Feb 10, 2009

Dibalik Keindahan Cidahu


Selamat pagi dunia…! Pagi ini cukup cerah. Setelah malam cukup beku dan kelam karena kehadiran sang penguasa malam…
Meski matahari tak bisa menembus kabut tebal yang melingkupi, kami harus tetap bersemangat. Hari ini kami kembali pulang ke rumah masing-masing. Besok, para mahasiswa juga harus kembali belajar.

Tenda-tenda kami lipat. Berbagai perlengkapan kami bongkar kembali. Setelah alam memberi kami begitu banyak kebaikan, kami harus membiarkan alam kembali menemukan hidupnya sendiri tanpa gangguan kami.

Kami akan membawa sampah-sampah ini pulang. Tak mau lagi menambah beban alam.

Nasi yang semalam kami masak belum habis. Untuk sarapanpun masih sisa banyak. Kami harus mencari cara untuk menghabiskannya tanpa membuangnya sia-sia. Tak mungkin sisa nasi ini kami bawa pulang.

Tanpa kami sadari, dari arah belakang tenda muncul beberapa orang anak yang beragam usiannya. Laki-laki dan perempuan. Mereka datang mendekat dan meminta sedikit uang pada kami.

Serentak kami menoleh ke arah mereka. Mata kami menelusuri satu persatu anak-anak itu. Darimana mereka datang? Mengapa mereka mendatangi kami? Meminta uang pula. Apakah di mata mereka kami lebih makmur? Apakah mereka selalu begini, meminta uang kepada setiap pendatang? Aku melayangkan pandangan ke sekeliling, berharap menemukan jawaban.

Kami menggeleng. Tak ada uang untuk kami berikan. Semua yang kami miliki hanya cukup untuk perjalanan pulang.

Wajah-wajah yang terlihat tak terurus itu seketika layu. Tapi rupanya mereka tak kenal menyerah. Mereka datang kembali dan meminta sampah plastik kami untuk dikumpulkan.
Kami jadi terdiam.Apakah sampah plastik pun tidak akan kami berikan? Tentu boleh. Tapi tidak, masalahnya bukan itu. Sampah plastik itu mungkin cukup bernilai bagi mereka untuk menjadikan uang yang berarti jumlahnya. Kami harusnya bisa memberi lebih.

Mata kami beralih kepada makanan yang masih tersisa. Ya, mungkin sedikit makanan itu bisa menghibur mereka. Nasi, mie goreng, sambal, dan ikan asin kami taruh dalam satu wadah lebar. Tangan kami yang terulur segera mereka sambut dengan gembira.

Menakjubkan! Makanan itu habis dalam hitungan detik. Tidak percaya? Kami pun begitu.
Aku jadi berpikir, apakah mereka sedemikian laparnya? Hingga makanan yang berlauk apa adanya itu tandas tak tersisa sebutir nasi pun. Seperti hendak membalas budi, mereka tak mau berpangku tangan dengan menyerahkan wadah makanan tadi dalam keadaan kotor. Anak-anak itu berebut mencucikan wadahnya.

Perilaku mereka mengetuk welas asih kami. Suamiku bergegas ke dapur umum mencari ”sisa” makanan yang ternyata tidak bisa dikatakan sebagai sisa karena masih banyak menumpuk. Tanpa banyak pikir lagi, kami memberi mereka makan sampai mereka sendiri bilang kenyang!

Sekarang, kesejukan alam Cidahu tidak hanya menyentuh kulit kami, tapi juga hati kami. Sedikit kebaikan yang bisa kami bagi mampu menyejukkan hati yang sempat terbakar kesal karena beberapa mahasiswa kehilangan tas yang mereka simpan dalam tenda.
Meski kehadiran anak-anak yang berkeliaran di sekitar tenda itu memang mengundang kecurigaan, apalagi ketika pertama bersentuhan mereka tak segan meminta uang. Tapi tanpa bukti apapun, kami tak bisa menuduh mereka.

Ada apa dengan Cidahu? Mengapa mereka sampai mengemis?

Dalam perjalanan pulang menuju Bogor, dan menyusuri jalanan kampung segalanya menjadi jelas. Banyak gubuk reot terselip di antara villa yang berdiri megah. Jalanan rusak penuh kubangan tergerus truk pengangkut air minum kemasan galon. Truk itu keluar dari mulut raksasa yang berdiri kukuh dan rakus menghisap isi perut bumi Cidahu.

