterusnya. Mereka selain melakukan itu untuk mendapatkan makanan, mereka melempar batu juga demi mempertahankan hidupnya dari predator lain alias senjata.

Jaman dulu, mungkin, kalau tidak memakan ya bisa jadi dimakan. Maklum, rantai makanan kan masih sangat seimbang. Hukum alam masih berlaku untuk siapa atau apa saja. Kalau menang bertarung, lawan bisa jadi santapan. Ya, meski mereka mungkin dulu tidak berpikir untuk mempertahankan diri, yang jelas perilaku itu muncul karena terdorong rasa lapar. Satu perilaku yang sangat “reasonable”: melempar (alat pembunuh) untuk mendapatkan makanan.

Lalu masa berganti, menjadi lebih modern. Batu tak lagi menjadi satu-satunya andalan. Manusia mulai membuat tombak. Itu terjadi karena manusia butuh berburu makanan, dan mungkin karena mereka tahu calon makanan akan mati lebih cepat dengan cara di tombak. Satu hal penting lagi: melempar (plus sedikit teknologi) untuk mendapatkan makanan.

Kemudian manusia mulai bisa berhitung abad. Di Yunani, perilaku primitif (melempar) sedikit berubah fungsi dengan di mulainya apa yang disebut dengan olimpiade. Di sana, batu yang sebelumnya berfungsi untuk melempar mangsa sedikit “dimodifikasi” menjadi lomba lempar cakram, dan lempar lembing. Tapi, aromanya tetaplah sama, “melestarikan” cara nenek moyang melempar sesuatu untuk mendapatkan makanan yang kali ini bisa berupa prestise.

Lalu, jaman beralih ke masa perang dunia. Manusia makin pandai membuat sesuatu yang memudahkan hidupnya. Di jaman ini, manusia makin gencar melemparkan sesuatu yang sangat kecil tetapi membuat ribuan orang mati dalam sekejap. Apa itu? Tentu kita tidak asing dengan apa yang disebut granat, bom bahkan bom atom. Untuk apa semua itu dilakkan? Untuk memenangkan perang. Perang untuk apa? Untuk memastikan bahwa manusia (di negara tertentu) yang menang tidak akan kelaparan. Masih sama kan?

Lalu sekarang, jamannya jaman edan. Maksudnya, segala hal yang ada di dunia harus selalu masuk akal tetapi tidak masuk nurani. Berarti jaman ini sudah berbeda? Belum tentu. Mungkin dari bidang lempar-melempar (dengan menggunakan fisik), semua yang sudah disebutkan di atas masih tetap ada karena atletik resmi dan atletik jalanan masih sering dijumpai. Tapi, sesuai kata ahli lagi, manusia modern akan semakin tak mengaktifkan fisik melainkan mengaktifkan otak. Fisik manusia akan semakin lemah. Karenanya, manusia modern lebih membutuhkan barang yang lebih ringan untuk dibawa kemanapun, tetapi sangat efektif untuk mendapatkan makanan. Sekali lempar itu barang, makanan akan datang dengan sendirinya. Apa itu? Benar sekali, barang itu adalah uang. Uang logam saja sudah hampir berlalu karena berat. Sekarang makin beredar uang plastik yang ringan, tapi tak gampang sobek.

Tapi, tahukah anda bahwa untuk mendapatkan barang itu, manusia modern masih tetap harus ahli melempar? Lihatlah di TV atau koran, begitu banyak orang yang melakukan ketrampilan itu sejak jaman primitif. Sepertinya itu sudah jadi sifat pembawaan manusia.
Kita pasti nggak asing dengan istilah lempar omongan tak bermutu-sekedar cari sensasi, atau lempar tanggung jawab. Atau bahkan, lempar batu sembunyi tangan. Untuk apa manusia modern melakukan itu? Apa lagi...kalau bukan untuk membuat periuk makanannya aman.

Sama saja kan?

Orang boleh bilang jaman modern identik dengan keberadaan manusia modern yang (katanya) berpikir dengan logis. Tapi, kita masih menjumpai banyak manusia yang benar-benar primitif, lebih primitif dari manusia yang melempar batu untuk makan.

Tidak percaya? Coba simak yang berikut ini.

Apakah bukan manusia super primitif namanya, jika di jaman sekarang masih saja melempar sampah seenaknya atau bahkan main lempar ke selokan atau kali bahkan sungai yang sebenarnya bisa menghindarkan kita dari banjir. Padahal kita juga sering mengeluh, banjir juga membawa banyak penyakit!

