Mar 30, 2011

Permen Buah Pidada

Bahan:

- Daging buah dari 10 buah pidada
- 1/2 kg gula pasir
- 1 bungkus agar-agar

Cara membuat:
- daging buah pidada, gula, dan agar-agar dicampur dan di masak sambil di aduk-aduk sampai mengental.
- biarkan dingin, dan cetak sesuai selera.
- bungkus dengan kertas minyak

Selamta mencoba!

Tanam bakau, yuk..!


Menyelamatkan hutan bakau (mangrove) akan menjamin masa depan makanan kita terutama dalam hal ketersediaan protein dari ikan dan kawan-kawannya. So, jangan hanya memanfaatkan, yuk kita lestarikan. Yang gundul, kita tanami lagi. Okeh?

Foto ini diambil saat aksi penanaman bakau di Suaka Margasatwa Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, bulan Juni 2010, dalam rangka peringatan Hari Lingkungan Hidup.

Sirup Buah Pidada- Sonneria caseolaris, S. alba (tanaman bakau)



Bahan:
300 g daging buah pidada
500 g gula pasir
garam secukupnya
1 liter air

Cara membuat:
Masak semua bahan sampai warnanya agak kekuningan dan airnya menyusut menjadi 1/2 liter.

Cara menyajikan:
Campur dengan air matang secukupnya. Lebih segar disajikan dingin. Rasanya yang asam manis, segar di minum siang hari. Selamat mencoba.

Sumber: Green Community Universitas Indonesia

Hujan di pagi hari..


Hujan di pagi hari,
Udara dingin menusuk kulit.
Tapi, tetap harus semangat memulai hari dengan beraktifitas
Yang positif.
Semangat Pagi!

Mar 29, 2011

Spageti..!


Meski tidak menggunakan bumbu lengkap (oregano, dkk), kalau suamiku bilang enak, aku jadi yakin memang enak. Resepnya sih, biasa saja. Mungkin ,yang membuat spageti ini terasa istimewa, adalah saus tomatnya yang buatan sendiri. Jadi sangat fresh!

Bahan:
- 200 g Daging sapi giling/cincang
- 2 buah Bawang Bombay
- 2 siung bawang putih
- 1 sdm Mentega/margarin untuk menumis
- 200 ml Kaldu sapi
- 4 buah Tomat segar
- 5 sdm saus tomat (kalau bisa buatan sendiri)
- gula pasir secukupnya
- keju parut

Cara masak:
- cincang bawang bombay, dan bawang putih. Tumis dengan margarin/mentega. Masukkan daging giling, aduk hingga tercampur dengan bumbu. Bubuhi garam, dan tuangi kaldu. Biarkan sebentar hingga daging berubah warna.
- masukkan tomat segar yang telah dicincang halus (buangg kulitnya terlebih dahulu), dan saus tomat. Jika suka boleh ditambakan sayur seperti jagung manis dan kacang polong.
- terakhir, masukkan keju parut.
- hidangkan selagi hangat.

(Foto itu diambil ketika sedang tak punya stok keju cheddar, jadinya pakai yang single. Tapi, tetep enakk kok...hehehe...!)

Selamat mencoba!

Mar 25, 2011

Badak Bule


 Pandangan Rosa, si badak sumatera betina yang berkulit warna abu-abu itu, mencoba menerobos pagar pembatas yang ada di depannya. Sayang, hewan jenis badak sepertinya tidak dikaruniai pandangan yang terang. Padahal sedari tadi sudah terganggu dengan suara gaduh. Nampaknya ada penghuni baru di kandang sebelah. Hanya telinga dan daya penciuman yang kuat membuat Rosa yakin ada badak baru masuk dikandang sebelahnya yang sudah lama kosong.

Rosa menajamkan lagi pendengarannya. Tapi, telinganya menangkap pembicaraan yang pernah didengar, tapi itu sudah lama sekali. Waktu itu masih ada Pak Bule yang selalu mengunjunginya setiap pagi.

“Wow..ease..ease..! Come, Andalas..don’t be afraid of me..!”teriak seorang manusia.

Ah, suara manusia itu sangat aku kenal. Itu suara Pak Dokter Hewan yang selalu merawat penghuni suaka ini dengan baik. Termasuk sangat baik pada Rosa yang waktu itu baru datang dari berkelana. Yah..ini kan gara-gara Rosa suka jajan sembarangan. Makanan dari pinggir jalan yang tidak ditutupi dengan baik, dan makan dengan tangan yang kotor, Rosa jadi cacingan deh. Untung, Pak Dokter hewan itu merawatnya dengan telaten, sampai tak lagi cacingan. Terus, diberi vitamin juga agar tetap sehat. Rosa sangat suka padanya.

Tapi, kenapa suara Pak Dokter terdengar gusar ya? Pasti itu ulah si pendatang baru. Hmm..jadi penasaran...!

Rosa makin mendekat pada pembatas kandang. Tapi, belum juga bisa melihat dengan jelas. Sampai suatu hari, dua penjaga Rosa yang biasa memberi makan dan memandikannya setiap hari membicarakan kedatangan badak baru. Namanya Andalas, seekor badak jantan. Katanya dia datang dari negeri yang jauh...sekali! Naik kapalnya aja bisa berminggu-minggu. Dan, Si Andalas ini tak bisa berbahasa Indonesia. Karena lahir dan besar di Amerika, kalau berbicara dengan Andalas harus dengan bahasa Inggris. Oh, jadi Pak Dokter kemarin itu berbicara dengan Andalas, gumam Rosa. Dan, bahasa yang digunakan Pak Dokter itu namanya bahasa inggris ya? Bukan bahasa bule? Wah..aku juga mau belajar ah, biar bisa berteman dengan Andalas. Tapi, siapa ya..yang bisa mengajariku? Pak Dokter? Ah, Pak dokter kan sibuk?

Tiba-tiba, Rosa ingat sesuatu. O..iya, minta tolong Ratu saja. Dia kan punya laptop dan internet, jadi pasti bisa membantu.

Keesokan harinya, setelah mandi dan makan buah-buahan dan sayuran segar, Rosa mengunjungi kandang Ratu. Rosa ingin mengajak Ratu belajar bahasa Inggris.

“Rosa, kamu ingin belajar bahasa inggris karena ingin berteman dengan Andalas juga ya?”tanya Ratu, sesaat setelah Rosa tiba.

