Mar 31, 2007

Namanya Nirina

“Namaku Nirina..!” begitu teriak seseorang diantara kerumunan penumpang. Mendengar lengkingan suara dan nama yang dia sebutkan itu, aku yakin dia seorang perempuan. Aku juga membayangkan dia seperti namanya. Tahu kan, nama itu sekarang dimiliki seorang artis?
Tapi, setelah kerumunan itu sedikit menyingkir (mungkin karena takut dengan sosoknya), aku bisa melihat, dan membuatku tak yakin lagi bahwa dia perempuan. Sosok yang menyeruak itu bertubuh dempal, berotot, dan berambut cepak. Di kepalanya terikat sebuah bandana yang tak keruan lagi warnanya, seperti halnya baju dan celana pendek yang sudah tak bisa lagi menutupi sebagian besar tubuhnya. Perutnya yang gendut dibiarkan terbuka menantang angin.

Sambil memandang sekeliling, Dia berjalan membelah ruangan dalam kereta. Tanpa komando, penumpang yang berdiri di bagian tengah langsung merapat ke tepi, sebagian pergi ke gerbong lain. Para pedaganpun memilih berbalik, tak mau lewat di dekatnya. Tubuh kumalnya membuat orang takut bersentuhan.

“Nirina mau bilang, Nirina lagi lapar dan haus. Tapi Nirina tidak punya uang. Jadi, aku minta kalian ngasih aku uang. Kalau nggak, aku cium…..” teriaknya lagi.
Melihat ekspresi wajahnya yang tak menampakkan “kegarangan” sebagaimana orang yang akan “menodong”, banyak penumpang yang tak mempedulikan ancaman itu. Apalagi ancamannya “hanya” ciuman…. Tapi, kalau dipikir lagi….siapa yang mau dicium olehnya? Ini bisa jadi urusan seirus….

Wah, dugaanku ternyata benar! Ini bukan gertak sambal. Dari pintu pertama gerbong ini dia mulai menjalankan aksinya. Setiap orang yang menurut dia pantas di mintai uang, dia dekati sambil menengadahkan tangan. Seorang bapak yang tidak mempedulikan permintaannya serta merta dia cium. Sang bapak terlihat shock, dan dengan gelagapan langsung memberikan selembar uang seribuan sambil berlalu menahan malu.

“Kan sudah Nirina bilang, kalau nggak ngasih duit, aku cium....!” begitu teriakan histeris sang penodong, mengulang ancamannya mengiringi berlalunya sang korban pertama.

Segerombol mahasiswa yang duduk di sebelah kiriku langsung ribut. Ada yang mencari receh di saku celana, tapi ada juga yang memilih “kabur” ke gerbong lain. Sedangkan mahasiswi di sebelah kananku memilih berdiam diri tidak melakukan sesuatu meskipun dari wajahnya dia nampak ketakutan. Mungkin dia berharap, seperti aku berharap, kepada perempuan dia tidak mau melakukan itu. Aku sendiri tak melakukan apa-apa. Aku lebih memilih (berencana) akan “mendampratnya” abis-abisan jika dia berani mengancamku atau akan menciumku. Meskipun berani melakukan atau tidak, aku lihat situasi dulu.

Satu persatu, Nirina mendatangi orang-orang dan terus mengantongi sejumlah uang. Nirina tidak mau uang receh (logam), dia mau minimal seribu.

Semakin dekat ke arahku, aku semakin waspada. Aku tak main-main dengan rencanaku. Tapi aku tetap berusaha tenang. Mahasiswi di sebelahku juga masih diam, tak terlihat mempersiapkan uang receh. Tiba-tiba dia sudah di depan mahasiswi itu. Si Mahasiswi menolak, dan sedetik kemudian si Nirina sudah siap menyorongkan wajahnya ke wajah si mahasiswi. Dengan sigap si Mahasiswi mengelak, sambil menarik uang seribuan dari saku celana. Sambil menyeringai memamerkan giginya yang kuning, Nirina pun beralih ke para mahasiswa yang sudah siap dengan lembaran uang ribuan masing-masing.