Lalu, pelajar yang saling melempar batu untuk saling melukai. Begitukah pelajar? Padahal mereka telah dan sedang dididik untuk menjadi manusia tak primitif. Atau, itu karena kurikulum pendidikan kita memang masih primitif?

Suporter bola yang tidak pernah lepas dari ritual melempar. Kalau tak kena di hati, mereka melempar cacian. Kalau tidak puas hanya dengan mencaci, mereka akan mulai melemparkan dan melempari benda-benda di sekelilingnya. Sampai babak belur kalau perlu. Tidak peduli dengan penderitaan orang lain.

Terus, ada juga manusia yang entah dari mana asalnya tiba-tiba melempar batu ke arah kereta api yang sedang melaju dan banyak penumpang di dalamnya. Apa ya yanga da dibenaknya? Mungkinkah kereta dianggap ular naga yang sedang melaju dan mengancam jiwanya, lalu berlaku seperti nenek moyangnya? Sampai sekarang aku tak tahu alasannya karena meurutku yang ini, aduh....primitif banget...!

Sebenarnya, kalau mau lebih jeli lagi, masih banyak tingkah manusia modern yang super duper primitif! Coba aja....mungkin anda akan menemukan lebih banyak dari saya.

Saya sudahi dulu episode melemparnya. Capek juga, ngomongin sesuatu yang nggak ada bagus-bagusnya....! Maaf kalau tadinya ada yang merasa modern jadi terhina. Habis, biar jaman sudah beda, manusianya ternyata sama saja (primitifnya)...

Apr 7, 2007

Si Buta Yang (Juga) Manusia

Ngomongin soal “komunitas” kereta sebenarnya membosankan. Tapi, kalau dinikmati ya…menyenangkan juga. Banyak sisi-sisi yang tidak bisa kita dapatkan di lingkungan rumah atau kantor sekalipun. Ya, tinggal memilih. Sisi buruk banyak, sisi baikpun ada. Kejadian lucu juga ada, itu jika kita beruntung!

Yang berikut, menurutku kejadian lucu tapi buat sebagian orang mungkin menyebalkan. Begini ceritanya:
Siang menjelang sore hari itu, sudah banyak penumpang menunggu di jalur lima dan enam. Jalur lima menuju Jakarta, dan jalur enam menuju Bogor. Keluh kesah semakin kencang didengungkan dari mulut penumpang. Sudah satu jam menunggu, tak satupun kereta yang datang menjemput. Hanya satu kereta ekspress yang lewat dengan angkuh, meninggalkan debu yang mengepul.

Semakin lama, dan semakin sore penumpang akan semakin penuh. Tapi penumpang masih harus bersabar. Kereta yang datang malah arah Jakarta di jalur lima. Beberapa penumpang turun, dan naik. Dari dalam kereta itu muncul seorang laki-laki buta yang turun tergopoh. Dia adalah pengemis yang biasa meminta-minta di kereta. Tangannya mencari-cari pegangan, sedangkan tongkat yang biasa digunakan untuk menjejak jalan sudah dilipat dan diselipkan di ketiak. Untung seorang pedagang minuman berbaik hati membimbingnya turun. Banyak penumpang yang menghadap ke jalur lima berwajah terharu, jatuh kasihan terhadap wajahnya yang ketakutan. Dia mungkin takut terbawa kereta karena tak bisa turun.

Setelah Si Buta turun, semua “penonton” adegan itu terlihat lega. Tapi si buta belum beranjak dari sisi kereta. Entah apa yang ditunggunya. Beberapa menit berlalu, kereta itu belum bergerak karena menunggu sinyal hijau menyala. Tak dinyana, si buta tiba-tiba bergerak mendekati kereta di saat kereta hendak berangkat lagi menuju Jakarta. Seorang bapak di sebelahku berteriak histeris mengingatkan si buta. Dan seorang ibu yang kebetulan lewat, menarik si buta ke pinggir sambil menunjukkan ekspresi khawatir. Si ibu menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya Allah…hati-hati dong….!”katanya keras-keras pada si buta.
Si buta terdiam. Tapi setelah kereta benar-benar telah meninggalkan jalur lima, si buta mulai merangsek lagi ke pinggir rel. Tingginya “tebing” dan jalur membuat sebagain orang hendak bergerak kembali untuk mencegahnya jatuh. Tapi Bapak yang di sebelahku memilih meneriakinya lagi.
“Awas, itu bukan tempat turun. Geser ke kanan lagi...!”
Tapi Si buta tidak beranjak dari sana. Dia loloskan tongkat yang sedari tadi dikempit di ketiak. Dengan tongkat itu dia mulai menjejak, meraba-raba pinggir rel. Setelah yakin dia berada di pinggir rel, dia mengempit lagi tongkatnya. Semua mata memandang ke pada si buta, berharap dia tidak berulah dan membahayakan diri lagi.