“Iya. Kok, kamu tahu? Siapa yang bilang?”jawab Rosa heran.

“Tidak perlu heran, Ros. Teman-teman yang lain juga, kok! Kita kan cuma berempat saja, jadi kalau ada pendatang baru pasti tahu. Dan kita semua senang ada teman baru. Biar suaka di hutan yang luas ini tidak sepi. Iya, kan?”

Rosa mengangguk senang. Ternyata, teman-teman yang lain juga ingin belajar bahasa inggris sepertinya. Jadi tambah semangat, deh!

“Teman-teman yang lain mana?” Rosa celingukan mencari Torgamba, dan Bina.

“Oh, sebentar lagi datang,”jawab Ratu sambil membuka laptop-nya. Setelah tersambung dengan internet, Ratu membuka Google.

Rosa mengamati apa yang dilakukan Ratu.

“Eh, kamu ngapain?”

“Ini adalah Google, semacam mesin pencari yang pintar. Kita juga bisa belajar bahasa inggris di sini,”jelas Ratu.”Tapi, karena kita juga harus belajar cara mengucapkannya, kita tetap butuh guru untuk mengajari.”

“Siapa, dong?”tanya Rosa penasaran. Setahu dia tak ada yang bisa bahasa inggris, tuh?

“Torgamba,”sahut Ratu singkat.

“Dia?”tanya Rosa tak percaya.

“Iya, Torgamba. Dia itu pernah tinggal lama lho, di Los Angeles, yang juga di Amerika sana. Jadi dia pasti bisa berbahasa Inggris juga,”tambah Ratu lugas.

Duh, Rosa jadi malu. Sudah lama berteman dengan Torgamba tapi tak tahu kalau dia ternyata pandai bahasa inggris. Rosa, sih... terlalu sibuk membangga-banggakan diri yang sudah berkelana dari satu hutan, ke hutan lain. Dari satu kampung ke kampung lain, tapi gaptek-gaptek juga! Sementara Torgamba sangat pendiam, tapi ternyata pandai. Oh..malunya!

Tak berapa lama kemudian, Bina dan Torgamba datang. Mereka juga terlihat rapi dan segar. Memang, kalau mau belajar lebih nyaman mandi dan sarapan dulu. Biar bisa konsentrasi, tak terganggu gatal, bau badan, dan perut yang lapar.

“Sudah siap teman-teman?”kata Ratu menyambut kedatangan mereka.

“Pasti, dong...!”sahut mereka serempak, sambil mengacungkan dua cula mereka yang bersih berkilau. Cling!

“Sipp, deh..! O ya, sebaiknya kita mulai dari mana Torgamba?”tanya Ratu sambil memindahkan laptopnya ke hadapan Torgamba.

“Kita mulai dari kata-kata yang biasa atau sering digunakan sehari-hari ya? Setelah itu baru kita belajar membuat kalimat. Dengan bantuan terjemahan dan alat bahasa dari Google ini, pasti pelajaran kita akan lebih mudah,”kata Torgamba pejantan "jebolan" Amerika itu memulai pelajaran bahasa inggrisnya.

Hari demi hari, mereka semakin mengerti bahasa inggris meski belum pandai betul. Setidaknya jika bertemu Andalas, mereka bisa saling sapa. Sementara mereka mendengar Andalas, si badak pendatang baru itu masih juga sering berulah. Sering mengamuk. Apalagi jika yang datang mendekat tidak dikenalnya.

Akhirnya, para penjaga, sepakat mulai mengenalkan Andalas pada kawan-kawan mereka di suaka. Mereka berharap dengan Andalas bertemu kawan-kawannya di suaka ini, bisa sedikit menenangkannya. Setidaknya dia tidak kesepian. Tetapi, mereka harus tetap di pisah dengan pagar. Para penjaga dan Pak Dokter, tak mau badak lain terluka karena amukan Andalas.

Rosa, Ratu, Bina dan Torgamba, deg-degan. Ini kali pertama mereka akan menyapa Andalas dengan bahasa inggris. Mudah-mudahan Andalas mau berteman dengan kami, gumam mereka.

Ketika Andalas telah di hadapan mereka, meski masih terhalang pagar kandang, mereka bisa melihat dengan jelas. Wow...menakjubkan! Andalas memiliki rambut yang lebat sekali di sekujur tubuhnya. Rambut di punggungnya panjang berwarna kecoklatan, nampak mirip penyanyi rock n roll! Berbeda dengan mereka yang lebih pendek dan tidak terlalu lebat, padahal sama-sama berjenis badak sumatera yang memiliki ciri khas berambut di seluruh tubuh. 

Kata Pak Dokter, karena Andalas tidak lahir di hutan tropis yang  hangat terus seperti mereka berempat, melainkan di negara yang memiliki empat musim, secara alami rambut Andalas lebih lebat. Itu berfungsi sebagai penghangat saat musim dingin. Wah..wah...mereka berempat jadi melongo, tuh!

“Selamat datang, Andalas!” kata Rosa spontan. Rasa penasarannya tak tertahankan lagi.

Andalas menoleh, sambil mendengus. Kelihatannya tidak suka.

“Yah, Rosa..pakai bahasa inggris, dong..?”tegur Bina. Makin deg-degan melihat sikap Andalas yang tak ramah.

“O, iya..lupa!”Rosa nyengir.“Welcome, Andalas. My name is Rosa. And these are my friends: Bina, Ratu, and Torgamba.” 

Andalas yang sebelumnya nampak curiga, perlahan berubah sikap. Dia mulai mendekati empat sekawan itu.

Tiba-tiba suasana berubah menjadi tegang. Para penjaga dan Pak Dokter bersiap jika Andalas mengamuk lagi.

“Hmmm..! How do you know my name?”balas Andalas tak ramah.

Nah, sampai di situ, Rosa mundur tidak mau melanjutkan sapaanya. Bukan lantara takut sama Andalas, tapi takut gak ngerti apa yang dibicarakan! Kan, bahasa inggrisnya belum lancar-lancar amat! Mendingan mundur deh, daripada tengsin dan bikin suasana makin kacau. Begitu pikir Rosa. Hihihi...Rosa..Rosa!

