Mar 28, 2009

Hari yang aneh...

Hari yang aneh…

Mata berkantung seperti tak tidur seminggu, kepala terasa berat, badan lemas dan cuaca teramat panas sanggup membuat kelabakan seperti cacing kepanasan...
Aku jadi tak sempat berpikir, apalagi yang bisa menambahi factor nelangsaku ini? Biar sekalian hidupku semakin terasa runyam. Kalimat bijak sih bilang “ingat mudamu sebelum tuamu”, tapi itu bukan menghibur, malah makin menyesaki dada. Ya..ya..ya! siapa yang akan mengatakan usia 34 itu tua? Mungkin untuk para atlet atau dunia modeling. Tapi, dengan kombinasi rasa tubuh yang seperti itu, rasanya tak percaya masih bisa mengaku muda. Loyo, tak bergairah, tak bertenaga…idih, seperti tukang jamu yang baru memulai promo khasiat jamu racikannya aja….

Eh, sepertinya ide minum jamu boleh juga. Sudah lama tidak mengkonsumsi macam-macam tanaman dengan bau menyengat itu. Siapa tahu gejala low bat-ku ini berkurang. Tapi jamu apa ya? Pegel linu, aku gak merasa pegel2 kok...apalagi encok. Penambah gairah...wih, enggak deh. Takut.efek yang enggak-enggak eh, yang iya-iya! Hi..hi hi..!

Atau, aku ini lagi kena sawan? Itu tuh, gejala sakit (seperti demam) yang tidak bisa di definisikan secara medis. Dan, hanya ”orang-orang pintar” yang bisa menyembuhkan! Seperti jaman kecilku dulu yang harus di “suwuk” supaya sakit “sawan”nya hilang.

Ya...maksudku bukan yang semacam profesor atau doktor itu, tapi orang pintar dengan definisi ”tidak semua orang bisa melakukannya”. (Dan, karena kita sebagai pem-butuh orang pintar tidak tahu apa yang harus dilakukan. He.he..)

Seperti apa orang pintar itu?

Di jaman kecilku dulu, ciri-ciri orang pintar ini biasanya bergelar ”mbah”, tak peduli umurnya masih muda atau benar-benar tua, laki-laki atau perempuan.
Si Embah datang dengan penampilan sangat ”manusiawi”. Tak membawa peralatan khusus macam stetoskop untuk menguping detak jantung, atau jarum berisi cairan pengusir kuman yang sering membuat anak kecil takut – termasuk aku. Embah perempuan, - sering bergelar tambahan ”nyai”- biasanya datang ke rumah pasien dengan kebaya kusam dan kain yang dililit sekenanya (atau karena bergelar embah tak menjamin kesejahteraan?). Di kepalanya terikat selendang yang berlepotan bercak merah bekas ludah sirih-pinang (nginang) yang dikunyah. Di sudut mulutnya terjejal segumpal tembakau yang berfungsi untuk menggosok gigi dan mengusap mulut bekas meng-inang. Sedikit aroma tengik segera mengganggu hidung ketika si embah mendekat. Tapi anehnya, aroma itu jauh lebih menenangkan ketimbang bau obat yang di bawa oleh dokter berbaju rapi.
Mungkin itu karena aku tahu, Si Embah tidak akan memberiku obat yang pahit. Kecuali aku nakal, pasti akan di cekoki ramuan temulawak dan kunyit. Biar doyan makan katanya. Lah, nyambung nggak?

Seingatku, begini cara kerja Embah. 1. Membuat ramuan pijat/urut: dua sendok makan minyak goreng buatan sendiri dari kelapa, dicampur irisan bawang merah. 2. membalur tubuhku dengan ramuan. 3. mulai mengurut badan sambil mulut komat-kamit (mengucap mantra/doa). 4. di goreng....eh, dikasih air yang telah di bei mantra (doa). 5. Embah meminum sisa air doa, lalu di sembur ke seluruh tubuhku. Burr....!

Sembuh? Alhamdulillah begitu. Langsung? Tentu tidak. Setelah serangkaian ritual itu, aku biasanya bisa tidur nyenyak bin tenang. Nanti sore atau keesokan harinya aku bangun dengan badan lebih segar.