Tapi aneh, tak sedikitpun dia menoleh padaku. Meskipun aku merasa senang dan lega, aku jadi bertanya-tanya. Kenapa dia bersikap seperti itu? Mungkinkah dia merasakan “bahaya” yang sedang mengancam (dari aku)? Atau dia memang sengaja memilih “mangsa” tertentu? aku jadi tertarik mengamati terus gerak geriknya.

Selesai dengan para mahasiswa, Nirina bergerak mendekati seorang siswa SMP yang nampaknya baru pulang dari sekolah. Siswa ini nampak pasrah dengan nasib yang akan menimpanya. Aku menduga, si siswa lebih “memilih” di cium daripada menyerahkan uang yang tersisa untuk ongkos pulang ke rumah. Seorang ibu berkerudung yang duduk bersebrangan denganku juga sudah siap dengan uang receh di tangan. Seperti sikapnya padaku, Nirina sedikitpun juga tak mau mendekatinya. Mungkinkah Nirina enggan dengan para “kerudung-ers”? atau hanya malas berurusan dengan sosok “ibu-ibu”?

Tidak berapa lama, kereta berhenti di stasiun Pindok Cina. Si Nirina segera menghilang sambil berucap terimakasih. Mungkin Nirina sudah puas dengan jumlah uang yang diperoleh. Para mahasiswa pun terlihat lega. Sambil tertawa-tawa mereka saling menceritakan ketegangan yang mereka alami akibat ulah Nirina. Seorang tertarik dengan “statusnya”, sedang yang lain lebih ngeri dengan “ciumannya”.

Aku jadi geli sendiri. Kalau dipikir-pikir, Nirina lebih pintar dari penjahat lain di kereta. Jika penjahat lain memilih “menipu” dengan mempertontonkan kesengsaraan, atau copet yang sangat menjengkelkan, Nirina memanfaatkan sifat “angkuh” manusia yang senang mengukur pantas atau ke-tidakpantas-an dirinya atas sesuatu.

Keadaanya yang “tidak pantas”, membuat orang lain malas berinteraksi (berurusan) dengannya. Kalaupun terpaksa berinteraksi, pasti inginnya segera diselesaikan. Kondisi itulah yang dimanfaatkan Nirina. Tidak ingin berlama-lama memandang atau berurusan dengan “ketidakpantasan”nya? bayarlah! Maka Nirina akan segera pergi.

Tak bersenjata tajam, tidak menjual kesengsaraan, Nirina hari ini bisa kenyang….!

televisi, oh televisi...

Huruf di remote kontrol tv sudah hampir aus. Tapi aku belum bosan memencetnya. Aku masih berusaha berpindah channel untuk menemukan sesuatu yang menarik. Chanel satu, gosip. Chanel dua, gosip juga tapi pakai embel-embel investigasi. Chanel tiga, berita. Boleh juga! Tapi, keasyikanku menyimak tidak bertahan lama. Berita yang diturunkan sudah berulang kali aku saksikan, dan belum ada perkembangan baru. Sudah begitu, aku harus terus menahan gemas, kesal, marah, dan sebagainya. Aku hanya bisa mengeluh, negriku yang penuh dengan bencana inimasih juga di jejali manusia-manusia sampah yang bertebaran di mana-mana. Setiap saat, kehadiran mereka menghiasi layar kaca dengan senyum lebar, tanpa dosa. Padahal di perut dan kantongnya, penuh “jenazah” orang-orang yang dia tindas secara fisik maupun moral. Capek deh..!

Aku mencari lagi chanel yang masih menyajikan sesuatu yang menarik. Ada satu. Acara ini membahas tentang seluk beluk berbagai hidangan khas suatu daerah. Tapi tak ada resep yang bisa aku catat, karena memang hanya menampilkan makanan yang sudah matang lalu kita diberikan “wawasan” tentang rasa makanan itu. Enak, nyamleng, juara dan sebagainya….