Akhirnya, Torgamba yang mengambil alih pembicaraan. Setelah beberapa lama, Torgamba memanggil ketiga temannya untuk mendekat. Tak ada ketegangan di raut wajah Torgamba. Sementara Andalas, malah nampa sedih. Ada apa ya?

“Kawan-kawan, kemarilah....! Andalas senang kok, bertemu kita. Hanya saja dia rindu sama ibunya, dan merasa kesepian. Karena itu dia sering mengamuk karena kesal tak boleh keluar kandang, dan bertemu ibunya. Padahal ibunya di Amerika. Jauh sekali kan? Apa yang bisa kita bantu untuknya?”

“Ratu, internet bisa di pakai untuk ngobrol sampai Amerika, nggak? Kali aja, benda kesayanganmu itu bisa secanggih itu..,”ledek Rosa sambil cengar-cengir. Sementara Bina melotot ke arah Rosa, memintanya diam.
Eh, ternyata Ratu malah tersenyum.

“Ya bisalah..! Kan, bisa pakai webcam. Nanti Andalas dan Ibunya bisa saling melihat melalui kamera yang terhubung dengan internet. Canggih, kan? Laptopku gitu lho? ”cetus Ratu, gantian meledek Rosa.

“Ya sudah, kita coba menghubungi Ibu Andalas dengan laptopmu,”kata Torgamba menengahi.” What do you think, Andalas?”

Mata Andalas jadi berbinar-binar, saking bahagianya.

“You do that for me?” tanya Andalas tak percaya.

Empat sekawan itu mengangguk serempak.

”Thank you so much for your kindness, my new friends....,”mata Andalas jadi berkaca-kaca.”Now I can talk to my mother everytime I miss her.”

Melihat kelima badak sumatera itu nampak rukun, para penjaga dan Pak Dokter jadi terheran-heran, tapi juga senang. Mereka takkan direpotkan lagi untuk menghindari dua cula yang selalu mengancam mereka saat Andalas mengamuk.

Setelah itu, suaka di hutan yang luas itu jadi tempat yang menyenangkan untuk Andalas. Dan, dengan bantuan teman-temannya, Andalas mulai belajar bahasa Indonesia, seperti bahasa ibunya yang lahir di sumatera, Indonesia.

*Untuk mengenang Emi, ibu Andalas, badak sumatera betina yang di bawa ke kebun binatang di Cincinnati, Amerika Serikat, dan mati disana. Andalas punya ayah bernama Ipuh, dan dua adik dengan nama Suci dan Harapan*

Sumber: 
Forum Badak Indonesia: http://forumbadak.wordpress.com/

Mar 20, 2011

Hmm...sebegitu parahkah?


Pagi, dari deretan pedagang di depan PEMDA Kabupaten Bogor di Cibinong, tulisan/spanduk ini terlihat mencolok mata. Hampir kulewatkan begitu saja. Sejenak berhenti untuk mengabadikan, beberapa penjual yang berada di bawah spanduk berteriak,"mending jualan, daripada pacaran!"

Aku tertawa, sambil mengacungkan jempol.

Tapi, sebenarnya aku juga sedang berpikir, kalau spanduk ini ada berarti memang banyak yang melakukannya. Dan, beberapa orang yang aku kenal juga mengatakan hal yang sama. Sungguh mengerikan! Begitu laporan mereka. Bukan lantara yang pacaran ganas karena kurang makan seperti korban bencana, tetapi ganas karena mereka dengan terbuai nafsu sedang menghancurkan masa depan mereka sendiri.

Hmm...sudah sebegitu parahkah? Pengen tahu, sih. Tapi, aku malas pergi ke tempat ini malam-malam. Jauh pula dari rumah. dan, rasa ingin tahuku bukan untuk menikmati kegilaan, tetapi seperti riset semata. Maklum, dulu aku sempat menjadi aktifis untuk pendidikan seks untuk remaja. Mau tidak mau, ini menjadi konsern tersendiri buatku. Sedih, khawatir, cemas, dan lain-lain. Membayangkan apa yang di rasakan oleh orang tua mereka.

Kecemasan orang tua jaman sekarang sungguh berlipat ganda. Banyak jalan yang membuat remaja mereka tersesat. Ditambah dengan pengawasan oleh masyarakat banyak juga semakin kendor. Malah cenderung masa bodoh!

Ah, mudah-mudahan aku mampu mendidik anakku kelak. Agar tak terseret arus modern yang tak baik. Amin.

Mar 16, 2011

Listrik Vs Game


Lintang kesal, sedang asyik bermain game di komputer, tiba-tiba listrik mati. Keasyikan Lintang jadi terganggu. Ibu sih, gak mau belikan Lintang laptop kayak punya Fitri teman sekelasku. Coba aku punya laptop, aku masih bisa main game meski listrik mati, gerutu Lintang. 

Saat sedang melamun, terdengar ibu memanggilnya. Kedengarannya dari dapur. Lintang menengok jam dinding di kamar, sudah jam empat sore. Pasti ibu lagi sibuk masak makan malam.

“Lintang..., tolong ke dapur nak, bantu Ibu!” teriak Ibu sekali lagi.

Dengan malas, Lintang pergi ke dapur. Tapi, melihat Ibu kerepotan menyiapkan makan malam Lintang merasa iba dan bersalah. Kasihan ibu, aku harusnya sudah sejak tadi membantu menyiapkan makan malam.

 “Apa yang bisa Lintang bantu, bu?”tanya Lintang sambil duduk dekat ibu yang sedang menyiapkan bumbu dapur.

“Tolong kupas bawang merah, dan bawang putih ya? Habis itu, buang tangkai cabai merahnya dan kumpulkan di wadah ini. Hati-hati dengan pisaunya, jangan sampai kena jarimu. Ibu mau menanak nasi dulu,”jelas ibu singkat. 

Lintang hanya mengangguk. Lalu meraih pisau dari tangan ibu, dan mulai mengupas bawang merah dan putih.
Sambil mengerjakan perintah Ibu, Lintang mengamati gerak-gerik Ibu yang cekatan. Semua di kerjakan tanpa banyak bicara, dan tak ada keraguan sedikitpun. Satu per satu pekerjaan di dapur telah selesai. Tinggal menunggu nasi di kukusan matang, dan meletakkan ayam yang telah dibumbui ke atas tungku untuk di bakar. 