Hebatkan, cara penyembuhan Si Embah? Jaman dulu semuanya terasa serba ajaib dan mistis. Si Embah benar-benar menjelma menjadi orang pintar dambaan para pesakitan. Tanpa usaha neko-neko, si sakit jadi sembuh.

Tapi, ketika jaman berganti, kepintaran Si Embah ternyata semua serba masuk akal. Sawan si kecil datang karena terlalu capek bermain, ingin di manja, dan di support oleh orang terdekatnya. Ketika sentuhan (pijat) itu datang, dan disertai doa (mantra/doa), secara berangsur tubuh menjadi lebih nyaman dan relax. Apalagi disertai aroma alami dari bawang, bahkan ”tengik” sekalipun. Bukankah seperti melakukan terapi pijat dan aroma di spa?

Bagaimana dengan air bermantra? Ilmuwan Jepang telah membuktikan. Air yang telah disertai doa atau kata-kata yang indah berubah wujud menjadi kristal yang indah, lalu menjadi obat yang mujarab bagi setiap penyakit.

Lalu, semburan itu?
Katanya untuk mengusir roh jahat yang hendak mengganggu kita. Tapi ah, percayalah....semburan itu tanda sayang dari orang-orang tua yang mengasihani kita..... Bukankah di sayangi itu menenangkan jiwa yang gersang (ciee...)?
Beres kan?

Lalu apa hubungan judul dan tulisan itu? Sepertinya nggak nyambung?

Memang! Tapi, Aku sendiri tidak memikirkan aneh tidaknya hari ini.... Jadi, apanya yang aneh?

Mar 23, 2009

Rush Hour (2)

Terlalu Serius….!

Semakin sore, mendung semakin gelap. Angin juga semakin kencang menerpa. Untung masih ada jaket yang sedikit menghalau dingin yang mulai menusuk kulit.
Sudah setengah jam menunggu kereta yang akan membawaku kembali ke Bogor. Tapi, nampaknya aku masih harus menunggu lebih lama. Belum ada kereta yang lewat ke arah Jakarta, berarti belum boleh berharap akan ada kereta yang kembali ke Bogor.
Well, ini lagu lama…!

Pengen ngomel, rasanya percuma. Sudah jadi rahasia umum, bahwa negeri ini adalah negeri langka. Langka transportasi yang baik. Semua orang harus belomba menyelamatkan diri sendiri tanpa boleh berharap pada pemerintah. Sudah untung jika kali ini aku masih bisa duduk di bangku tunggu yang terbuat dari besi bekas rel. Meski keras dan dingin, lumayan untuk menyangga badan yang mulai kelelahan. Ya, di bilang lumayan karena di stasiun lain belum tentu bisa menemukan tempat duduk. Kalau tidak rusak, ya terpakai oleh pedagang.

Stasiun yang bernuansa pasar ini semakin penuh. Bangku yang tadinya masih lowong kini tak lagi tersisa. Sebagian bahkan harus berdiri. Dari arah Bogor, kereta akan lewat di jalur 5 menuju Jakarta. Penumpang berdiri dan bersiap. Tapi karena yang muncul adalah kereta ekonomi AC, sebagian penumpang urung berdiri. Mereka hanya memiliki tiket ekonomi biasa (banget).

Dengan wajah kecewa, mereka menatap kepergian kereta itu menuju stasiun berikutnya.
Aku menatap jam tangan, dan mulai menghitung. Jika kereta AC ekonomi baru menuju Jakarta Kota, setidaknya akan butuh waktu 45 menit untuk sampai kembali di stasiun ini.
Padahal, jangankan empat puluh lima menit lagi, lima belas menit lagi pun penumpang tak akan tertampung. Entah, apakah kereta yang tiba nanti bisa menyapu semuanya. Seperti yang sudah-sudah, bisa-bisa mendapatkan tempat untuk satu kaki saja sulit. Satu-satunya penghibur adalah harapan. Harapan akan adanya kereta balik – sebutan untuk kereta kosong yang baru keluar dari kandang dan langsung mengangkut penumpang menuju Bogor.