Apakah raksasa itu tak punya mata dan hati? Lihatlah, kemiskinan terserak di sana-sini.
Jika tidak punya mata dan hati, mungkin mereka tidak punya program tanggung jawab sosial yang berada nun jauh di sebuah tempat di Indonesia Timur. Tapi jika punya, mengapa sang raksasa tak peduli dengan kemiskinan di sekelilingnya?
Ataukah ada raksasa lain yang lebih berkuasa tengah menjadi pelindung raksasa itu? Yang korup, yang hidupnya hanya untuk memperkaya diri....?

Feb 3, 2009

Menjelang sore di Sungai Musi








Siang masih menyengat ketika kami tiba di tepian Sungai Musi. Hembusan angin sedikit menyusutkan keringat yang mulai menetes. Jembatan Ampera masih menyilaukan mata dengan merahnya. Memang terlihat megah.

Seorang teman mengatakan akan lebih indah di malam hari. Aku cuma mengangguk tak menyangkal. Aku juga sering melihatnya di televisi ataupun majalah. Tapi aku hanya bilang padanya,”mudah-mudahan nanti malam ada waktu!”. Ya, aku hanya bisa berharap karena tidak yakin akan ada waktu lagi. Malam nanti, pasti aku dan beberapa kawan akan disibukkan dengan persiapan untuk event besok pagi.

Untuk menikmati sore ini saja, harus berbatas waktu hingga pukul 18.00, dan harus mengorbankan waktu istirahat. Sebenarnya mataku sudah tak tahan ingin terpejam. Sebelum subuh tadi sudah harus menyusuri tol Bogor menuju bandara Soekarno Hatta, karena harus mengejar pesawat yang paling pagi. Tapi, demi memenuhi “undangan” Visit Musi 2008- yang sempat aku baca di salah satu board di Bandara Soekarno Hatta, aku harus bisa menahannya.

Tiba-tiba pikiranku menggugat,”ini sudah di tepi Sungai Musi, Jembatan Ampera telah di depan mata. Terus mau apa?”

Jawabku,” berfoto-foto tentu!”


Setelah setengah jam berlalu, puluhan pun foto telah tersimpan dalam memori. Lalu?

Tak tahu apa lagi yang harus dilakukan, kami memilih berjalan menyusuri tepi sungai yang telah rapi berpagar tembok. Mengamati perahu-perahu kecil berlalu lalang memecah riak gelombang yang tercipta saat perahu besar melaju melewatinya.

Beberapa penjaja minuman menawarkan kesegaran air bersoda. Aku terpaksa menggeleng. Perutku tak lagi boleh bersentuhan dengan air itu sejak sakit maag mencengkeram lambungku.
Sore makin temaram. Tepian sungai Musi semakin semarak. Mereka yang berpasangan semakin tenggelam dalam kesyahduan. Rombongan keluargapun tak kalah seru, mereka asyik bermain dan bercengkrama.




Aku mengalihkan perhatian pada kapal yang cukup besar yang tengah bersandar. Jadi terbayang indahnya menyusuri sungai ini. Sayang, perahu besar itu hanya melayani pelayaran jarak jauh. Tentu tak mungkin kami tumpangi karena hanya memiliki waktu beberapa jam saja.
Tak boleh kekurangan cara, kami akhirnya menerima tawaran untuk menyewa perahu kecil yang sedang banting harga karena sepi penumpang. Hanya berdiri di tepian sungai tentu tak asyik. Merasakan sedikit goncangan perahu mungkin bisa sedikit menghilangkan kantuk dan jenuh.

Sedikit tawar menawar, dan jadilah. Walaupun harga tak bergeser sedikitpun, karena hati sudah kepincut, tiba-tiba saja kami melompat ke atas perahu. Si bapak hanya tersenyum lebar menyadari bahwa sore ini dia bisa memberi nafkah pada keluarga.


