May 12, 2007

Seni (ber) Suara...

Aku tak hendak menjadi ahli seni suara apalagi mengajarkan bagaimana berseni suara. Suaraku sendiri, wah..jauh…dari apa yang di sebut berseni. Aku hanya ingin sekedar menyuarakan suaraku. Mumpung aku lagi sadar aku punya suara dan pengen menyuarakannya. Kemarin sih sebenarnya sudah sadar, tapi, kadang aku di buat nggak sadar oleh sesuatu. Itu lho, yang biasa kita bilang bungkam atau membisu seribu bahasa. Meski membisu kadang sama sekali tidak menyenangkan, nggak mudah dan nggak murah. Tapi, sesekali itu perlu.

Membungkam suara itu jelas tidak mudah, wong dari kecil kita diajari bersuara dan bicara! Lha, sekarang sudah bisa bersuara (pinter malah), kok sering disuruh diam.
Belum lagi saat kita dipaksa diam, kita mendengar suara-suara lain dengan lantang menantang. Mulut jadi gatal ingin menyemburkan semua suara yang sudah kita pelajari. Kuping panas, darah mendidih, kepala mau meledak, mata melotot, dan semua gejala mengkhawatirkan langsung muncul... jika tak terkendali, bisa ditebak segala sesuatu nya akan segera meledak! Dan, sebagaimana diketahui, yang namanya ledakan, pasti membuat kehancuran. Sudah suara tidak didengar, hancur lagi semuanya...

Akibat pem-bungkam-an itu, kita jadi makin miskin kesempatan, akal budi bahkan nurani. Semuanya sudah terkikis kemarahan yang semakin deras mengalir dalam darah. Makanya, diam itu membutuhkan kebesaran hati. Kalau enggak, suara yang pengen di keluarkan dari paru-paru nggak bakalan ketampung dan bisa jadi pembunuh diam-diam. Gawat kan?

Bungkam itu nggak murah karena sudah jadi fitrah manusia untuk bersuara, berkoloni dan berkomunikasi. Jika hal itu dihalangi, energi itu pasti mencari celah untuk keluar dari kebungkaman. Beruntung jika energinya tersalur menjadi sesuatu yang positif, bagaimana jika kebungkaman itu mengubur jutaan manusia dalam liang kenistaaan? Apakah jadi terhitung murah, jika kebungkaman membuat jutaan orang sengsara bahkan mati dalam kebisuan?

Setelah sekian lama bungkam, kran suara itu kini mulai terbuka. Seperti air yang sudah lama terbendung, semburan air membuncah dan menerjang apapun yang ada didepannya. Semua berebut bersuara. Saling berteriak keras mencoba mendapatkan perhatian dari siapapun yang berkuasa atau bahkan mulai menunjukkan kuasa. Tapi celakanya, sang penguasa pun sibuk bersuara, meskipun seringkali “fals” mereka ingin terus didengar. Mereka sibuk mengisi celah suara yang masih terlihat lowong dengan siapapun yang bisa bersuara, bagus atau sekedar me-ngeong kepada sang tuan, bahkan yang hanya bisa mencicit seperti tikus. Suara-suara itu saling bersahutan, berisik dan memekakkan telinga. Nggak nyeni gitu, apa yang bisa dinikmati..!

Jika sudah nggak tahan dengan ketidak-nyeni-an seperti ini, apa yang akan terjadi? Seseorang harus menyadarkan mereka dan berteriak “diaaammm...!!” Tapi jika seseorang ini bersuara kecil, siapa yang mendengar perintahnya? Mungkin lebih efektif jika calon pemimpin itu memulainya dengan diam, lalu berpikir untuk sesuatu yang lebih maju dari sekedar bersuara. Atau, berpikir untuk berbuat sesuatu yang berbeda dari sekedar bersuara. Jika sudah dapat, silahkan berbuat...!

