Jan 7, 2009

Tha D-day (puisi)

Tiga murid lamaku (Syfa, Icha dan Sherly) dengan bangga menunjukkan hasil karyanya. Masing-masing telah siap dengan tiga puisi. Yang paling antusias membacakan puisi karyanya tentu Syfa. Selain bermodal puisi yang bagus (menurutnya), dia memang sering terlihat ingin menjadi contoh bagi yang lain. Meskipun, itu selalu dibarengi dengan ledekan pada sang adik. Untungnya, Sherly tak pernah sakit hati. Malah dengan tangkas membalas ledekan sang kakak. Dua kakak beradik ini, selalu berebut siapa yang maju lebih dulu. Sementara Icha, masih membutuhkan dorongan. Tapi, lama-lama dia terprovokasi juga.

Sementara tiga murid lamaku bersaingan menulis puisi, dua murid baruku lebih banyak diam. Mungkin mereka berpikir keras untuk membuat puisi, atau malah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sesekali mereka bertanya padaku apa tema yang boleh di tulis? Atau, beradu mulut karena merasa ide atau tema pusinya di curi. Saat Icha menulis puisi tentang boneka, tiba-tiba Sherly ”membacakan” puisi dikepalanya yang muncul tiba-tiba setelah membaca judul puisi Icha. Tentu tingkahnya mengundang protes, karena menurut Icha sangat mengganggu.

Sherly memang spontaitasnya tinggi. Apa yang dia pikirkan, itulah yag dia katakan.

Lucunya, mereka menuliskan puisi yang kata-katanya menurut mereka ”logis/nyata”. Misalnya kalimat yang di tulis Sherly ”kupu-kupu berterbangan di malam hari”, kakaknya langsung membantahnya dengan mengatakan ”mana ada kupu-kupu terbang malam?”.

Demi menengahi perdebatan itu, aku terpaksa ”melogiskan” kalimat itu dengan memberitahukan tentang kupu-kupu yang terbang malam yaitu ngengat. Yang membuat jantungku sedikit berdebar adalah aku ”takut” bahwa ternyata mereka telah mengetahui makna simbolis dari kupu-kupu malam. Ah, bisa panjang nanti urusan. Maksudku, apa yang harus aku katakan jika sebuah pertanyaan muncul tentang kupu-kupu malam ala anak-anak (polos dan sulit menjawabnya)?

Tapi, yang paling membuat takjub, tak terasa mereka telah dengan senang hati mencoba menuangkan semua ide-ide tentang banyak hal di sekeliling mereka sepanjang dua jam.

Karena begitu banyak puisi yang mereka tulis, aku menyalin beberapa saja yang sore itu aku puji sebagai yang terbaik, dan terfavorit.

Ini dia puisi-puisi itu...

1. Karya Sherly
(Sebelum membaca puisi, Sherly meminta audience/teman-temannya menjawab pertanyaan yang terlontar- di baris ke-3)

Jangan Takut Gelap

Kau tak boleh takut gelap,
Di dunia tidak ada yang namanya setan.
Memang kalau ada setan di dunia, kalian takut?
Kalau kalian takut, berarti kalian tak takut Allah.

Cerita di balik puisi:
Sebelum mereka menuliskan puisi, mereka punya ritual buang air kecil di toilet bebarengan (sekali masuk 2-3 anak). Karena toilet rumahku kecil, mereka menggunakannya dengan dua kloter. Kebetulan Icha tak bersama Sherly. Ketika Sherly dengan iseng mematikan lampu toilet, Icha menjerit ketakutan. Jerit Icha ternyata menjadi inspirasi buat Sherly.


Jangan menyerah Tata!

Tata...
Kau jangan menyerah!
Aku tidak suka kau menyerah.
Apalagi merasa malas untuk hal yang berguna.
Janganlah kau menyerah Tata.
Maju terus Tata.
Hiduplah Tata!

Cerita di balik puisi:
Puisi ini muncul ketika Sherly telah membacakan puisinya beberapa kali, sementara Tata belum sekalipun. Sherly terlihat kesal, meskipun dia juga tetap memberi semangat dengan ”omelan” dan komentar nakalnya. Tiba-tiba, omelan-omelannya pada Tata menjadi inspirasi untuknya, apalagi setelah beberapa puisinya (dengan tema bunga, sepeda, dan hujan) gagal tersusun. Dengan semangat dia menuliskan puisinya. Dan jadilah...puisi favoritku!