Tiba-tiba seorang pedagang minuman dari jalur empat yang berseberangan dengan jalur lima mulai tertawa-tawa sambil menunjuk-nunjuk arah di buta. Serempak kami menoleh ke arah si buta lagi. Dan,..Oh,oh!
Si buta sedang melepas celana dan memuntahkan hajatnya di depan banyak orang. Air seninya mengucur deras menimpa rel. Seorang gadis calon penumpang kereta ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ada di jalur empat terlambat memalingkan muka. Wajahnya nampak merah padam.

Tapi si buta nampak tak peduli.

Aku sendiri memang memalingkan muka, tapi melihat ekspresi wajah si buta setelah menunaikan hasratnya itu jelas aku tahu. Wajah itu adalah wajah penuh kelegaan.

Yang aku tak habis pikir, kenapa dia memilih pinggir rel sebagai “toilet”nya? Apakah itu diajarkan oleh orangtuanya? Atau dia “melihat” orang lain yang tidak buta juga melakukan hal yang sama: menganggap stasiun sebagai tempat sampah, meludah bahkan kencing? Apakah dia tak pernah mengenal toilet (sebenarnya)? Atau hanya alami (insting) semata: bahwa posisi yang lebih tinggi membuatnya “mungkin” untuk membuang hajat?

Tapi, kenapa aku begitu peduli ya? Harus aku akui, sebenarnya untuk apa aku repot-repot mencoba memahami ulah si buta. Jelas dia lebih “reasonable” ketimbang manusia yang tidak buta. Coba pikir, dia toh tak perlu malu dilihat orang (saat kencing tadi), karena dia tidak bisa melihat orang lain yang melihatnya. Sedangkan, orang yang tidak buta saja pura-pura buta kok! Mereka bahkan melihat (menganggap) tembok, balik pohon, bahkan pantat mobil sebagai toilet.

Kalau di pikir lagi, tingkah siapa yang harus lebih di khawatirkan? Si Buta atau yang tidak buta tapi pura-pura buta?

Tapi satu yang aku tahu pasti, si buta (dan bukan buta) pasti akan tunduk atas desakan biologis. Itu kan karena kita manusia dan,.…Si Buta juga manusia!

Mar 31, 2007

Namanya Nirina

“Namaku Nirina..!” begitu teriak seseorang diantara kerumunan penumpang. Mendengar lengkingan suara dan nama yang dia sebutkan itu, aku yakin dia seorang perempuan. Aku juga membayangkan dia seperti namanya. Tahu kan, nama itu sekarang dimiliki seorang artis?
Tapi, setelah kerumunan itu sedikit menyingkir (mungkin karena takut dengan sosoknya), aku bisa melihat, dan membuatku tak yakin lagi bahwa dia perempuan. Sosok yang menyeruak itu bertubuh dempal, berotot, dan berambut cepak. Di kepalanya terikat sebuah bandana yang tak keruan lagi warnanya, seperti halnya baju dan celana pendek yang sudah tak bisa lagi menutupi sebagian besar tubuhnya. Perutnya yang gendut dibiarkan terbuka menantang angin.

Sambil memandang sekeliling, Dia berjalan membelah ruangan dalam kereta. Tanpa komando, penumpang yang berdiri di bagian tengah langsung merapat ke tepi, sebagian pergi ke gerbong lain. Para pedaganpun memilih berbalik, tak mau lewat di dekatnya. Tubuh kumalnya membuat orang takut bersentuhan.

“Nirina mau bilang, Nirina lagi lapar dan haus. Tapi Nirina tidak punya uang. Jadi, aku minta kalian ngasih aku uang. Kalau nggak, aku cium…..” teriaknya lagi.
Melihat ekspresi wajahnya yang tak menampakkan “kegarangan” sebagaimana orang yang akan “menodong”, banyak penumpang yang tak mempedulikan ancaman itu. Apalagi ancamannya “hanya” ciuman…. Tapi, kalau dipikir lagi….siapa yang mau dicium olehnya? Ini bisa jadi urusan seirus….