Aku hanya bisa menelan ludah sambil mengelus dada, karena semua makanan itu hanya ada di angan-angan. Tidaklah salah kalau kemudian aku membayangkan betapa enaknya jadi pencicip di acara itu. Makan dan makan terus…. Tapi....bayar sendiri nggak ya?

Lalu, ada satu yang menggelitik pikiranku. Demi menampilkan berbagai makanan yang beragam untuk memenuhi selera pemirsa, sang juru pencicip hanya memakan sedikit sekali dari setiap menu yang dipilih. Kemanakah sisanya? Aku berharap makanan itu tidak terbuang percuma. Aku ngeri membayangkannya. Aku lebih suka membayangkan anak-anak kurang gizilah yang diajak untuk mencicipi makanan itu. Pasti takkan bersisa dan lebih berguna.

Selagi negeri ini masih banyak yang kekurangan gizi akibat tak mampu membeli makanan yang cukup, bahkan nasi akingpun mereka makan, apakah benar ini menjadi tawaran yang menggiurkan? Memang, untuk yang bosan dengan menu makan yang itu-itu saja tawaran seperti itu akan terasa sangat menyegarkan. Aku sendiri awalnya merasa amat tergiur dan “ngiler” membayangkan lezatnya makanan itu, dan berencana suatu saat aku akan datang ke restoran, atau tempat jajan itu untuk sekedar membuktikan.

Tapi, demi sebuah kebenaran, bukankah menu yang itu-itu saja dari dapur sendiri karena memang duitnya hanya cukup untuk jenis yang itu-itu saja?

Aku jadi berusaha keras untuk waras. Apakah aku akan tega menghabiskan uang belanja satu bulan hanya untuk sekali makan? Lalu akupun meng-hadapkan diri pada kebenaran yang lain. Bahwa, aku hanya bisa menelan ludah, dan sebuah kenyataan betapa keringnya kantong ini.

Tapi, aku tak boleh tak bersyukur. Dalam keterbatasan, aku harus mulai melihat dan meyakini bahwa, terlalu banyak yang manusia inginkan hingga lupa akan apa yang telah didapatkan. Toh, aku sudah memiliki yang aku butuhkan. Makanan, pakaian dan tempat tinggal semua telah ada. Jika aku menginginkan sesuatu, maka keinginan itu seharunya tidak memenjarakanku. Apalagi membuatku sedih, lalu merasa bagaikan tak punya apa-apa.

Televisi pun aku matikan. Nanti saja aku nyalakan lagi, setelah tugasku memasak telah selesai. Atau setelah aku benar-benar menemukan bahwa tv bagiku harus “hanya” sebagai hiburan dan sumber pengetahuan. Bukan penggoda iman semata….

Mar 18, 2007

Ordinary People

Sudah pagi lagi! Capek akibat berdesakan di kereta kemarin belum pulih benar, sekarang aku harus mengulanginya lagi. Mungkin besok juga…

Aku jadi berpikir untuk minta ijin datang terlambat. Mudah-mudahan diijinkan, toh kerjaanku sudah aku selesaikan semua kemarin. Aku memang tak pernah suka menunda kerjaan, karena bisa menyita pikiran.

Ijin sudah turun. Si Bos bilang terlambat dikit boleh, asal aku tetap datang hari ini karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan untuk pesiapan seminar besok. Aku sedikit lega. Setidaknya aku bisa memiliki waktu lebih banyak untuk sampai kantor. Dan itu berarti aku tidak harus memaksa naik kereta yang sudah penuh sesak. Aku bisa sedikit ambil waktu menunggu kereta berikutnya. Di atas jam delapan pagi nanti, kereta lumayan longgar.