Ada satu usulan, di tanah Jawa, ada satu suara yang dianggap sakral dan kebetulan suaranya keras sekali, pun beda dibanding yang lain. Di jamin, semua yang mendengar suara itu pasti diam bahkan tak lagi saling berteriak. Malah mungkin juga bertepuk tangan.

Nah, suara itu berasal dari sebuah benda yang disebut GONG! Bunyi benda itu menggelegar, keras dan bergema. Sekali pukul, mudah-mudahan itu cukup membuat teriakan yang tak beraturan menjadi terhenti.

Tapi, benda ini juga punya reputasi buruk dikalangan masyarakat Jawa. Karena benda ini bisa jadi bukan sebagai penghenti tetapi malah jadi pertanda dimulainya kegiatan atau penambah “panas” suasana. Pernah dengar kan istilah nge-GONG-i? Kalau tidak salah, itu artinya mengiyakan/membenarkan sesuatu atau kabar yang belum jelas, bisa juga diartikan mengobarkan sesuatu yang mulai panas. Biasanya dilakukan pada suatu masalah yang terkait gossip, biar makin HOT! Maklum, semakin panas suasana, makin menderita seseorang, kita makin senang. Kita seperti makin dibukakan kesempatan bersuara, bahkan mencaci maki sesuatu yang tidak kita senangi. Iya kan?

Tapi, sebenarnya untuk apa sih kita berusaha agar mereka diam? Sebelumnya kan sudah dibahas, membungkam orang agar diam kan sia-sia... Apa karena kita pingin di dengar dan menjadi satu-satunya orang yang didengar? Wah, balik lagi dong, ke jaman ke-bungkam-an?

Dalam benak saya, kita semua menginginkan suara-suara itu tak lagi hanya sekedar keluar dari mulut tanpa pikir, alias asal njeplak! Kita ingin suara-suara itu terdengar merdu ditelinga, dalam irama yang harmonis atau dinamis. Sudah pasti tidak mudah. Tidak setiap orang mau melakukannya. Suara yang terlanjur besar dan lantang, pasti sulit untuk menurunkan suaranya. Lah, wong suara itu membuatnya berkuasa! Sedangkan yang sudah lama tidak bersuara, pasti juga butuh latihan dan dorongan untuk bisa bersuara. Sudah lama tidak bersuara, jelas tidak sehat bagi jiwa. Mereka mungkin takut suaranya tidak di dengar karena tidak menarik, atau malah jadi suara baru yang menarik tapi membuatnya tidak nyaman karena jadi sorotan bahkan ancaman untuk hidupnya. Yah, bersuara saja masih harus belajar (lagi). Tenggorokannya mungkin sudah mengering karena sudah lama tak tersentuh ludah yang biasanya muncrat saat kita bersuara. Mungkin juga karena bersuara butuh keberanian. Jika tak punya keberanian, dada dan perutmu tentu tak pernah terisi udara hingga kempis. Berbeda dengan yang biasa berkoar, perut dan dadanya pasti penuh udara kebanggaan hingga membusung. Setiap saat, udara dalam kantong perut dan dada itu siap dimuntahkan dengan suara menggelegar. Gimana bisa (mau) harmonis? Toleransi saja kita malas... Padahal agar menjadi harmonis, kita memang harus penuh toleransi. Itu suara jangan sampai ada yang terlalu keras, atau terlalu kecil. Iramanya juga harus teratur.

Tapi, kalau semua orang sudah berani bersuara dengan dada membusung, keharmonisan jadi terasa kurang menggairahkan.

Kalau begitu, kita harus menuju level berikutnya yaitu dinamis. Untuk ke level ini, suara suara itu tidak dituntut untuk berirama senada atau sama, tapi bersuara untuk mengekspresi diri sendiri. Dengan satu syarat, ekspresi suara itu tidak boleh membuat suara lain terdengar buruk. Itu berarti, satu suara dengan suara lain harus saling memahami bagaimana cara untuk saling melengkapi suara yang sudah ada agar menjadi indah tanpa membuat suara lain tenggelam. Makin susah ya? Tapi, katanya itulah yang dinamakan demokrasi…

Betul nggak, ya? Mudah-mudahan suaraku ini bukan suara yang asal njeplak, wong mikirnya aja nggak cukup seharian….