Wah, dugaanku ternyata benar! Ini bukan gertak sambal. Dari pintu pertama gerbong ini dia mulai menjalankan aksinya. Setiap orang yang menurut dia pantas di mintai uang, dia dekati sambil menengadahkan tangan. Seorang bapak yang tidak mempedulikan permintaannya serta merta dia cium. Sang bapak terlihat shock, dan dengan gelagapan langsung memberikan selembar uang seribuan sambil berlalu menahan malu.

“Kan sudah Nirina bilang, kalau nggak ngasih duit, aku cium....!” begitu teriakan histeris sang penodong, mengulang ancamannya mengiringi berlalunya sang korban pertama.

Segerombol mahasiswa yang duduk di sebelah kiriku langsung ribut. Ada yang mencari receh di saku celana, tapi ada juga yang memilih “kabur” ke gerbong lain. Sedangkan mahasiswi di sebelah kananku memilih berdiam diri tidak melakukan sesuatu meskipun dari wajahnya dia nampak ketakutan. Mungkin dia berharap, seperti aku berharap, kepada perempuan dia tidak mau melakukan itu. Aku sendiri tak melakukan apa-apa. Aku lebih memilih (berencana) akan “mendampratnya” abis-abisan jika dia berani mengancamku atau akan menciumku. Meskipun berani melakukan atau tidak, aku lihat situasi dulu.

Satu persatu, Nirina mendatangi orang-orang dan terus mengantongi sejumlah uang. Nirina tidak mau uang receh (logam), dia mau minimal seribu.

Semakin dekat ke arahku, aku semakin waspada. Aku tak main-main dengan rencanaku. Tapi aku tetap berusaha tenang. Mahasiswi di sebelahku juga masih diam, tak terlihat mempersiapkan uang receh. Tiba-tiba dia sudah di depan mahasiswi itu. Si Mahasiswi menolak, dan sedetik kemudian si Nirina sudah siap menyorongkan wajahnya ke wajah si mahasiswi. Dengan sigap si Mahasiswi mengelak, sambil menarik uang seribuan dari saku celana. Sambil menyeringai memamerkan giginya yang kuning, Nirina pun beralih ke para mahasiswa yang sudah siap dengan lembaran uang ribuan masing-masing.

Tapi aneh, tak sedikitpun dia menoleh padaku. Meskipun aku merasa senang dan lega, aku jadi bertanya-tanya. Kenapa dia bersikap seperti itu? Mungkinkah dia merasakan “bahaya” yang sedang mengancam (dari aku)? Atau dia memang sengaja memilih “mangsa” tertentu? aku jadi tertarik mengamati terus gerak geriknya.

Selesai dengan para mahasiswa, Nirina bergerak mendekati seorang siswa SMP yang nampaknya baru pulang dari sekolah. Siswa ini nampak pasrah dengan nasib yang akan menimpanya. Aku menduga, si siswa lebih “memilih” di cium daripada menyerahkan uang yang tersisa untuk ongkos pulang ke rumah. Seorang ibu berkerudung yang duduk bersebrangan denganku juga sudah siap dengan uang receh di tangan. Seperti sikapnya padaku, Nirina sedikitpun juga tak mau mendekatinya. Mungkinkah Nirina enggan dengan para “kerudung-ers”? atau hanya malas berurusan dengan sosok “ibu-ibu”?

Tidak berapa lama, kereta berhenti di stasiun Pindok Cina. Si Nirina segera menghilang sambil berucap terimakasih. Mungkin Nirina sudah puas dengan jumlah uang yang diperoleh. Para mahasiswa pun terlihat lega. Sambil tertawa-tawa mereka saling menceritakan ketegangan yang mereka alami akibat ulah Nirina. Seorang tertarik dengan “statusnya”, sedang yang lain lebih ngeri dengan “ciumannya”.

Aku jadi geli sendiri. Kalau dipikir-pikir, Nirina lebih pintar dari penjahat lain di kereta. Jika penjahat lain memilih “menipu” dengan mempertontonkan kesengsaraan, atau copet yang sangat menjengkelkan, Nirina memanfaatkan sifat “angkuh” manusia yang senang mengukur pantas atau ke-tidakpantas-an dirinya atas sesuatu.