2. Karya Syfa

Ayah

Ayah...
Ku tahu kau lelah
Bekerja untuk keluarga
Bagimu, tiada yang berarti selain keluarga

Tanganmu,
Kakimu,
Matamu,
Bekerja untuk kami.

Terima kasih ayah....


Secangkir kopi untukmu Ayah

Ku tahu kau lelah,
Dari caramu menghela napas

Namun, harus kuhargai jasamu

Secangkir kopi untukmu
Itulah tanda baktiku untukmu

Terimakasih atas usahamu
Aku berjanji
Aku akan menggapai cita-cita setinggi langit
Demi mu, Ayah....


3. Karya Icha

Rumah

Dindingnya berwarna biru
Terbuat dari bambu
Rumah....kau adalah istanaku

Tempat aku berteduh,
Tempat aku berbagi cerita
Dan, tempat aku tinggal

Rumah, oh...rumahku

4. Karya Prita

Boneka

Aku senang bermain boneka dengan temanku
Bonekaku cantik, dan aku dandani

Tapi sayang, bonekaku rusak
Di rusak oleh temanku
Dan aku menangis,
Aku marah padanya....

5. Karya Tata

Ayam

Ayam yang berkokok di pagi hari,
Suara itu nyaring da kencang sekali,
Pasti itu tanda kalau sudah pagi.

hari ini, aku telah menepati janjiku pada murid-muirdku bahwa aku akan menyimpan karya mereka dan memberi tahu semua orang bahwa mereka telah berkarya.

Mendadak Guru 3

Entah memang si anak butuh, atau sekedar pengen karena teman-teman sebayanya les privat di rumahku, dia sampai menangis mengiba pada ibunya minta turut serta.

Aku ingin tersanjung, tapi tak jadi. Aku yang selalu terlihat menganggur di mata tetanggaku, dan karenanya aku di kecam (karena tidak pernah main ke tetangga), pasti akan makin kehilangan waktu untuk menyalurkan hobi menonton TV. Sepertinya memang ini resiko yang harus aku ambil. Tapi, sepadan nggak ya? He he he maklum, penganggur memang sering berteman TV.

Dan benar saja, sore itu muncul empat anak yang datang bersamaan. Mereka Syifa (kelas 6), Icha (kelas 5), Sherly adik Syfa (kelas 3) dan, Prita (kelas 4). Prita ini yang menangis minta les. Lima belas menit ”kelas” dimulai, ada seorang anak yang mengintip dibalik pagar. Dia Tata teman sekelas Prita. Karena mendengar semua temannya pergi untuk les, dia mendatangi rumahku. Ketika aku panggil, dia terlihat gembira. Apalagi teman-temannya meneriakinya agar masuk..
”Les apa, sih?” tanya Tata.
”Apa aja...!” teman-temannya serentak menjawab.

Tak bertanya lebih banyak, Tata berlari pulang ke rumahnya dan mengambil buku. Tak sampai lima menit dia sudah sampai kembali. Napasnya memburu. Dia terlihat kehausan. Ah iya, Aku harus menambah dua gelas lagi untuk Prita dan Tata. Seperti yang biasa aku sediakan untuk murid les-ku yang sebelumnya.

Rumahku jadi penuh, dan berisik. Mereka membicarakan ujian yang baru lewat, dan soal-soal yang keluar dalam ujian. Apalagi mereka berbeda sekolah.

Untuk sedikit menenangkan suasana, aku bertanya:”sekarang mau les apa?”
Ah, sebuah pertanyaan yang kemudian aku sesali.
Mengapa?

Karena:
Syfa dan Sherly, menjawab Bahasa Indonesia. Icha menjawab IPA, dan Prita serta Tata menjawab matematika.

Astaga....! Otakku bisa pecah nanti.... Tidak mungkin aku bisa mengatasi serbuan pertanyaan mereka. Aku bukan gurunya Toto-chan (meskipun aku sedang berusaha menirunya), dan terlebih karena semua anak punya tugas dan keinginan berbeda.

Tugas? Ya, tugas. Tidak perlu heran, meskipun telah memasuki masa jeda (menjelang penerimaan raport dan libur), sang guru belum lelah memberikan tugas. Misalnya berupa PR matimatika, merangkum materi IPS, dll. Terutama untuk kelas 6. Katanya itu sekaligus untuk remedial (ujian ulangan), plus persiapan menjelang ujian nasional.