Perahu dijalankan pelan-pelan. Suara mesinnya bersaingan dengan teriakan-teriakan kami yang berebut angle foto. Kami harus cepat, tak mungkin meminta perahunya mundur untuk mengulangi momen yang terlewatkan karena perahu yang terus berjalan.
Setelah beberapa menit, ledakan kegembiraan sedikit berkurang. Jembatan Ampera sudah terlewati, kini ada di belakang kami. Sambil berbincang dengan si bapak, kami asyik mengabadikan setiap momen yang cukup menarik. Perahu memang selalu bergoncang ketika kami berpapasan dengan kapal yang lebih besar, tapi ternyata itu tak mengganggu. Kami malah asyik berlomba mengabadikan keindahan di kamera yang kami bawa. Bak fotografer, kami tak ragu memotret setiap sudut tepian sungai.

Rumah-rumah berdinding papan bercat warna-warni berjajar di tepian. Perahu-perahu bersandar di depannya menjadi penghias utama. Atap bebentuk limas masih menampakkan cirri khas Melayu. Cahaya keemasan sore turut memberi warna, menyuguhkan pemandangan menakjubkan. Batang bamboo dan kayu yang menyangga rumah dengan kokoh, seperti tak lelah menyangga kehidupan.

Tapi, batang-batang bamboo itu juga mengingatkan aku pada rumah-rumah yang berdiri di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung. Lengkap dengan bocah yang berenang-renang di bawahnya. Tapi, tentu ada satu yang membedakannya. Meski kecoklatan dan keruh, Sungai Musi tanpa sampah berserakan, yang menjadikannya lebih nyaman. Mudah-mudahan saja, Sungai Musi takkan seperti sungai-sungai yang ada di Jakarta. Menjadi tempat pembuangan segala macam sampah, tetapi masih juga dipergunakan untuk memenuhi hajat sehari-hari.
Beberapa rumah makan juga telah bersolek, siap menerima kunjungan tamu. Masih terlihat sepi. Kata si bapak rumah makan itu akan ramai di malam hari, ketika lampu-lampu telah dinyalakan dan kerlipnya melukisi malam.

Ya, malam masih beberapa jam lagi. Tapi kami cukup beruntung, sore ini adalah waktu yang tepat mengabadikan Jembatan Ampera dalam siraman cahaya keemasan. Panasnya tak lagi menyengat. Malah, kilau mentari yang memantul di permukaan sungai seperti menggugah perasaan romantis. Hmm…mungkin ini yang menjadikan pasangan-pasangan itu tak lagi risih bermesraan, meski di bawah tatapan banyak pasang mata.

Tak terasa perahu telah kembali menepi. Sudah hampir satu jam kami menyusuri Sungai Musi. Untuk meredakan pusing (mungkin karena jet lag dan di tambah goncangan perahu), kami memutuskan beristirahat sejenak sebelum kembali ke hotel dan mempersiapkan diri untuk event besok. Ketika padangan mata kami tertumbuk pada sebuah warung terapung, serempak kami bergegas menghampiri. Menikmati waktu yang tersisa.


Sajian khas Kota Palembang segera menyambut. Mpek-mpek berbagai jenis dalam wadah plastic siap di santap. Bau cuka menyeruak diantara harum bumbu yang berwarna kehitaman itu. Kami sempat kebingungan memilih karena ingin mencicipi semua tapi tak mau kekenyangan. Satu keluarga kecil yang berada di hadapan kami dengan senang hati menjadi guide dadakan. Dengan telaten mereka menjelaskan satu persatu jenis makanan yang ada dan cara memakannya. Tapi, ada satu jenis makanan yang tidak di letakkan di meja karena dia harus tetap panas. Makanan itu adalah tekwan. Akhirnya pilihanku jatuh pada makanan yang mirip bakso itu. Kuah yang hangat dan harum udang menjadi alasan utamaku. Pilihan yang tepat. Kelezatannya tidak mengenyangkan, tetapi dapat mengusir kantuk dan sedikit pusing di kepalaku.

Sore yang sempurna di tepian sungai Musi. Kami kembali ke hotel dengan perut kenyang dan hati dipenuhi keindahan. Kami bahkan tak sempat mengunjungi Benteng Kuto Besak yang hanya berjarak puluhan meter dari Jembatan Ampera. Mudah-mudahan suatu saat nanti akan ada kesempatan untuk kembali ke Bumi Sriwijaya ini.

Benteng Kuto Besak