Hmm...tak sabar rasanya ingin segera menikmati ayam bakar kesukaan Lintang.
Tapi, wah...peralatan masak yang harus di cuci jadi banyak! Mana pompa air juga mati karena listrik belum nyala.

Huh, repotnya hidup tanpa listrik!Harusnya bumbu ayam bakar kesukaan Lintang bisa di blender, tapi karena ada pemadaman, terpaksa harus di uleg. Nasi yang harusnya bisa matang dengan sekali colok saja, harus diaroni dulu baru di kukus. Sekarang, Lintang tak boleh boros menggunakan air untuk mandi. Harus bebagi dengan Ayah, Ibu, dan peralatan masak yang belum dicuci.

Kenapa sih, listrik harus sering mati? pikir Lintang penuh rasa ingin tahu.

“Lintang, kok bengong? Ayo, cepetan mandi. Sudah sore, nanti keburu Ayah pulang. Lintang gak mau Ayah marah kan? Jangan lupa, hemat air!”kata Ibu.

Bergegas Lintang mandi, tak mau kena marah Ayah. Lagi pula, sehabis membantu Ibu di dapur, badan Lintang terasa lengket oleh keringat. Sehabis mandi, badan terasa segar!

Untunglah, menjelang Maghrib listrik menyala kembali. Pompa air menyala, dan drum penyimpan air (toren) bisa terisi air kembali. Dan, Ibu bisa menyiapkan makan malam dengan lebih leluasa.

Selesai makan malam, Lintang duduk di samping Ayah yang sedang membaca koran sore. Lintang penasaran sekali, kenapa sering terjadi pemadaman listrik?

“Yah, tadi listrik padam lagi. Lintang jadi gak bisa main game di komputer,”rajuk Lintang.”kenapa sih, listrik padam melulu?”

Mendengar pertanyaan Lintang, Ayah menutup koran yang tengah di baca dan melipatnya kembali. Ayah memperhatikan wajah Lintang yang nampak serius. Lalu Ayah tersenyum.

“Kenapa tidak tanya Ibu?” kata ayah sambil melirik Ibu yang nampak asyik membaca ensiklopedi ilmu pengetahuan alam.

“Ah, ayah..Lintang kan nanya-nya sama Ayah..!”protes Lintang.

“Hahaha...kan, sama saja?”elak Ayah lagi.

“Ibu kan capek, yah..habis masak. Lintang cuma bisa bantuin mengupas bawang aja, habis belum bisa menggunakan cobek dan uleg! Listrik pakai mati segala sih, jadi ibu gak bisa pakai blender..”jelas Lintang panjang lebar.

“Memangnya Lintang tahu, blender itu apa?”tanya Ayah lagi.

“Tahu, dong? Itu tuh, yang suka dipakai ibu untuk menghaluskan bumbu ayam bakar kesukaanku!” jawab Lintang cepat.

Ibu yang menguping pembicaraan Ayah dan Lintang, tersenyum. Dalam hati, Ibu bangga punya anak yang cerdas seperti Lintang.

“Ibu juga tahu, kenapa listrik sering mati..?”sahut ibu menyela pembicaraan Lintang dengan Ayah.

Serempak ayah dan Lintang menoleh ke arah Ibu. Lalu Ibu membaca keras-keras tulisan yang ada di buku: “Listrik sering padam akhir-akhir ini karena Lintang terlalu sering bermain game di komputer..”

Hah? Lintang kaget sekali. Apa benar tulisan itu ada di buku ensiklopedi yang di baca ibu? Lalu Lintang menoleh ke Ayah yang senyum-senyum simpul.

Karena sangat ingin tahu, Lintang berlari mendekati Ibu lalu mencari-cari kalimat yang tadi dibaca oleh Ibu.

“Ibu bohongin Lintang, ya?”tanya Lintang setelah tidak menemukan kalimat yang di maksud.

“Tidak,”jawab ibu singkat. “Sini Ibu jelaskan.”

Lalu Ibu membuka halaman dari sebuah buku dengan judul “Listrik untuk Rumah Kita”. Dalam buku itu terdapat gambar yang menjelaskan bagaimana listrik di buat. Ibu menunjuk gambar yang berbentuk tabung besar, dan mengeluarkan asap di ujungnya.

“Ini namanya pembangkit listrik. Dari sinilah listrik yang kita gunakan di rumah kita ini, dan rumah-rumah yang lain, berasal. Pembangkit listrik yang besar bisa mencukupi kebutuhan ribuan rumah. Umumnya, pembangkit listrik menghasilkan listrik dari dari pembakaran batu bara, atau minyak bumi.  Tetapi, ada juga yang menggunakan pembangkit listrik tenaga air, angin, panas bumi, dan matahari. Bahkan nuklir !

"Nuklir? Seperti bom yang di Nagasaki dan Hiroshima ya, bu?"

Ibu tersenyum.

"Bukan bom, sayang..! Tapi, pembangkit listrik tenaga atom, atau nuklir. Sama bahannya, tapi beda kegunaannya. Tetapi, banyak negara tidak mau menggunakan pembangkit listrik tenaga nuklir karena banyak resikonya. Seperti yang sekarang terjadi di Jepang, tepatnya di Fukushima. Betul kan, Yah?"

"Betul, sekarang malah menjadi bencana yang lebih membahayakan setelah gempa dan tsunaminya karena radiasinya sangat berbahaya,"tambah Ayah, sambil menunjukkan gambar yang ada di koran.

"Radiasi?" tanya Lintang. Ayah dan ibu diam terpaku, lalu saling berpandangan.

" Radiasi, adalah sesuatu energi yang memancar dan nantinya akan di serap benda lain,"ibu berhenti menjelaskan. Memandangi Lintang yang terdiam. Mereka khawatir jika menjelaskan lebih lanjut Lintang makin tak mengerti.

"Nah, dari pusat pembangkit ini, listrik dialirkan melalui jaringan kabel hingga sampai ke rumah kita,”jelas Ibu memecah keheningan.

“Terus, apa hubungannya dengan main game dan mati listrik bu?”tanya Lintang dengan mata yang berkedip-kedip. Pasti sedang sangat ingin tahu.

Huft...ibu lega. Lintang tidak bertanya lagi tentang radiasi.