Keadaanya yang “tidak pantas”, membuat orang lain malas berinteraksi (berurusan) dengannya. Kalaupun terpaksa berinteraksi, pasti inginnya segera diselesaikan. Kondisi itulah yang dimanfaatkan Nirina. Tidak ingin berlama-lama memandang atau berurusan dengan “ketidakpantasan”nya? bayarlah! Maka Nirina akan segera pergi.

Tak bersenjata tajam, tidak menjual kesengsaraan, Nirina hari ini bisa kenyang….!

televisi, oh televisi...

Huruf di remote kontrol tv sudah hampir aus. Tapi aku belum bosan memencetnya. Aku masih berusaha berpindah channel untuk menemukan sesuatu yang menarik. Chanel satu, gosip. Chanel dua, gosip juga tapi pakai embel-embel investigasi. Chanel tiga, berita. Boleh juga! Tapi, keasyikanku menyimak tidak bertahan lama. Berita yang diturunkan sudah berulang kali aku saksikan, dan belum ada perkembangan baru. Sudah begitu, aku harus terus menahan gemas, kesal, marah, dan sebagainya. Aku hanya bisa mengeluh, negriku yang penuh dengan bencana inimasih juga di jejali manusia-manusia sampah yang bertebaran di mana-mana. Setiap saat, kehadiran mereka menghiasi layar kaca dengan senyum lebar, tanpa dosa. Padahal di perut dan kantongnya, penuh “jenazah” orang-orang yang dia tindas secara fisik maupun moral. Capek deh..!

Aku mencari lagi chanel yang masih menyajikan sesuatu yang menarik. Ada satu. Acara ini membahas tentang seluk beluk berbagai hidangan khas suatu daerah. Tapi tak ada resep yang bisa aku catat, karena memang hanya menampilkan makanan yang sudah matang lalu kita diberikan “wawasan” tentang rasa makanan itu. Enak, nyamleng, juara dan sebagainya….

Aku hanya bisa menelan ludah sambil mengelus dada, karena semua makanan itu hanya ada di angan-angan. Tidaklah salah kalau kemudian aku membayangkan betapa enaknya jadi pencicip di acara itu. Makan dan makan terus…. Tapi....bayar sendiri nggak ya?

Lalu, ada satu yang menggelitik pikiranku. Demi menampilkan berbagai makanan yang beragam untuk memenuhi selera pemirsa, sang juru pencicip hanya memakan sedikit sekali dari setiap menu yang dipilih. Kemanakah sisanya? Aku berharap makanan itu tidak terbuang percuma. Aku ngeri membayangkannya. Aku lebih suka membayangkan anak-anak kurang gizilah yang diajak untuk mencicipi makanan itu. Pasti takkan bersisa dan lebih berguna.

Selagi negeri ini masih banyak yang kekurangan gizi akibat tak mampu membeli makanan yang cukup, bahkan nasi akingpun mereka makan, apakah benar ini menjadi tawaran yang menggiurkan? Memang, untuk yang bosan dengan menu makan yang itu-itu saja tawaran seperti itu akan terasa sangat menyegarkan. Aku sendiri awalnya merasa amat tergiur dan “ngiler” membayangkan lezatnya makanan itu, dan berencana suatu saat aku akan datang ke restoran, atau tempat jajan itu untuk sekedar membuktikan.

Tapi, demi sebuah kebenaran, bukankah menu yang itu-itu saja dari dapur sendiri karena memang duitnya hanya cukup untuk jenis yang itu-itu saja?

Aku jadi berusaha keras untuk waras. Apakah aku akan tega menghabiskan uang belanja satu bulan hanya untuk sekali makan? Lalu akupun meng-hadapkan diri pada kebenaran yang lain. Bahwa, aku hanya bisa menelan ludah, dan sebuah kenyataan betapa keringnya kantong ini.

Tapi, aku tak boleh tak bersyukur. Dalam keterbatasan, aku harus mulai melihat dan meyakini bahwa, terlalu banyak yang manusia inginkan hingga lupa akan apa yang telah didapatkan. Toh, aku sudah memiliki yang aku butuhkan. Makanan, pakaian dan tempat tinggal semua telah ada. Jika aku menginginkan sesuatu, maka keinginan itu seharunya tidak memenjarakanku. Apalagi membuatku sedih, lalu merasa bagaikan tak punya apa-apa.