Aku memilih duduk menunggu kereta berikutnya di dekat sebuah kios minuman. Si ibu penjual sedang sibuk menata barang yang akan di jual. Tumpukan roti dan panganan lain satu persatu di rapikan. Sesekali dia meneriaki anak lelakinya yang sedang asyik berlatih dengan grup ngamen-nya. Anak lelaki itu berseragam sekolah dasar, kelihatanya dia berumur 9 atau 10 tahun. Jam 8.15 dia masih belum masuk kelas? Apa dia membolos? Tapi setelah ku pikir lagi, SD di depan stasiun memang hanya ada tiga kelas, jadi mereka masuk bergantian.

Tiba-tiba datang seorang ibu dengan menggendong bayi. Aku sering melihatnya. Dia adalah seorang penyapu kereta. Maksudnya, dia menyapu lantai kereta atas kemauannya sendiri bukan atas perintah pihak PT KAI. Dengan berbekal sapu lidi atau berupa sabut tanpa gagang, si ibu menyapu lantai yang penuh dengan sampah penumpang dengan harapan mendapat imbalan dari penumpang.

Si ibu penyapu membeli air gelas yang dingin. Beberapa saat kemudian si ibu penjual dan penyapu terlibat percakapan yang “mengasyikkan” meskipun bagiku tidak. Bagiku lebih terasa menyedihkan.

“Loe sudah lama nggak kemari. Tumben sekarang nongol..!” kata si ibu penjual memulai perbincangan.
“Iya, kemarin baru pulang kampung” kata si ibu penyapu dengan logat Jawanya yang medhok. Sesekali mulutnya menyedot minuman. Dari wajahnya dia nampak menikmati betul air dingin itu.
Si ibu penjual memperhatikan bayi yang ada dalam gendongan si ibu penyapu. Dahinya sedikit berkerut.
“Ini anak baru? Baru nemu atau anak loe sendiri. Tapi pasti bukan anak loe, kan? Gue nggak pernah liat loe bunting. Dapet beli di mana? Berape duit loe beli? Anak yang kemarin dikemanain?”
Si ibu penjual menghujani si ibu penyapu dengan pertanyaan. Si ibu peyapu terlihat gugup, tapi coba di tutupinya dengan senyum.
Sekilas aku ingat, beberapa waktu lalu dia menyapu dengan menggendong anak perempuan yang berumur sekitar dua tahun. Si anak sering merengek minta belikan ini dan itu. Sekarang dia muncul lagi dengan anak yang berbeda.
Melihat si ibu penyapu tak bereaksi, si ibu penjual terlihat tidak puas. Lalu dia melancarkan pertanyaan lagi ke ibu penyapu.
“Yang umur segini, dapet nggak tiga ratus (ribu)?” tanya si ibu penjual tanpa basa-basi.
Aku yang mendengar pertanyaan itu sangatlah terkejut. Tapi herannya, si ibu penjual terlihat yakin sekali pertanyaannya itu tidak ngawur atau mengada-ngada. Dan si ibu penyapu sekali lagi hanya senyum-senyum saja.
Kemudian, si ibu penyapu beranjak pergi. Dia naik kereta arah Bogor yang baru saja berhenti.
Aku mengalihkan perhatian pada si ibu penjual. Dia terdengar masih membicarakan si ibu penyapu dan anak barunya dengan penjual bubur kacang hijau di sebelahnya.
“Ah, itu sih biasa….palingan juga si anak sebelumnya dia jual karena sudah ribet ngurusinnya. Anak umur dua tahunan kan sudah bisa ngrengek minta macem-macem! Sudah gitu nggak bisa di pakai buat nyari duit”
Si abang tukang bubur hanya manggut-manggut.
Lalu pembicaraan selesai. Semua sibuk kembali dengan urusan masing-masing.

Tinggal aku yang termangu. Sebelumnya aku sudah sering mendengar perihal jual beli anak, tapi tidak pernah senyata ini. Anak-anak dan bayi, terus berpindah tangan seperti barang yang hanya bisa pasrah menerima nasib. Ibarat selembar kertas, warnanya tak lagi putih penuh coretan kelabu hasil goresan orang tuanya. Hidupnya kini bukan untuk curahan kasih sayang, tapi untuk membuat “orang tuanya” kenyang.