“Nah, itu karena umumnya pembangkit listrik di negera kita menggunakan baru bara dan minyak bumi yang keberadaannya di alam sudah semakin berkurang. Sehingga listrik yang dihasilkan juga berkurang. Jadi, listrik yang di bagi-bagi ke banyak rumah juga ikut dikurangi. Kalau tidak berhemat, akhirnya tetap tidak cukup juga, jadilah listriknya dipadamkan. Sama seperti air yang sedikit tapi harus di bagi-bagi untuk Lintang, Ibu dan Ayah. Kalau tidak berhemat menggunakannya, ya tetap tidak cukup. Akhirnya, tidak mandi, deh..! Atau, terpaksa bergantian. Hari ini Lintang, besok Ibu, dan lusa Ayah. Hmmm..kebayang, deh baunya! Betul kan, Yah?”

Ayah mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

"Betulll...!"

“Tapi, masa Lintang gak boleh main game sama sekali?”protes Lintang sambil merengut.

Ayah, dan Ibu saling berpandangan sekali lagi. Mereka tak langsung menjawab.

“Boleh,"jawab Ayah, akhirnya. "Tapi..., dengan syarat, harus mengerjakan PR dulu, baru boleh main game. Dan, tidak boleh lama-lama, nanti Lintang tak punya waktu bermain bersama teman."

“Tapi, Ibu senang listrik padam. Lintang tidak bisa main game, dan akhirnya bantu Ibu di dapur, deh..hehehe..! Terimakasih ya, sayang...,”tambah Ibu.

Lintang tersenyum senang, masih boleh main game di komputer. Tapi, Lintang juga berjanji tak akan bermain game lama-lama. Biar listrik tidak sering padam. Juga agar bisa membantu Ibu. Kalau Ibu terlalu capek, nanti tidak bisa dampingi Lintang belajar.

PR? O, iya..tadi ada PR dari Ibu Guru. Lintang segera berlari ke kamar dan membuka buku tulisnya. Ternyata, PR-nya adalah menuliskan tentang teknologi yang bermanfaat untuk manusia, dan mengapa memilih teknologi tersebut?

Ah, sekarang Lintang tahu! Lintang akan menuliskan tentang listrik, dan mengapa Lintang memilih listrik sebagai teknologi yang bermanfaat untuk manusia. Lintang senang jika listrik tak padam. Suatu saat nanti, Lintang akan membuat pembangkit listrik yang tidak menggunakan bahan bakar yang cepat habis. Supaya semakin banyak orang merasakan manfaat listrik. Amin!

Sumber referensi:
1. Ardley, N., Cara bekerjanya Listrik, PT Mandira Jaya Abadi, Semarang, 2000
2. Wikipedia, Ensiklpedia bebas.



Mar 7, 2011

Kelinci Koci dan Kura-kura Kori


Si Koci Kelinci hebat! Seantero hutan lindung sudah tahu itu. Kata mereka, tak ada yang bisa menandingi kecepatannya berlari. Seluruh penghuni hutan yang menurut Koci larinya cepat seperti harimau dan banteng, sudah ditantangnya dan tak ada yang bisa mengalahkannya.
Burung kutilang bilang,”kalau lomba lari dengannya, jangan berkedip. Nanti kamu pasti tertinggal jauh di belakangnya. Tahu-tahu, Kelinci sudah sampai garis finish”.

“Iya, aku saja yang berlari lurus ke depan tak bisa menandingi kecepatannya...grok..grok..!,” tambah babi hutan sambil mendengus.

Kadal, tokek, cicak, dan belalang yang sedang nemplok di pohon cuma manggut-manggut. Wah, apalagi kita ya? Bisanya merambat di pohon atau di semak-semak. Begitu gumam mereka dalam hati. Hanya lebah dan kupu-kupu yang masa bodoh dengan lomba itu. Mereka selalu sibuk mengumpulkan madu untuk anak-anak mereka.

Tapi mereka juga tahu, Koci sangat sombong. Setiap melihat hewan lain berlari, dia selalu menertawainya. Apalagi jika yang berlari itu bebek.

“Ah, cuma segitu saja kemampuanmu kaki pendek?”ejek Koci.

Walaupun kesal, bebek tak bisa berbuat apa-apa.

Sementara, di pinggir sebuah danau tak jauh dari lapangan tempat lomba biasanya diadakan, hidup seekor kura-kura pemalu. Si Kori namanya. Kori tak punya banyak teman, hanya Kodi, kodok hijau saja yang berteman dengannya. Itu pun karena Kodi juga malu sering diejek karena kulitnya yang buruk. Kori senang menyepi dan membaca buku, dan Kodi senang menghibur kawannya ini dengan menyanyi. Meski suaranya tak bagus-bagus amat, tapi Kodi tetap bernyanyi..!

Suatu hari, Koci yang bosan menanti lawan bertanding memilih berjalan-jalan untuk mengisi harinya. Lalu, sampailah dia di tepi danau tempat Kori bermain bersama Kodi. Melihat mereka berdua yang nampak buruk rupa, Koci tertawa terbahak-bahak. Apalagi saat melihat mereka berjalan. Koci tertawa sampai berguling-guling.

“Kalau seperti ini cara berjalanmu, mana bisa kau mengalahkan aku berlari..ha.ha.ha..!?” kata Koci sambil menirukan cara berjalan Kori yang sangat lambat.

Aih, gerakan Koci sungguh lebay! Kori dan Kodi sebal dibuatnya. Kori juga merasa sangat malu dan sedih.
Ya, dengan kaki pendek dan tempurung besar di punggungnya, seekor kura-kura macam aku ini takkan bisa menang melawan kelinci yang punya kaki yang kuat, keluh Kori.

Tapi, Kodi menghibur Kori. Mengapa harus terus bersedih? Tidak punya otot, ya pakai otak lah...! Dan..aha! Kodi melihat di kepala Kori muncul cahaya kuning terang. Cahaya itu mirip bola yang menyala di rumah-rumah manusia. Kori dan Kodi tersenyum, wajah mereka berseri-seri.

Di temani Kodi, Kori sibuk bereksperimen. Dia ingin menciptakan alat yang bisa membuatnya berlari dengan sedikit menggerakkan kakinya yang pendek.

