Nov 26, 2008

Nasi kucing

Di rumah sedang ada tamu, menginap sejak kemarin. Tak mungkin meninggalkan mereka (sepasang muda-mudi) di rumah tanpa ada si tuan rumah. Akhirnya suamiku yang menawarkan diri belanja sayuran dan lauk-pauk untuk beberapa hari kedepan. Maklumlah, rumahku tak dekat pasar, jadi sekali belanja sekaligus untuk tiga atau empat hari.

Jadilah suamiku berangkat. Tapi dia belanjanya sore hari, karena dari pagi hingga siang harinya dia harus pergi ke suatu tempat yang akan dijadikan lokasi acara ngumpul-ngumpul. Ya, okelah. Toh, untuk makan siang para tamu aku sudah siap dengan sayur dan lauknya.

Sore menjelang maghrib suamiku sudah sampai kembali di rumah. Di tangan sudah tertenteng sekantong belanjaan. Waktu aku periksa, cuma ada sebungkus taoge, sayur asem, dan dua bungkus ikan kecil-kecil yang dipindang. Sebenarnya aku pengen marah, kok dia hanya belanja itu? Tapi, karena di wajahnya membayang keletihan, juga sedikit kesal, aku memilih menyimpan rasa penasaranku dan kutumpahkan disaat yang tepat. Mungkin nanti, kalau para tamu sudah pulang. Tapi kenapa? Bukankah dia yang menawarkan diri belanja?

Duh, ternyata sore itu kekesalanku harus bertambah. Para tamu, menunda kepulangan mereka hingga esok hari. Bukan karena aku tak suka mereka kerasan di rumahku, tapi aku kebingungan karena tidak menyiapkan makan malam. Apalagi suami hanya belanja taoge dan ikan cuwek (sebutan ikan pindang kecil-kecil itu..).Dengan rasa malu, aku menawari mereka nasi goreng, mie instant, dan telur… Terpaksa aku melakukan itu karena waktu makan malam sudah tiba, dan tak ada makanan yang aku buat. Tapi, untungnya mereka menyadari posisi mereka yang bisa jadi merepotkan si tuan rumah. Jadi semuanya berjalan lancar. Ditambah, ada es krim yang jadi penutup di akhir makan malam yang bisa menutupi kekurangan menunya.

Akhirnya, malampun berlalu. Mereka pulang lebih pagi ketimbang suami berangkat kerja. Karena hari minggu kemarin sudah “lembur” suamiku boleh berangkat lebih siang dari biasanya. Di sela waktu itu, suamiku bercerita hal-hal yang seharusnya sudah aku ketahui sejak kemarin.
Sore itu, turun dari kereta suami menuju ke lapak penjual sayur langganan. Sayangnya sudah tutup. Akhirnya dia berpindah ke pedagang di sebelahnya dan mengalihkan perhatian pada setumpuk ikan pindang yang masih dibungkus kotak anyaman dari bamboo. Ikan-ikan itu nampak menggiurkan. Tapi, dia tidak jadi membeli ikan yang berukuran besar karena dia merasa selain harganya yang mahal, jumlahnya terlalu banyak untuk berdua. Selagi memilih-milih ikan, seorang perempuan paruh baya juga memilih ikan yang sama. Tapi perempuan itu memilih yang lebih besar. Setelah memutuskan ikan yang akan dibeli, suami menunjukkan itu ke pedagang agar di bungkus. Dia sudah membayangkan kelezatan ikan itu bila dimakan bersama sayur asem atau bening bayam.

Tiba-tiba si perempuan paruh baya menoleh ke suamiku dan mengatakan sesuatu yang menyakitkan bagi suamiku. “Eh, iya mas, itu mah cukup kalau untuk kasih makan kucing” kata perempuan itu dengan entengnya. Dari wajahnya tak terlihat si ibu berniat menghina makanan pilihan suamiku. Tapi tetap saja dia merasa terhina. Suamiku geram. “Bagaimana mungkin, makanan kesukaanku dikatakan untuk kucing”, katanya sambil mendengus keras.