Salah siapa, ini dosa siapa….? Lagu Ebiet yang terdengar sayup mengiringi pikiranku yang semakin jauh mengembara.

Mar 10, 2007

Dan, SMS itu...

Dan, SMS itu….

Telepon genggam di meja komputerku berbunyi. Satu SMS masuk. Dari tetangga. Dia ada di rumah, dan menanyakan apakah aku ada di rumah. Rumahku dan rumahnya terpisah oleh satu tembok yang sama. Aku memang ada di rumah dan sedang malas keluar rumah dan mengobrol dengan para ibu yang lain. Selain karena tak memiliki bahan pembicaraan yang penting, akhir-akhir ini hujan yang semakin deras membuatku harus betah di rumah. Bocor di sana-sini mengerjaiku untuk lebih aktif mengepel. Capek. Tapi karena ini rumahku, aku rela, iklas membersihakannya. Selain itu, aku belum punya uang untuk membenahi rumah.

Kembali ke sms. Aku hafal, tetanggaku ini punya kebiasaan unik. Jika ada hal yang penting, dia memilih mengirim SMS. Mungkin, karena dia malas menjadi bahan pembicaraan para tetangga yang haus gosip. Dan tebakanku kali ini benar, dia minjam uang! Dia bilang harus membayar ini itu, tapi uang kiriman suaminya sudah habis. Dia berjanji dua hari lagi akan dikembalikan.

Aku sendiri sebenarnya tidak pernah kelebihan uang, malah keseringan kurang! Tapi mengingat dia tetangga dekat, dan berjanji akan mengganti dalam waktu dua hari saja mungkin aku bisa menolong. Setelah ijin dari suami turun, aku membalas SMS dan mengatakan bahwa uangnya bisa diambil sekarang.

Hhhhh, lega bisa menolong!

Keesokan harinya aku dan suami pergi ke Cimanggis untuk menjumpai saudara yang baru pulang haji. Tiba-tiba terpikir olehku jangan-jangan kran air di kamar mandi belum tertutup. Jika itu terjadi, sehari semalam hingga besok, pompa air akan terus berputar hingga air dari sumur terus tersedot hingga kering. Takutnya pompa air akan rusak atau terbakar. Tekorlah yang terbayang.

Kemudian terpikir olehku untuk meminta tolong tetanggaku itu untuk mengecek apakah pompa air terus berputar dengan cara mendengarkan dengung mesin pompa dari balik tembok. SMS aku kirim dengan harapan mendapat jawaban yang aku harapkan. Tapi, saat SMS balasan aku terima, sungguh mengejutkan. SMS itu malah menanyakan aku ini siapa dan ada perlu apa? Loh, bagaimana mungkin nomor Hp ku tak dikenali? Kemarin, nomor ini yang mengirim pesan meminjam uang, kok sekarang jadi tidak kenal? Aku jadi berpikiran buruk bahwa dia memilihku untuk berkomunikasi jika hanya ada maunya. tapi pikiran itu cepat-cepat aku tepis. Mungkin saja dia memang tidak menuliskan no HPku agar aku tidak diganggu orang lain, atau karena memang HP yang dia pakai bukan milik dia sendiri. Yah, aku tinggal menunggu besok. Benarkah dia akan mengembalikan uang sesuai janjinya?

Ternyata benar. Aku lega lagi, keputusanku untuk mempercayai tetanggaku itu benar.