May 2, 2007

Spongebob temanku.....

Aku pernah menawari temanku untuk menjadikan dia sebagai subyek tulisanku. Kebetulan dia juga mau. Waktu aku tanya mau nama asli atau samaran, dia bilang jika dia jadi subyek protagonis dia bilang gak perlu nama samaran, tapi kalau antagonis atau teraniaya dia maunya nama samaran. Dan untuk itu dia memilih nama samaran Rooz.

Entah kenapa aku mau menuliskan sosok seorang teman. Padahal bagiku itu seperti “bunuh diri”. Bagaimana tidak, jujur saja, sebenarnya aku kurang paham tentang si Rooz ini. Dulu, pertama kali diperkenalkan, kami sama-sama orang baru di kantor itu. Kesan pertama yang aku dapat, gayanya mahasiswa banget! Bisa dimaklumi sih, dia memang fresh graduate dari sebuah universitas. Jadi, biarpun memasuki dunia “kerja”, gayanya masih belum berubah. Mungkin nanti.

Tetapi, ternyata, ada sesuatu yang membuat dia berbeda. Perbedaan ini sangat mencuri perhatian. Kalau dibilang kejutan, ya mungkin ini suatu kejutan meski seharusnya hari gini untuk yang satu ini tidak perlu terkejut. Banyak kok, orang lain yang melakukan “hal“ yang sama.

Kejutannya berawal di suatu hari, saat pertama kali makan siang bareng di kantor. Meski dari awal memang dia terlihat pe-de, dan tidak terlihat sungkan meski baru kenal, tapi begitu dia tanpa malu dan ragu mengambil makanan, aku mulai mengakui dia memang beda! Soal keterkejutan itu aku tidak sendiri, beberapa teman lain juga berpikir sama. Padahal, untukku sendiri, menu makanan siang itu sebenarnya tidak terlalu sreg. Tapi ketimbang beli, ya oke lah...!

Aku harus mengakui, dia lebih berani. Menyenangkan juga punya teman doyan makan. Sudah lama aku tidak mengagumi sesuatu dan sekarang aku punya. Aku yakin dia suka punya teman seperti aku, karena aku sendiri senang memanjakan orang-orang seperti itu. Tentu dengan membawa makanan ke kantor, walau ala kadarnya.

Setelah sekian lama bekerjasama, aku mulai mendapatkan gambaran bahwa seorang Rooz sangatlah mirip dengan Si Kuning dari Bikini Bottom. Kalau ditanya apanya, aku akan langsung menyebutkan sifat yang ini: ceria! Dimanapun, kemanapun (kadang kalau kita lagi bareng jalan lagi tugas ataupun pulang), aku tak pernah menemukan wajah yang mendung! (Jiee..).

Memang nggak semua sifatnya sama persis seperti Spongebob. Karena Sponge Bob pinter masak, tapi Rooz enggak (dia ngaku sendiri lho...!). Tapi, Spongebob punya binatang piaraan, Rooz juga. Sama-sama kucing lagi! Terus, satu hal yang tidak bisa dilupakan, keceriaannya kadang membuat orang lain be-te! Kesannya dia itu innosence gitu lho...!

Dia boleh dibilang cerdas, tapi tidak jika sedang senang (seperti yang aku bilang, keceriaannya kadang membuat orang lain be-te). Pengalaman hampir terkunci dalam mobilnya (saat pulang bareng dari satu tugas dan dia dijemput sang suami) setidaknya membuktikan itu. Meski maklum, aku dan satu temanku sempat kaget juga. Sempat terpikir aku akan terprangkap di pengapnya mobil. Rooz bilang itu nggak disengaja, maklum selama ini hampir tak pernah ada orang lain dalam mobil itu selain mereka berdua. Jadi, saat kita numpang untuk balik ke kantor, dia lupa ada aku dan satu teman lagi di mobil. Duh, mentang-mentang Pengantin baru.... masih merasa di dunia hanya ada mereka.