Mendengar ceritanya, aku sebenarnya pengen tertawa. Tapi kok kasihan lihat eskpresi suamiku. Walaupun keluh kesah yang meluncur dari bibirnya soal ikan itu berhubungan dengan keadaan keuangan yang sedang krisis, entah mengapa makin membuat aku geli.
Sudut bibirku sungguh tak tahan menahan tarikan syaraf geli di dada dan seluruh tubuh.

Akhirnya, pertahananku jebol juga. Dengan penyesalan yang mendalam, aku harus menertawakan “kesialan” suamiku itu. Sungguh, betapa nyata adanya. Sesuatu yang kita sukai ternyata bagi orang lain tak pantas untuk dimakan. Mungkin bahkan untuk kucing yang teramat dicintai.

Ah, kubuang jauh-jauh saja rasa sedihnya. Yang penting kan gizinya, bukan harganya. Lagi pula, dalam empat hari saja berturut-turut makan daging (ayam, sapi atau kambing), dia pasti sudah mengeluh bosan dan minta kembali ke tempe/tahu, ikan asin, pindang dan lain-lain.
Dengan tetap menahan geli dan prihatin, aku mencoba menghiburnya. Aku juga mencoba meyakinkan bahwa pilihannya tidak salah. Untuk itulah kenapa si ikan dinamakan dengan “ikan cuwek”. Karena seseorang, se-ekor, atau sesuatu yang memilihnya untuk jadi santapan, harusnya “cuwek” saja mendengar komentar yang tidak menyenangkan seperti itu. Ikan itu toh bergizi, dan lezat. Mendengar perkataanku, kesal suamiku berangsur mereda. Bahkan sudah bisa tersenyum. Lama-lama dia bisa menerima “hinaan” itu dan menganggapnya sebagai guyonan.

Dan sejak itu, setiap aku memasak ikan cuwek untuk lauk makan, suamiku selalu berkomentar ”mana nasi kucingku..!”

Nov 4, 2008

Mendadak guru….

Kemarin lusa, saat pagi baru saja menyapa, tetanggaku dengan wajah menahan malu mendatangiku. Dia baru saja mengantar sang putri naik mobil jemputan ke sekolah. Mungkin, itu karena aku yang baru saja hendak menyiram tanaman menatapnya tak berkedip heran. Memang tak biasanya dia menyapaku sedemikian rupa. Dia lebih suka langsung main ke tetanggaku sebelah kiri rumahku lagi untuk ngobrolin entah apa. Yang aku tahu karena memang mereka sudah saling akrab sejak mereka mendadak punya hobi memasak.

Ya udah, itu urusan mereka. Kita lanjut cerita mengapa dia dengan tidak biasa mendatangiku.

Ternyata, dia datang untuk berkeluh kesah tentang materi pelajaran anaknya yang kini menginjak tahun ke-enam di SD. Dia tak sanggup lagi mengajari sendiri sang anak karena menurutnya materi pelajaran SD sekarang sudah sangat beda dengan jamannya dulu. Dia bilang kasihan melihat sang anak selalu gelisah ketika mendapatkan tugas dan si anak tidak bisa mengerjakan, sementara dia tak lagi bisa membantu.

Sampai di sini aku bisa menangkap arah pembicaraannya, dan siap menjawab. Tapi, aku memilih terus menunggu sampai dia bicara sendiri maksudnya mendatangiku. Dan, akhirnya dia bicara juga.

Dia meminta tolong padaku untuk mengajari sang anak, alias dia meminta aku untuk menjadi guru les. Aku sih nggak keberatan, hanya saja aku tidak bisa langsung mengiyakan karena ini bukan tentang aku dan ibunya, tetapi lebih tentang sang anak. Kalau dia tidak keberatan dan mengerti dengan caraku mengajari, oke saja. Semua tergantung pada si anak. Karenanya, aku memintanya lebih dulu bertanya pada sang anak dan melakukan sekali uji coba untuk tahu apakah si anak menyukaiku atau malah pulang dengan kepala makin pusing.