Setelah setengah jam, aku mulai lelah menghitung waktu dan berharap.
Karena jenuh, aku mulai mencari-cari pemandangan atau hal baru. Walaupun aku tahu itu sulit. Hampir setiap sudut stasiun ini sudah aku hafal, bahkan tempat para copet mangkal.
Pusing memperhatikan sekian banyak manusia, perhatianku teralih pada seorang bapak dan dua orang ibu setengah baya yang sudah duduk manis menunggu kereta ke arah Jakarta. Sama sepertiku, mereka mulai hilang kesabaran. Berkali-kali mengangkat lengan kirinya untuk melihat jam tangan.

Tiba-tiba wajah mereka sedikit berbinar. Di jalur 5 kembali masuk kereta menuju Jakarta. Sayang, lagi-lagi kereta ekonomi AC. Sejenak mereka saling bertatapan. Sejurus kemudian, entah siapa yang memulai, tiba-tiba mereka sudah bangun dari duduk dan masuk ke dalam kereta.

Giliranku yang terbengong. Lho, bukannya mereka tadi beli tiket kereta ekonomi biasa? Nekad banget....apa mereka tidak tahu sedang ada penertiban penumpang?
Belum habis aku bergumam, mereka turun dan kembali duduk ke tempat semula. Sambil bersungut-sungut mereka saling melempar komentar pedas.
”Ah, mereka terlalu serius....!”rutuk si Bapak. Sambil mendekap tas di dada, si bapak menatap para petugas dengan mata nanar. Tapi setelah membanting tubuhnya kembali ke bangku yang keras, si bapak diam. Sadar tingkahnya di perhatikan orang, si bapak pura-pura mengelus rambut yang disisir rapi. Mungkin untuk menutupi malu.
”Terlalu dibuat serius...” omel si Bapak lagi mencoba mentralkan situasi.
Sedangkan dua ibu yang turut naik hanya bisa sibuk beralasan (meski tak ada yang bertanya) mengapa mereka nekad melakukan itu.
”Habis, lama banget sih....!” ucap mereka hampir bebarengan.

Suasana semakin ”memanas” ketika yang kembali berhenti di stasiun ini dan akan menuju Jakarta adalah kereta ekonomi AC. Penumpang mulai gerah dengan ”ketidakadilan” ini. Beberapa orang mulai menyoraki petugas yang berada di belakang corong pengumuman.
Apalagi kereta menuju Bogor belum satupun lewat.

Tiba-tiba si Bapak, bangun dari duduknya dan mulai mengawasi pintu kereta yang terbuka. Di terlihat celingukan, seperti ada yang di cari. Sedikit demi sedikit, langkahnya mulai mendekati pintu. Dan, hup! Kakinya melangkah masuk dan langsung duduk manis di satu sudut. Ketika menyadari tidak ada petugas yang memergoki tingkahnya, wajahnya nampak lega. Pelan-pelan pintu tertutup kembali. Kereta berjalan membawa si bapak.
Tinggalah dua ibu tadi ribut sendiri. Iri dengan keberuntungan si bapak, dan menyesali kekurangnekatannya. Meski tak ada yang tahu, apakah si bapak bisa sampai tujuan tanpa ketahuan di stasiun berikutnya.

Kembali ke ceritaku sendiri.
Masih belum beruntung, sampai sepuluh menit kemudian. Kereta yang aku tunggu akhirnya datang juga. Meski telah terisi setengah penuh, aku tak mau menunggu lagi.
Berdiri tak apa, asal tidak mogok.

Kali ini aku bisa dibilang cukup beruntung. Setengah jam berdiri, seorang bapak memberiku duduk. Lumayan, sekedar mengurangi pegal di kaki.

Tiba-tiba aku teringat ucapan si Bapak nekad tadi.
Si bapak jelas tidak suka keinginanya naik kereta ekonomi AC di tolak petugas, walaupun memang jelas petugas yang benar. Tapi mengapa dia mengatakan itu ya?
Di mana letak terlalu seriusnya? Kalau keseriusan petugas “mengusir” penumpang gelap, itu sih sudah sewajarnya.
Atau, hanya karena tadinya boleh (bisa) numpang tanpa tiket yang benar (karena penegakan disiplin yang tak serius), dan sekarang di larang si Bapak jadi marah-marah? Lalu, menyebut petugas terlalu serius?