Televisi pun aku matikan. Nanti saja aku nyalakan lagi, setelah tugasku memasak telah selesai. Atau setelah aku benar-benar menemukan bahwa tv bagiku harus “hanya” sebagai hiburan dan sumber pengetahuan. Bukan penggoda iman semata….

Mar 18, 2007

Ordinary People

Sudah pagi lagi! Capek akibat berdesakan di kereta kemarin belum pulih benar, sekarang aku harus mengulanginya lagi. Mungkin besok juga…

Aku jadi berpikir untuk minta ijin datang terlambat. Mudah-mudahan diijinkan, toh kerjaanku sudah aku selesaikan semua kemarin. Aku memang tak pernah suka menunda kerjaan, karena bisa menyita pikiran.

Ijin sudah turun. Si Bos bilang terlambat dikit boleh, asal aku tetap datang hari ini karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan untuk pesiapan seminar besok. Aku sedikit lega. Setidaknya aku bisa memiliki waktu lebih banyak untuk sampai kantor. Dan itu berarti aku tidak harus memaksa naik kereta yang sudah penuh sesak. Aku bisa sedikit ambil waktu menunggu kereta berikutnya. Di atas jam delapan pagi nanti, kereta lumayan longgar.

Aku memilih duduk menunggu kereta berikutnya di dekat sebuah kios minuman. Si ibu penjual sedang sibuk menata barang yang akan di jual. Tumpukan roti dan panganan lain satu persatu di rapikan. Sesekali dia meneriaki anak lelakinya yang sedang asyik berlatih dengan grup ngamen-nya. Anak lelaki itu berseragam sekolah dasar, kelihatanya dia berumur 9 atau 10 tahun. Jam 8.15 dia masih belum masuk kelas? Apa dia membolos? Tapi setelah ku pikir lagi, SD di depan stasiun memang hanya ada tiga kelas, jadi mereka masuk bergantian.

Tiba-tiba datang seorang ibu dengan menggendong bayi. Aku sering melihatnya. Dia adalah seorang penyapu kereta. Maksudnya, dia menyapu lantai kereta atas kemauannya sendiri bukan atas perintah pihak PT KAI. Dengan berbekal sapu lidi atau berupa sabut tanpa gagang, si ibu menyapu lantai yang penuh dengan sampah penumpang dengan harapan mendapat imbalan dari penumpang.

Si ibu penyapu membeli air gelas yang dingin. Beberapa saat kemudian si ibu penjual dan penyapu terlibat percakapan yang “mengasyikkan” meskipun bagiku tidak. Bagiku lebih terasa menyedihkan.

“Loe sudah lama nggak kemari. Tumben sekarang nongol..!” kata si ibu penjual memulai perbincangan.
“Iya, kemarin baru pulang kampung” kata si ibu penyapu dengan logat Jawanya yang medhok. Sesekali mulutnya menyedot minuman. Dari wajahnya dia nampak menikmati betul air dingin itu.
Si ibu penjual memperhatikan bayi yang ada dalam gendongan si ibu penyapu. Dahinya sedikit berkerut.
“Ini anak baru? Baru nemu atau anak loe sendiri. Tapi pasti bukan anak loe, kan? Gue nggak pernah liat loe bunting. Dapet beli di mana? Berape duit loe beli? Anak yang kemarin dikemanain?”
Si ibu penjual menghujani si ibu penyapu dengan pertanyaan. Si ibu peyapu terlihat gugup, tapi coba di tutupinya dengan senyum.
Sekilas aku ingat, beberapa waktu lalu dia menyapu dengan menggendong anak perempuan yang berumur sekitar dua tahun. Si anak sering merengek minta belikan ini dan itu. Sekarang dia muncul lagi dengan anak yang berbeda.
Melihat si ibu penyapu tak bereaksi, si ibu penjual terlihat tidak puas. Lalu dia melancarkan pertanyaan lagi ke ibu penyapu.
“Yang umur segini, dapet nggak tiga ratus (ribu)?” tanya si ibu penjual tanpa basa-basi.
Aku yang mendengar pertanyaan itu sangatlah terkejut. Tapi herannya, si ibu penjual terlihat yakin sekali pertanyaannya itu tidak ngawur atau mengada-ngada. Dan si ibu penyapu sekali lagi hanya senyum-senyum saja.
Kemudian, si ibu penyapu beranjak pergi. Dia naik kereta arah Bogor yang baru saja berhenti.
Aku mengalihkan perhatian pada si ibu penjual. Dia terdengar masih membicarakan si ibu penyapu dan anak barunya dengan penjual bubur kacang hijau di sebelahnya.
“Ah, itu sih biasa….palingan juga si anak sebelumnya dia jual karena sudah ribet ngurusinnya. Anak umur dua tahunan kan sudah bisa ngrengek minta macem-macem! Sudah gitu nggak bisa di pakai buat nyari duit”
Si abang tukang bubur hanya manggut-manggut.
Lalu pembicaraan selesai. Semua sibuk kembali dengan urusan masing-masing.