Keesokan sorenya, si anak datang padaku dengan setumpuk PR matematika yang sejujurnya tidak juga mudah buatku. Apalagi, materi matematika itu dulu aku dapatkan di bangku SMP. Di bangku SD aku boleh jago matematika, tapi ketika melewati materi SMP yang lumayan berat bersamaan dengan datangnya masa pancaroba (ABG), semuanya pernah membuat ibuku uring-uringan juga. Meski ibuku berusaha membuatku pintar matematika dengan memintakan les secara khusus pada sang guru, aku lebih suka kabur. “Hangout” ke rumah teman, rujakan atau sekedar bersepeda keliling dari satu rumah ke rumah teman lain.

Hmm, begitulah jadinya. Meski di akhir tahun, ujianku menunjukkan hasil yang lumayan, tetap saja aku tidak bisa berteman dengan matematika. Alias, susyah bangets…!

Tapi, demi membuat otakku yang mulai sering lupa ini tetap terjaga, aku mencoba sekuat tenaga untuk mengerti materi yang ada dan membantu sang anak. Tugas terberat sebenarnya bukan memahami materi, tetapi ada pada mendapatkan cara menjelaskan pada si anaklah hingga membuatnya mengerti.

Matematika katanya tentang logika. Dan, berlogika dengan anak bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi caraku berlogika (menjelaskan rumus), ternyata berbeda dengan sang guru di sekolah. Itupun aku tahu setelah si anak bingung, katanya penjelasanku terlalu panjang. Tapi, waktu aku meminta dia menjelaskan materi yang sudah diberikan oleh sang guru, diapun tidak terlalu paham.

Akhirnya, daripada sama-sama bingung, aku memilih menjelaskan materi dengan caraku. Karena kalau aku saja bingung untuk memahami, bagaimana bisa aku menjelaskan? Untungnya, setelah beberapa kali latihan dengan PR, si anak mengerti juga.

Tugasku, sementara ini berjalan dengan sukses. Aku ikut senang. Setidaknya si anak tidak pulang dengan kepala pusing lagi, bisa tidur dengan tenang untuk mengumpulkan energi. Esok pagi, dia harus berjibaku lagi dengan tugas yang lain.

Melihat si anak pulang dengan semangat baru, si ibu datang kembali dan memintaku untuk terus menjadi guru les. Dia senang karena si anak merasa cocok dengan caraku mengajar sehingga tidak pusing mencari guru les lagi.

Aku sebenarnya melihat ini sebagai peluang fund rising-ku untuk membeli buku-buku baru. Sudah lama aku tidak membeli buku baru, setidaknya satu novel. Apalagi aku juga mendengar kabar, beberapa anak di kompleks ini juga mengalami hal yang sama. Pusing mencari guru les.

Tapi, demi kebaikan semuanya, aku memilih tidak menerima upah dari usahaku membantu sang anak. Bagaimanapun, aku tidak bisa menjanjikan waktuku akan selalu ada. Komitmen membantu aku punya, tapi untuk terikat dengan waktu seperti yang mereka inginkan aku belum bisa. Dan, alasan lain yang amat penting: menghindari konflik horizontal yang sangat mungkin terjadi. Seorang tetangga akan dengan senang hati “menghujat” usaha cari uang yang aku lakukan jika aku menerima upah. Ya, meski upah itu hakku, dan walaupun kedengkian itu bukanlah tanggungjawabku, tetap saja akan sangat menggangguku. Aku tidak punya mental selebritis yang harus menerima kenyataan bahwa hidupnya adalah konsumsi publik. Aku yakin, rejeki datang dalam bentuk lain dan lebih “soft” tanpa menimbulkan “kehebohan”.

Adalah sebuah kenyataan bahwa niat baik seseorang tidak selalu diterima dengan baik pula. Lagipula, aku sedang melakukan apa yang aku suka dan aku mau. Bukan yang mereka suka dan mau. Aku ingin melakukan ini tanpa beban, ataupun takut protes dari sang ibu. Dan, adalah niatku untuk menjadikan ini sebagai ladang kebaikan yang mudah-mudahan menular kepada yang lain. Amin!

Jadi, mendadak guru…tak ada salahnya…!