Hari demi hari berganti. Koci si Kelinci makin sombong. Tak ada lagi yang menantangnya berlari. Lapangan di pinggir hutan itu, juga makin sepi. Para binatang lebih suka berkumpul di rumah kelinci untuk mendengarkan kisah-kisah-nya yang hebat saat mengalahkan harimau, dan banteng. Yah, walaupun mereka tahu cerita itu di lebih-lebihkan alias membual, mereka tak mau Koci menjauh dan tak menganggap mereka teman. Masuk sebagai geng-nya Koci, kan keren! Begitu pikir mereka.

Setiap hari mereka berkumpul di rumahkelinci sambil membawa makanan yang berlemak, dan manis-manis seperti permen dan coklat, serta minuman bersoda. Koci juga senang makan gorengan. Semakin hari semakin melupakan latihan lari dan kebiasaan baiknya dulu yaitu makan buah-buahan, wortel, sayur-sayuran, dan susu. Akibatnya, Koci jadi gendut dan tak lincah lagi. Apalagi kini tak ada lagi yang berani menantangnya berlari. Kerjanya setiap hari hanya makan dan tidur saja.

Berbeda dengan Kori yang rajin dan tekun bereksperimen. Setelah didapatkan hasil yang bagus, Kori berlatih menggunakan alat yang telah di rakitnya itu. Dengan bantuan Kodi, Kori berhasil menggunakan alat itu dengan baik. Meski begitu, setiap hari terus saja berlatih untuk menjaga keseimbangan dan teknik pengendalian alat yang sempurna.

Akhirnya, dengan mengumpulkan keberanian, Kori menantang Koci bertanding lari. Di hari yang telah di tentukan, mereka telah siap di lapangan. Penonton telah memenuhi pinggir lapangan. Mereka bersorak-sorai untuk Koci. Meski meragukan kemampuan Koci yang sekarang jadi gendut, tetapi mereka juga tahu Kori jalannya sangat lambat. Tak mungkin mengalahkan Koci. Hanya Kodi yang terus memberi Kori semangat.
“Ayo, Kori... jangan takut! Kamu pasti bisa..!” teriak Kodi dari pinggir lapangan.

Para monyet yang biasanya hanya kongkow-kongkow di atas pohon, ikut-ikutan menonton. Bertepuk tangan riuh. Tapi, mereka tak membela siapapun. Mereka cuma senang menertawai yang kalah, dan menyanjung yang menang.

Hanya banteng, dan harimau yang diam-diam berdoa untuk kemenangan Kori. Mereka masih kesal karena pernah dikalahkan Koci. Tapi tak mau meneriakkannya keras-keras, takut dibilang pecundang. Malu dong?
Perlombaan segera di mulai. Koci dan Kori telah bersiap. Kali ini, wasitnya adalah Pak Burhan (Burung Hantu) yang terkenal bijaksana.

Pak Burhan mulai menghitung,“Ingat, tak boleh curang ya? Bersiap....satu..dua..ti...”

“Sebentar, Pak..!” teriak Kori tiba-tiba menyela. Seluruh penonton terkejut, lalu berbisik-bisik. Mengira Kori hendak membatalkan perlombaan karena takut.

“Ada apa Kori?” tanya Pak Burhan.

“Maaf pak, karena tubuh saya kan pendek, saya tak bisa melihat ke depan sepeti Koci. Dan, karena tempurung saya yang berat ini menempel di punggung, saya tak bisa berdiri tegak seperti Koci. Itu mempengaruhi kemampuan saya berlari pak.”jelas Kori.

“Ah...bilang saja kamu takut, Kori!”sahut Koci,”pakai alasan segala..!”

“Ssttt...! Diam dulu Koci,”sergah Pak Burhan sambi menempelkan sayapnya di mulut.

“Lalu, maunya apa Kori?”lanjut Pak Burhan.

“Ehm, supaya adil, ijinkan saya menggunakan alat yang bisa meninggikan badan saya, dan menahan tempurung agar tidak memberatkan selama lomba. Juga pengganjal kaki, agar kaki saya panjang dan kuat seperti Koci,”lanjut Kori.

Mendengar dirinya di sanjung, Koci sangat senang. Dadanya membusung, hidungnya kembang-kempis.
“Begitu ya? Bagaimana Koci, apakah Kori boleh menggunakan alat peninggi badan dan kaki?”tanya Pak Burhan pada Koci.

“Silahkan saja,”kata Koci tak acuh. Dirinya sudah yakin menang. Buat apa risau dengan alat peninggi badan buatan Koci yang tak berguna itu? Repot amat! Koci terus menggerutu.

Kori gembira. Dengan segera dia menyiapkan alat yang akan membuatnya lebih tinggi, dan kaki yang lebih panjang dan kuat untuk berlari.

Begitu alat itu sampai di hadapan wasit dan penonton, semua ternyata menertawakan Kori.

“Ha.ha.ha...apa alat yang lucu itu yang bisa membuat Kori berlari lebih cepat?”begitu ejekan para penonton.
Apalagi para monyet! Mereka bilang,”wah..lucu..lucu! Tapi kok, kayaknya kenal ya..dengan alat itu?” sambil menggaruk-garuk kepala, sibuk berpikir. Tapi tak lama mikirnya, lalu mereka bertepuk tangan sambil memakai topeng-topengan. Pakai musik juga..!

Pak Burhan tersenyum. Beliau tahu, pernah baca di buku yang ada di perpustakaan sekolahnya dulu. Alat yang digunakan oleh Kori adalah sepeda roda tiga. Kori pintar. Kalau roda dua, jalannya tidak akan seimbang. Dan dengan kaki yag pendek itu dia tidak bisa menahan agar tidak jatuh kesamping. Dengan roda tiga, Kori hanya perlu mengharmoniskan kayuhan dan keseimbangan (berat) badannya.

Koci hanya melongo melihat alat yang di gunakan oleh Kori. Tiba-tiba nyalinya menciut. Koci segera menyesali ijin yang diberikan pada Kori untuk menggunakan alat itu. Sekarang Koci bisa melihat, alat itu memang bisa membuat Kori lebih tinggi, dan dia bisa melihat jauh ke depan. Satu roda di depan, disambungkan pada dua roda di belakang. Di antara roda ada alat yang berputar yang menyambung kaki Kori dengan roda. Punggungnya yang berat oleh tempurung telah menemukan sandaran yang empuk. Kori nampak sangat percaya diri. Tapi, Koci tak sempat mengamatinya lama-lama, karena Pak Burhan telah memberi aba-aba. Koci dan Kori harus segera bersiap.