Setengah menghiba aku menatap wajah mereka satu persatu. Mereka terlihat bersemangat. Sementara aku kewalahan menampung seluruh energi itu.
Aku ternyata tidak siap....!

Untung Syfa mengingatkan aku semalam mereka punya ”pe-er” dariku yaitu membuat puisi. Sebenarnya sih itu bukan pe-er, sebenar-benarnya pe-er. Awalnya, karena telah jenuh dengan tugas IPA dan matematika, mereka minta kesempatan untuk refreshing.

Tentu aku dengan senang hati memberikannya, karena aku juga membutuhkannya.

Aku menawarkan buku-buku cerita untuk di baca, untuk kemudian mereka menceritakan kembali isi buku itu. Tapi mereka malah menginginkan sesuatu yang belum terpikir olehku, yaitu membuat puisi. Ya sudah, aku sepakat saja. Tapi, karena waktu sudah menunjukkan pukul 17.30 dan mereka harus mengaji, aku meminta mereka membuat puisinya di rumah saja. Besok (hari ini), puisi mereka akan dibacakan.

Mendadak Guru 2

Assalaamualaikum….!

Suara melengking dari seorang bocah sudah amat aku kenal. Sudah hampir tiga bulan ini dia jadi muridku. Aku yang hampir tertidur di depan televisi sedikit kaget. O iya, aku hampir lupa! Sekarang kan hari rabu, jadwalku memberikan les. Mata pelajaran yang akan di bahas bisa apa saja, jadi aku tak mempersiapkan diri secara khusus. Kalau selasa kemarin sang murid minta les IPS dan Bahasa Inggris, hari ini pun mungkin tak beda. Sudah beberapa kali dia mengeluhkan IPS dan Bahasa Inggris yang selalu banyak tugas. Saking banyaknya, dia selalu datang dengan wajah panic. Sampai-sampai kamus yang seharusnya selalu dibawa untuk belajar selalu tertinggal di rumah. Begitu juga dengan peta dunia yang harus sering dia pelototi untuk menemukan sebuah selat atau pulau yang aku sendiri jarang atau tak pernah mendengarnya.

Syifa, muridku, sudah berdiri di depan pagar, menunggu aku persilakan masuk. Dia anak yang sopan, tidak pernah mau masuk sebelum aku membukakan pintu. Tapi itu juga karena dia tidak mau kucing peliharaannya ikutan masuk.

Pernah suatu ketika dia belajar dan si kucing ikutan masuk ke ruang tengah tempat belajar. Mungkin si kucing mengira diajak bermain ke tempat baru sehingga terus-terusan keluar masuk kamarku yang kebetulan terbuka...Aku jadi tak bisa konsentrasi karena khawatir barang-barangku berjatuhan. Sebentar-sebentar harus memburu si kucing untuk ditangkap dan di keluarkan. Aku tidak mungkin menutup pintu karena ruangan akan jadi pengap. Maklum, rumahku kecil.

Hari ini dia membawa tugas (PR) yang lagi-lagi teramat banyak. IPS dan bahasa Inggris lagi! Yang mengejutkanku, mata pelajaran IPS ini membahas peta dunia berserta Negara-negara yang ada di lima benua, pembagian wilayah Negara menjadi beberapa propinsi, batas territorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan banyak lagi seperti tentang pemilu dengan tahap-tahapnya, fungsi tahapan dan lain-lain. Dan, sedikit sisipan tentang pelestarian kekayaan hayati (yang lagi-lagi tidak dimengerti artinya). Aku jadi tidak mengerti, untuk apa anak sekolah dasar harus mempelajari ini semua? Sementara pulau-pulau di Indonesia sudah teramat banyak untuk dipelajari. Belum lagi istilah-istilah yang terlalu banyak untuk dihafalkan. Dihafalkan? Ya, karena hal ini muridku jadi sering stress, dan uring-uringan. Rupanya sang guru tidak memberitahukan makna dari istilah-istilah itu, atau tidak sempat karena begitu banyaknya materi yang harus diberikan sebelum mereka menghadapi ujian nasional yang bersistem multiple choice.

Contohnya: pemilu terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemilu legislatif. Apa itu legislative? Syifa hanya menggeleng. Katanya itu tidak pernah di bahas sama bu guru! Kenapa? Kata bu guru itu untuk dihafalkan saja.