Mar 3, 2007

Di Atas Kereta Bogor-Jakarta

Peralatan sound system, gitar, gendang, seruling, dan “kecrekan” sudah siap dimainkan. Berarti, aku yang duduk persis depan sound system, harus bersiap untuk tuli setidaknya lima menit kedepan sesuai durasi lagu. Aku sebenarnya bisa pindah ke gerbong lain, tapi karena aku mendapatkan tempat duduk dengan “perjuangan” dan perjalananku masih jauh – satu jam lagi- menuju Jakarta, aku pilih bertahan dan menutup kuping. Mungkin pandangan marah dari para pengamen akan tertuju padaku karena merasa terhina. Tapi sumpah, aku tidak bermaksud begitu. Aku tidak benci dangdut, karena aku sendiri tumbuh di lingkungan yang setiap hari akrab dengan musik ini.

Tapi aku memang tidak tahan dengan musik yang diputar terlalu keras. Kupingku terasa sakit. Gimana lagi, jika mereka tak memikirkan kuping dan perasaan orang lain, kenapa aku harus peduli dengan sikap mereka. Siapa lagi yang akan menyelamatkan kupingku dari ketulian jika bukan aku sendiri. Apalagi, kupingku yang sudah tertutup kerudung tak sanggup menerima dentuman gendang yang begitu keras.

Aku kenal sebagian dari mereka. Tidak kenal nama, tapi aku sering melihat mereka karena tempat tinggal mereka dekat dengan rumah mertua. Mereka masih muda. Lahir dan besar di Jakarta. Kehidupan Jakarta yang keras mungkin tak sanggup lagi mereka tahan, akhirnya mereka memilih menyingkir ke pinggir. Tanah dan rumah mereka jual, lalu dibelikan rumah lagi, motor untuk ngojek, dan sebagian sound system untuk ngamen. Hidup bisa mengalir kembali.

Selesai satu lagu, mereka pergi ke gerbong berikutnya. Aku bisa sedikit lega. Masih satu jam lagi aku harus terguncang di kereta ekonomi. Tapi angin yang menerobos kaca jendela yang pecah membuat aku ngantuk. Tas aku peluk dan mulai memejamkan mata.

Pluk! Tiba-tiba segepok pena jatuh ke pangkuan. Liam ribu saja, teriak si penjual sambil terus menjatuhkan kotak-kotak berisi pena ke setiap penumpang di gerbong ini. Karena aku tidak berminat, dan lagi pula aku juga berjualan barang seperti itu, aku memejamkan mata lagi.

Tidak lama kemudian, seseorang menepuk bahuku. Karcis, mbak! Dengan sigap aku keluarkan karcis yang sedari tadi aku kantongi. Tapi si bapak kondektur belum beranjak dari hadapanku setelah mengembalikan karcis yang sudah di bolongi. Rupanya dia menunggu si ibu sebelahku yang terlihat sibuk mencari-cari dalam tas kecilnya. Ah,rupanya dia bukan mencari karcis, tapi memungut uang seribuan. Lalu dua tangan bersentuhan, dan uang dalam genggaman si ibu telah berpindah. Lalu si bapak beranjak menjauh, menepuk bahu para penumpang untuk menanyakan karcis.

Aku berpaling kepada si ibu. Kenapa tidak beli karcis bu, tegurku. Dia cuma menjawab, ngga sempat! Dan aku tidak perlu banyak bertanya. Kejadian itu setiap hari aku saksikan dan seakan sudah menjadi ritual. Sudah biasa.....TST (tahu sama tahu) aja!

Aku tak mungkin memarahi mereka semua. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan kepada mereka bahwa dengan ‘membayar di atas” seperti itu sebenarnya kita sedang meniti celaka kita sendiri. Takkan pernah ada dana untuk memperbaiki kereta yang sudah semakin bobrok ini, dan suatu hari karena ketiadaan dana itu membuat kita harus menahan sakit karena celaka. Atau bahkan terbujur kaku “hanya” karena rel yang sudah lapuk tak sempat diganti. Setiap kali aku harus menaiki kereta ini, aku merasa sedang berjudi dengan nasib. Mudah-mudahan, tak ada sinyal yang rusak. Mudah-mudahan tak ada lagi sambungan listrik yang putus....
karena separuh dari penumpang kereta tak pernah membeli karcis!