“Siap..! Satu, dua, tiga..!”

Koci segera melompat tinggi-tinggi, dan secepatnya agar tak kalah oleh Kori. Gemuruh tepuk tangan yang meneriakkan nama Koci melenyapkan rasa khawatirnya, dan yakin bisa menang. Sekilas Koci menoleh kebelakang, Kori masih tertinggal jauh.

Ah, Koci jadi lega. Apa yang musti di khawatirkan? Toh, alat itu tak membuatnya lebih cepat dariku. Gumam Koci pongah. Lalu Koci mengurangi kecepatan lompatannya. Napasnya sudah terengah-engah. Koci merasa semakin sulit berlari. Tubuhnya terasa berat.

Sementara di belakang, dengan kaki-kakinya yang pendek, Kori tetap berusaha mengayuh. Pelan tapi pasti, roda-roda yang di kayuh Kori semakin berjalan cepat. Sedikit lagi pasti bisa melewati Koci yang masih berlari santai.

Ketika menyadari Kori telah dekat, Koci menambah kecepatan larinya. Dia tidak menyangka Kori bisa mengejarnya. Terjadilah kejar-mengejar yang sangat ketat. Ketika Koci mengira Kori sudah jauh, dia melambat. Namun ketika Kori terus mendekat, Koci kembali berlari dengan cepat.

Garis akhir sudah terlihat.

Kori semakin bersemangat mengayuh, dan Koci terus berlari. Sorak sorai penonton semakin bergemuruh.
Namun, beberapa depan menjelang garis finish, tiba-tiba Koci terjatuh. Kori yang terfokus pada perlombaan, tak menyadarinya dan terus mengayuh dengan cepat. Dan, akhirnya Kori sampai di garis finish terlebih dulu.

“Hore....! Kori menang...!” teriak Kodi, harimau dan banteng keras-keras. Monyet-monyet di atas pohon ikut-ikutan menyanjung Kori, padahal tadi menyanjung Koci.
Kori sangat senang. Kerja kerasnya berbuah manis. Meski tak mudah, namun akhirnya sangat membuat bangga.

Menyadari Koci tak sampai garis finish, bergegas dia mencari Koci. Awalnya Kori diam saja melihat Koci tergeletak dengan hajah pucat pasi, toh nanti pendukungnya akan segera menolongnya. Tetapi, perkiraan Kori salah! Tak ada satu pun yang menolong Koci. Malah mereka menyukuri kekalahan Koci, dan segera berlalu.
Kori merasa iba pada Koci. Kori segera membawa Koci ke rumah sakit. Dengan sepedanya, Kori sampai di rumah sakit lebih cepat. Pun tak perlu menggendong badan Koci yang gendut, cukup memboncengnya. Huh..untunglah, kata pak dokter Koci tak apa-apa.

Setelah perlombaan itu, Kori menjadi terkenal. Tidak karena hanya kepandaiannya membuat sepeda, tetapi juga kebaikan hatinya. Meskipun telah mengalahkan Koci, Kori tidak sombong. Malah sekarang mereka berteman. Kori sering mendampingi Koci berlatih lari dengan mengayuh sepeda. Mereka tengah sibuk mempersiapkan lomba lari antar hutan lindung, dan Koci danKori sebagai wakil dari hutan mereka.

Wah...selamat berlatih ya? Bersahabat dan menjadi satu tim yang kompak itu memang lebih menyenangkan daripada bermusuhan. Betul tidak?

Mar 3, 2011

Banjir Tomat




Berbagai aksi penjual tomat di seputar Stasiun Cilebut, dan dalam kereta. Dengan Rp. 2000 per kantong, laba yang di dapat tak seberapa. Pembeli pun tak banyak. Sekarang beli sekantong, mungkin seminggu kemudian baru beli lagi. Mungkin pasar telah jenuh.

Tetapi, dengan sedikit kreasi, tomat bisa berbentuk lain (salah satunya saus tomat), yang bisa diawetkan dan digunakan lain hari ketika harga tomat telah kembali normal atau bahkan mahal.

Kalau tomat bisa diolah, setidaknya daya serap menjadi tinggi dan harga bisa lebih baik. Pedagang untung, Petani pun tak merugi lagi.

36 Jam di Yogya

Pagi buta

Hari masih begitu dini. Dengan dua taxi yang kami (aku, suamiku, dan dua orang teman) pesan semalam, menyusuri jalanan dan tol menuju Bandara Soekarno Hatta. Pesawat yang membawa kami ke Yogya akan berangkat pukul 8 pagi. Sedang perjalanan Bogor hingga Bandara Soekarno Hatta akan memakan waktu sekitar dua jam. Dengan pemandangan yang membosankan, kami memilih tidur, lumayan untuk melanjutkan mimpi yang terpenggal.



Di bandara, kami bertemu dengan dua teman lain Mbak Manda dan Mbak Mora yang akan menjadi host kami selama di Yogya. Sebenarnya Yogya bukanlah tempat yang asing lagi. Sangat mungkin jika ada waktu kami akan menyempatkan waktu berplesiran tanpa sang host. Tapi karena mereka membeli jasa kami, jadwal tentu mereka yang punya dan kami harus siap kapanpun mereka memerlukan.

Tapi tak apa. Mereka takkan mengikat kami seperti bocah yang sedang dihukum. Malah, seringkali mereka yang menawarkan kami untuk memilih kemana kami ingin pergi.
Pukul 9 pagi kami sampai di Bandara Adi Sucipto. Masih ada waktu tiga jam lagi untuk bertemu sang klien. Waktu luang ini tentu tak boleh disia-siakan. Besok selepas Ashar kami sudah harus kembali ke Jakarta. Sementara pagi hingga siang hari kami harus menjadi fasilitator kegiatan pembelajaran sains di sekolah yang akan kami kunjungi jam 12 nanti.

Jet lag? No way..!

Dan pucuk dicinta, ulam pun tiba. Alih-alih menuju hotel untuk check in, host kami mengajak langsung menuju Malioboro untuk mencari oleh-oleh. Kebayang kan, betapa waktu begitu berharga? Kami baru saja tiba dari Jakarta, bahkan baru saja kami tinggalkan satu jam yang lalu. Sekarang, kami berburu oleh-oleh untuk di bawa pulang! Seperti tidak ada waktu lagi? Memang! Kami tak ingin melewatkan waktu yang cuma beberapa waktu dengan berdiam diri di hotel. Rugi banget!