Tinggal aku yang termangu. Sebelumnya aku sudah sering mendengar perihal jual beli anak, tapi tidak pernah senyata ini. Anak-anak dan bayi, terus berpindah tangan seperti barang yang hanya bisa pasrah menerima nasib. Ibarat selembar kertas, warnanya tak lagi putih penuh coretan kelabu hasil goresan orang tuanya. Hidupnya kini bukan untuk curahan kasih sayang, tapi untuk membuat “orang tuanya” kenyang.

Salah siapa, ini dosa siapa….? Lagu Ebiet yang terdengar sayup mengiringi pikiranku yang semakin jauh mengembara.

Mar 10, 2007

Dan, SMS itu...

Dan, SMS itu….

Telepon genggam di meja komputerku berbunyi. Satu SMS masuk. Dari tetangga. Dia ada di rumah, dan menanyakan apakah aku ada di rumah. Rumahku dan rumahnya terpisah oleh satu tembok yang sama. Aku memang ada di rumah dan sedang malas keluar rumah dan mengobrol dengan para ibu yang lain. Selain karena tak memiliki bahan pembicaraan yang penting, akhir-akhir ini hujan yang semakin deras membuatku harus betah di rumah. Bocor di sana-sini mengerjaiku untuk lebih aktif mengepel. Capek. Tapi karena ini rumahku, aku rela, iklas membersihakannya. Selain itu, aku belum punya uang untuk membenahi rumah.

Kembali ke sms. Aku hafal, tetanggaku ini punya kebiasaan unik. Jika ada hal yang penting, dia memilih mengirim SMS. Mungkin, karena dia malas menjadi bahan pembicaraan para tetangga yang haus gosip. Dan tebakanku kali ini benar, dia minjam uang! Dia bilang harus membayar ini itu, tapi uang kiriman suaminya sudah habis. Dia berjanji dua hari lagi akan dikembalikan.

Aku sendiri sebenarnya tidak pernah kelebihan uang, malah keseringan kurang! Tapi mengingat dia tetangga dekat, dan berjanji akan mengganti dalam waktu dua hari saja mungkin aku bisa menolong. Setelah ijin dari suami turun, aku membalas SMS dan mengatakan bahwa uangnya bisa diambil sekarang.

Hhhhh, lega bisa menolong!

Keesokan harinya aku dan suami pergi ke Cimanggis untuk menjumpai saudara yang baru pulang haji. Tiba-tiba terpikir olehku jangan-jangan kran air di kamar mandi belum tertutup. Jika itu terjadi, sehari semalam hingga besok, pompa air akan terus berputar hingga air dari sumur terus tersedot hingga kering. Takutnya pompa air akan rusak atau terbakar. Tekorlah yang terbayang.

Kemudian terpikir olehku untuk meminta tolong tetanggaku itu untuk mengecek apakah pompa air terus berputar dengan cara mendengarkan dengung mesin pompa dari balik tembok. SMS aku kirim dengan harapan mendapat jawaban yang aku harapkan. Tapi, saat SMS balasan aku terima, sungguh mengejutkan. SMS itu malah menanyakan aku ini siapa dan ada perlu apa? Loh, bagaimana mungkin nomor Hp ku tak dikenali? Kemarin, nomor ini yang mengirim pesan meminjam uang, kok sekarang jadi tidak kenal? Aku jadi berpikiran buruk bahwa dia memilihku untuk berkomunikasi jika hanya ada maunya. tapi pikiran itu cepat-cepat aku tepis. Mungkin saja dia memang tidak menuliskan no HPku agar aku tidak diganggu orang lain, atau karena memang HP yang dia pakai bukan milik dia sendiri. Yah, aku tinggal menunggu besok. Benarkah dia akan mengembalikan uang sesuai janjinya?