Menurutku, justeru para petugas belum serius menangani masalah transportasi massa ini.
Lhat saja, penumpang masih saja terbengkalai meski kewajiban membayar tiket sudah di penuhi. Ditambah dengan jadwal tidak pasti, sering mogok, rel rusak, sinyal rusak, bla..bla...
Apanya yang serius?

Aku juga telah lama menunggu hingga kepalaran dan kedinginan. Hak-hak ku sebagai konsumen benar-benar dilecehkan. Apakah perbakan harus selalu menunggu class action?

Lho, kok aku jadi terlalu serius? Ketularan si bapak tadi, nih....!

Mar 3, 2009

Rush Hour (1)


Pagi telah terbangun. Memanggil semua orang untuk meramaikan harinya. Meski setelah hujan semalaman menyisakan dingin, dan menawarkan kenikmatan bergelung di kasur, kewajiban telah memanggil.

Tak mau ketinggalan, kami juga bergegas mempersiapkan diri untuk beraktifitas seharian ini.Mandi, sarapan, dan berangkat. Kereta yang akan membawa kami ke Jakarta sebentar lagi lewat. Kami tak mau tertinggal. Meski kereta sering telat, kami tetap harus khawatir. Karena, jika tertinggal satu jadwal, sangat bisa jadi kereta berikutnya akan lebih telat dan penuh!

Sayang, karena terburu-buru, ponsel ku malah tertinggal. Apa boleh buat, setelah setengah jalan, motor kami putar balik menuju rumah.
Beberapa orang yang mengenal kami, menatap heran. Termasuk penjaga pintu kereta.
Kami cuma menjawab”biasa, ada yang tertinggal!”

Anehnya, meksi kami terburu-buru kami justeru lebih melihat orang lain lebih cemas. Ketika berpapasan, beberapa orang sudah menampakkan wajah bersungut. Berjalan cepat, tapi tak mau melihat ke depan. Mungkin karena jalanan yang becek dan licin, mereka takut terpeleset. Bisa makin telat nanti...

Satu yang menarik perhatianku. Seorang bapak yang berjalan tergesa, nampak sibuk dengan dagunya yang mulai ditumbuhi rambut kasar. Sambil melangkah, matanya awas menatap jalan yang akan dilalui. Tapi, tangannya sibuk menggerakkan alat pencukur rambut. Mulut dan pipinya nampak mencong sana-sini. Tanan kanan menggerakkan pencukur, tangan kiri meraba-raba kulit wajanya mencari bagian yang kasar.

Tadinya suamiku tak memperhatikan, karena cukup sibuk mengerem motor yang gamang menapaki jalanan licin. Tapi setelah aku bergumam”Ya, ampun....! Sampai segitunya....!” Dia jadi bertanya,”ada apa, sih?”
Dengan dagu yang aku gerakkan ke depan, aku menunjuk,”tuh!”
Senyum simpul segera tersembul dari bibir suamiku.
Dia menggeleng-nggelengkan kepala.
“Sesibuk apa sih pagi harinya? Sampai cukur jenggot saja tidak sempat! Kenapa tak menunggu sampai tiba di kantor? Di sana pasti kan ada toilet!”

Aku manggut-manggut saja mendengar komentar suamiku dan berpikir, iya ya....?
Aku memang tidak tahu seperti apa repotnya mencukur rambut di wajah, karena aku lebih sibuk membedakinya. Tapi, apa iya tidak bisa di tunda?

Tapi, mungkin juga mencukur rambut wajah itu jadi kebutuhan utama. Seperti halnya perempuan yang tidak rela pisah dari bedak dan lipstick. Bahkan mungkin rela sedikit terlambat daripada pergi kerja tanpa berdandan dulu.

Begitukah? Yah, namanya saja mengira-ngira....

Eh, tapi apa yang terjadi ya, jika sebelum sibuk berbedak kita harus lebih dulu mencukur rambut-rambut yang tumbuh di wajah?
Pasti akan butuh waktu yang lebih lama.
Bukan begitu, teman?