Selesai belanja pernak-pernik unik di Mirota, aku dan suamiku mengalihkan perhatian ke Pasar Beringharjo. Berharap mendapatkan baju batik murah untuk oleh-oleh. Tapi, baru sampai di pintu gerbang, kami tertarik dengan jejeran penjual pecel. Sayuran hijau nan segar itu menyihir mata dan mempengaruhi otak yang mengirim sinyal lapar ke perut. Tak ingin mendengar perut yang berisik, kami segera mencari bangku yang kosong dan memesan dua porsi pecel dengan lontong dan teh manis hangat. Hmmm…yummy!

Pecel depan Pasar Beringharjo. Yummy!

Anda pasti berpikir, pecel di mana-mana ya sama! Anda benar, tapi juga salah! Bumbu boleh sama, tapi yang membedakan pecel Beringharjo dengan yang lainnya itu adalah sayurnya. Tidak kurang dari tujuh jenis sayuran siap menggoyang lidah. Ada bunga turi, selada air, kecipir, kenikir, daun singkong, kacang panjang dan kecambah (tauge pendek). Ditambah dengan pilihan lauk yang beragam. Ada tahu dan tempe bacem, ayam goreng, dan berbagai macam gorengan lain. Hanya dengan Rp. 7500, kami hampir tak kuat lagi berjalan karena kekenyangan. Akhirnya hanya sedikit waktu yang dapat kami luangkan untuk memburu baju batik. Dan, tak satupun baju kami dapatkan karena harus tawar menawar dan ngantri lama. Sementara dua host kami telah selesai belanja dan mengajak kami untuk segera bertemu dengan kepala sekolah, sang klien kami.

Dengan perut kenyang, percaya diri kembali menjulang. Bahkan tak terpikir di benak kami bahwa dua host kami ternyata kelaparan karena terlalu asyik bebelanja. Keegoisan kami langsung tertohok ketika setelah selesai urusan dengan klien mereka mengajak kami makan di warung gudheg yang amat terkenal di seputaran wilayah Kampus UGM. Lho, kok? Bagaimana tidak, mereka saja tidak segan mengajak makan lagi meski mereka tahu kita telah kenyang.




Tapi, tetap saja keserakahan berkuasa. Meski perut kenyang, kami tetap mau makan meski dengan separo porsi. Yang ini, tak kalah enak. Pantas, warungnya begitu ramai. Apalagi, di balik jendela kami bisa menikmati alunan lagu keroncong mendayu-dayu.
Ah kantuk, janganlah kau terlalu cepat datang! Momen ini terlalu sayang untuk dilewatkan.Tapi sungguh, kantuk begitu ganas menyerang. Karenanya, kami segera menuju hotel dan beristirahat sebentar.

Prambanan

Sebentar? Yup! Karena dua jam kemudian kami sudah berada di jalan menuju Candi Prambanan. Kami hendak menjemput malam di sana. Meski sebagian rusak karena gempa beberapa waktu lalu, dengan bermandi cahaya temaram keemasan, sore di candi Prambanan sangat eksotis.




Di gerbang keluar, banyak gadis menawarkan souvenir berupa gelang-gelang cantik dari kulit dan sangat murah. Tak ada tempat lain yang menawarkan souvenir dengan harga seribu bahkan kurang, selain di Yogya.

Dan, perjalanan yang asyik menjadi sempurna ketika petualangan hari ini di tutup dengan makan malam di Warung Cak Koting. Emm…seperti bukan panggilan nama orang Yogya, ya? Tapi tak apalah, ayam bakarnya memang enak. Sambalnya membuat kami seperti naga yang siap menyemburkan api dari mulut. Pedas!

Baiklah, sekarang tiba giliran tubuh mendapatkan istirahat dan kesegaran. Besok, masih ada tugas menunggu. Dan, juga petualangan lainnya…!

Tamansari

Hari telah berganti. Pukul delapan pagi kami bertugas hingga pukul satu siang. Lagi-lagi, demi menghemat waktu, kami langsung membawa seluruh barang yang kami punya ke dalam mobil. Kami tak perlu lagi membuang waktu kembali ke hotel, karena sisa waktu yang kami punya harus kami manfaatkan dengan baik. Kemana lagi sebaiknya pergi? Pukul 4 sore nanti, pesawat yang membawa kami ke Jakarta akan lepas landas.

Yang harus dipikirkan adalah, kami tak boleh memilih lokasi wisata yang jauh hingga membuang waktu di jalan. Akhirnya, pilihan kami jatuh pada Taman Sari yang masih dalam lingkup keraton.

Semangat! Meski Yogya panas menyengat, kami coba menikmati perjalanan ini. Menyusuri lorong-lorong yang pernah dinikmati oleh raja-raja di tanah Yogya ratusan tahun lalu. Membayangkan menjadi puteri yang cantik jelita, bersanding dengan pangeran yang gagah perkasa. Menikmati kesejukan kolam indah dengan air jernih mengalir deras. Membasuh dan membasahi kaki yang penat, mendinginkan kepala yang terpapar panas mentari. Di bagian lain, para seniman telah siap menyuguhkan tarian yang indah.





Ah, pandai sekali sang pemandu kami bertutur. Indah rangkaian katanya, mengukir imajinasi. Begitu cantikkah di masa lalu?

Yogya nan mempesona. Rasa-rasanya, berkali-kali pun kita kunjungi, Yogya tetap memikat. Mengikat hati untuk berjanji bahwa lain kali kita akan bersua kembali.

Pukul 16.30 (karena pesawat di delay) kami kembali ke Jakarta, untuk selanjutnya langsung ke Bogor.

36 jam di Yogya, seperti gerilya singkat sebuah perjuangan membuka gerbang kejayaan masa lalu. Tak mungkin kita kembali ke masa lalu. Tapi, tawaran mengecap sisa-sisa keindahan itu bukanlah sia-sia, karena akan terus membekas dalam ingatan.

Mar 1, 2011

Tomat Lagi..!


Warna saus tomat asli, tak semerah atau sepucat yang di jual buatan pabrik.
Looks so yummy!