Selesai? Mungkin selesai untuk tugas bu guru (di sekolah), tetapi sebuah perjuangan panjang untuk sang murid untuk mengerti tentang hal-hal yang diajarkan. Dengan dorongan semangat yang tak boleh berhenti, akhirnya tugas Syifa selesai. Untuk hari ini…besok? Tak tahu lagi…

Beralih ke bahasa Inggris. Entah aku yang terlalu bodoh, atau pembuat soalnya (soal latihan) yang terlalu canggih, beberapa kali aku sempat kesulitan menemukan jawaban dari soal multiple choice. Jika dalam bab-bab sebelumnya telah diajarkan grammar tentang present tense, past tense, dan banyak lagi, dalam soal latihan hal tersebut tidak bisa sepenuhnya di terapkan. Menurutku, soal-soal latihan itu terlalu disederhanakan sehingga menjadi ambigu.

Apalagi ketika minggu berikutnya Syifa datang dengan PR baru, tetapi PR yang sebelumnya belum di bahas. Aku jadi sering kesal sendiri.

Tapi, sebagai guru (les) yang bijak, maklum harus membesarkan harapanku sendiri, aku tidak mau menunjukkan kekesalanku. Aku berusaha mengeluarkan kata-kata yang positif yang bisa memompa semangatnya belajar. Bagaimanapun, tugasnya di masa kini adalah belajar. Tetapi, dengan beban yang teramat banyak, lingkungan yang dia miliki harus pula memberi dukungan yang maksimal.

Padahal, sesekali aku ingin memberikan materi lain seperti perilaku yang positif terhadap lingkungan tanpa harus membuatnya terbebani. Tapi, niatku sering aku urungkan. Setelah seharian dia belajar (catatan: dia juga mendapatkan pelajaran tambahan sepulang sekolah selain hari selasa dan rabu), tentu membutuhkan istirahat atau sekedar refreshing dengan bermain bersama kucing kesayangannya.

Untung, kemarin ketika pelajaran IPS ada sedikit bahasan tentang manfaat hutan mangrove bagi kelestarian laut, aku bisa sedikit menyisipkan “pesan”. Awalnya dia tidak mengerti dengan penjelasan yang ada di buku, tapi dengan sedikit bantuan permainan dan “logika” , dia mengerti dengan baik.

Mungkin, aku memang harus bersabar. Termasuk dengan respon orangtuanya yang justru lebih banyak membunuh semangat si anak. Karya tulis mereka, tidak membuat sang ibu terkesan. Sekalinya berkunjung, dia minta padaku untuk menambah jam untuk matematika karena hasil ujian semester yang lalu tidak menggembirakan.

Mereka menginginkan aku setelah diujung waktu. Dan, aku harus mencari sedikit saja celah di otak sang anak dari pengaruh total (doktrin) Sang guru sekolah. Sungguh pekerjaan tak mudah. Setiap saat sang anak berpikir untuk menyelesaikan satu soal dalam waktu satu menit hingga tak menyadari bahwa gaya mengajarnya berbuah ”petaka”:

1.Gayaku yang menuliskan proses menjawab dengan detail sering menuai protes dari muridku, katanya terlalu lama. Karena dia bisa menjawab dengan lebih singkat.

2. Syifa langsung ”defend” dengan mengatakan ”bingung” ketika aku memberikan cara yang berbeda dengan sang guru, meskipun kali ini caraku lebih sederhana,

3. Ketika aku mencoba menerapkan cara sang guru ( 1 menit per 1 soal), banyak jawaban yang salah. Karena mencoba berpikir cepat, proses logisnya tidak terpikirkan dengan baik. Bahkan menghitung penambahan atau perkalian yang sederhana pun jadi salah.

Apa boleh buat, lagi-lagi aku harus bersabar. Setelah aku bandingkan dengan caraku yang lebih detail, tetapi hasilnya justeru benar, Syifa sedikit mengerti maksudku.

Ah, stressnya aku! Kalau begini terus, rasa-rasanya aku jadi lebih panik ketimbang si anak. Dengan sedikit bercanda aku bilang kepada suamiku ”kredibilitasku sedang di pertaruhkan”. Bagaimanapun, orang senang mencari kambing hitam. Mungkin saja, kambingnya kali ini adalah aku.

Ujian kelulusan sang anak sudah makin dekat. Dia harus bekerja keras, aku juga.