Ternyata benar. Aku lega lagi, keputusanku untuk mempercayai tetanggaku itu benar.

Mar 3, 2007

Di Atas Kereta Bogor-Jakarta

Peralatan sound system, gitar, gendang, seruling, dan “kecrekan” sudah siap dimainkan. Berarti, aku yang duduk persis depan sound system, harus bersiap untuk tuli setidaknya lima menit kedepan sesuai durasi lagu. Aku sebenarnya bisa pindah ke gerbong lain, tapi karena aku mendapatkan tempat duduk dengan “perjuangan” dan perjalananku masih jauh – satu jam lagi- menuju Jakarta, aku pilih bertahan dan menutup kuping. Mungkin pandangan marah dari para pengamen akan tertuju padaku karena merasa terhina. Tapi sumpah, aku tidak bermaksud begitu. Aku tidak benci dangdut, karena aku sendiri tumbuh di lingkungan yang setiap hari akrab dengan musik ini.

Tapi aku memang tidak tahan dengan musik yang diputar terlalu keras. Kupingku terasa sakit. Gimana lagi, jika mereka tak memikirkan kuping dan perasaan orang lain, kenapa aku harus peduli dengan sikap mereka. Siapa lagi yang akan menyelamatkan kupingku dari ketulian jika bukan aku sendiri. Apalagi, kupingku yang sudah tertutup kerudung tak sanggup menerima dentuman gendang yang begitu keras.

Aku kenal sebagian dari mereka. Tidak kenal nama, tapi aku sering melihat mereka karena tempat tinggal mereka dekat dengan rumah mertua. Mereka masih muda. Lahir dan besar di Jakarta. Kehidupan Jakarta yang keras mungkin tak sanggup lagi mereka tahan, akhirnya mereka memilih menyingkir ke pinggir. Tanah dan rumah mereka jual, lalu dibelikan rumah lagi, motor untuk ngojek, dan sebagian sound system untuk ngamen. Hidup bisa mengalir kembali.

Selesai satu lagu, mereka pergi ke gerbong berikutnya. Aku bisa sedikit lega. Masih satu jam lagi aku harus terguncang di kereta ekonomi. Tapi angin yang menerobos kaca jendela yang pecah membuat aku ngantuk. Tas aku peluk dan mulai memejamkan mata.

Pluk! Tiba-tiba segepok pena jatuh ke pangkuan. Liam ribu saja, teriak si penjual sambil terus menjatuhkan kotak-kotak berisi pena ke setiap penumpang di gerbong ini. Karena aku tidak berminat, dan lagi pula aku juga berjualan barang seperti itu, aku memejamkan mata lagi.

Tidak lama kemudian, seseorang menepuk bahuku. Karcis, mbak! Dengan sigap aku keluarkan karcis yang sedari tadi aku kantongi. Tapi si bapak kondektur belum beranjak dari hadapanku setelah mengembalikan karcis yang sudah di bolongi. Rupanya dia menunggu si ibu sebelahku yang terlihat sibuk mencari-cari dalam tas kecilnya. Ah,rupanya dia bukan mencari karcis, tapi memungut uang seribuan. Lalu dua tangan bersentuhan, dan uang dalam genggaman si ibu telah berpindah. Lalu si bapak beranjak menjauh, menepuk bahu para penumpang untuk menanyakan karcis.

Aku berpaling kepada si ibu. Kenapa tidak beli karcis bu, tegurku. Dia cuma menjawab, ngga sempat! Dan aku tidak perlu banyak bertanya. Kejadian itu setiap hari aku saksikan dan seakan sudah menjadi ritual. Sudah biasa.....TST (tahu sama tahu) aja!

Aku tak mungkin memarahi mereka semua. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan kepada mereka bahwa dengan ‘membayar di atas” seperti itu sebenarnya kita sedang meniti celaka kita sendiri. Takkan pernah ada dana untuk memperbaiki kereta yang sudah semakin bobrok ini, dan suatu hari karena ketiadaan dana itu membuat kita harus menahan sakit karena celaka. Atau bahkan terbujur kaku “hanya” karena rel yang sudah lapuk tak sempat diganti. Setiap kali aku harus menaiki kereta ini, aku merasa sedang berjudi dengan nasib. Mudah-mudahan, tak ada sinyal yang rusak. Mudah-mudahan tak ada lagi sambungan listrik yang putus....
karena separuh dari penumpang kereta tak pernah membeli karcis!