Dan seiring semakin jelas karakter tokoh itu dipikiranku, tiba-tiba muncul sosok lain pada teman-teman kerja yang aku pikir juga mirip dengan teman-teman si Spongebob. Ada yang menjadi tokoh naif (kalau tidak mau dikatakan bodoh atau lugu), serius, ketus, narsis, lincah, dan bahkan pelit. Aku tidak akan menunjuk siapa si tokoh serius, ketus dan pelit. Yang jelas, Si Spongebob temanku ini selain ceria dia juga bisa dibilang narsis. Padahal ini setahuku sifatnya si Mr Tentakle ya? Setiap foto selalu ada dia, dan dengan gayanya yang khas! Setiap jepretan, dia akan siap mengacungkan dua jarinya ke depan...peace!

Sekarang, aku nggak tahu lagi perkembangan spektakuler lain. Sudah lama aku tidak kontak sejak aku tak lagi beraktifitas di sana. Terakhir aku bertemu sehabis dia melahirkan putri pertamanya.

Spongebob temanku sudah berbiak....aku ikut senang meski aku juga sempat dibuat khawatir dengan tingkahnya yang tetap berlompatan di stasiun untuk mengejar kereta. Dengan perut gendut itu...aduh, aku gak kebayang beratnya!

Spongebob temanku, dia sekarang sudah sibuk dengan anak dan suaminya. Mudah-mudahan dia tidak kehilangan keceriaannya meski kadang SMS yang sampai padaku adalah tentang kepusingannya mengatur keuangan. Aku tidak pernah bisa menjawab itu, karena aku sendiri sedang mencari solusinya...

Spongebob temanku yang selalu lapar...Aku tak habis khawatir, mungkinkah kamu masih memikirkan praline kesukaanmu (dan ku) sedangkan sang putri sedang menangis minta susu?

Rooz si Spongebob. Si mahasiswa yang dulu selalu leluasa menikmati hidup, kini harus berpusing untuk menata hidup. Tapi, inilah yang disebut hidup baru. Meski hidupmu tak selalu berbeda, tapi kini setiap hari, hidupmu harus mulai dengan alasan yang tak lagi sama.

Tetap semangat ya....!

Manusia (Jangan) Pernah Ber-Evolusi

Yap, tulisan ini dibilang bercanda boleh….., tetapi dianggap serius juga pasti sangat diharapkan.

Dalam evolusi (sekian juta tahun) perkembangan pikiran manusia “mungkin” boleh dikatakan sudah berbeda dan berubah hingga dikatakan modern. Itu bisa kita lihat dari peradaban yang bisa kita lihat. Teknologi salah satunya. Manusia bangga sekali dengan apa yang dihasilkan dari buah pikiran manusia modern. Gedung tinggi, robot, komunikasi tanpa kabel dan sebagainya. Semua dilakukan demi kesejahteraan manusia juga. Yang, meskipun dalam hal sejahtera setiap orang di muka bumi ini punya kriteria sendiri. Umpamanya: Pemerintah Indonesia, mengukur sejahtera dari adanya beras, bukan ketersediaan makanan bergizi (yang harusnya tidak selalu berarti beras). Orang Bule, mungkin (karena saya bukan bule dan tidak tahu ukuran kesejahteraan mereka), adanya daging. Dan seterusnya....

Tapi, apa sih sebenarnya hasil (akibat) dari ke-modern-an itu?
Sejahterakah manusia?

Seorang profesor dari Jepang dengan pen name High Moon, pernah mengambarkan dalam Cartoon GOMIC Part 3-nya yang terbit tahun 1996, hasil dari ke-modern-nan manusia hanyalah sampah yang semakin bertambah. Sampah ini tak hanya berupa fisik seperti plastik dll, juga sampah-sampah yang tidak terlihat oleh mata yang sangat berbahaya. Sampah-sampah dari manusia modern, sesungguhnya tidak membuat manusia sejahtera. Banyak barang tersedia, manusia makin terpicu dan terpacu untuk memilikinya (meski sebenarnya tak butuh). Semakin banyak barang, ternyata manusia tidaklah semakin nyaman. Semakin manusia modern, semakin “modern” juga penyakit yang timbul. Sampai-sampai, sang profesor menggambarkan manusia bakal menjadi makhluk yang punah karena tak bisa mengelola lingkungan termasuk sampah.

Lalu apa arti ke-modern-an manusia? Jadi terasa sia-sia bukan? Susah-susah berpikir modern, nyatanya malah mati karena tak becus mengelola hidupnya (lingkungan hidupnya) sendiri.

Tapi memang, kalau manusia tak menjadi modern, aku tidak bisa mengetik tulisan ini dengan cepat. Meskipun sadar tubuhku juga harus membayarnya dengan terpapar radiasi setidaknya satu jam sehari.

Tapi, lagi-lagi siapa pula yang mengacaukan siklus alam ini hingga terjadi banyak bencana? Sudah pasti Manusia! Kenapa? Karena semua hal dan makhluk di muka bumi selain manusia, punya siklus hidup yang membuat mereka selalu lestari. Mereka adala mekhluk “profesional”. Tanpa manusia mereka takkan celaka.

Tapi tidak dengan manusia. Manusia adalah makhluk yang paling tidak profesional. Manusia butuh alam untuk dirinya, tapi manusia juga yang merusaknya. Semakin cepat manusia me-modern-kan diri, semakin rusak bumi ini dan sulit kembali. Belakangan, jika kita sadar, siklus hujan dan kemarau sangatlah kacau. Belum lagi banyak badai yang sebelumnya tidak pernah menyambangi kawasan tropis sekarang makin rajin menyapa? Petani dan nelayan yang menjadi produsen dalam rantai makanan semakin sulit memanen. Lalu, apakah itu tidak berarti makanan akan semakin berkurang?

Jutaan tahun tanpa menjadi “modern”, alam bisa hidup lestari: tanpa polusi, tanpa depresi, dan tanpa penyakit modern lain. Sekarang, dalam hitungan ribuan tahun saja manusia sudah menuai banyak kerugian.

Jangan-jangan, kita harus mulai untuk mendefinisikan kembali arti sejahtera dan modern?

Mungkin sejahtera yang mutakhir, haruslah tanpa stress atau depresi akibat kehidupan itu sendiri. Karena, sebanyak apapun uang yang kita punya kalau depresi lalu menjadi sakit parah atau bahkan gila, bukankah semua jadi percuma? Tak bisa menikmati semua hal yang telah susah payah diperjuangkan. Apa itu yang dinamakan sejahtera? Secara materi kita melimpah, tapi secara batin kita merana…apa ini yang dinamakan sejahtera?

Dan modern yang paling modern, adalah jika sesuatu yang kita lakukan -apapun itu- tidak menjadikan alam sebagai korban. Kita sudah mulai bisa merasakan sendiri kini, tak ada lagi tempat yang tanpa polusi karena “ke-modern-an” kita teramat mengabaikan alam. Seakan manusia modern tak pernah tergantung pada alam (bumi). Bukankah sebuah kebodohan modern? Bohong banget kan kalau kita berpikir bahwa sekecil apapun perbuatan kita tak pernah “berakibat”? itu kan namanya manusia modern yang bodoh… (tapi mungkin bukan ini yang di sebut modern kali ya..?)

Tapi, mungkin akulah yang tidak pernah berevolusi! Nyatanya, aku tak pernah berhenti berharap perubahan akan terjadi. Tidak seperti sekarang, hanya jargon saja yang di dengungkan. Tapi alam tetap nestapa dan teraniaya.

Selamat hari bumi! Bumiku sayang, bumiku malang…..