Kemarin lusa, saat pagi baru saja menyapa, tetanggaku dengan wajah menahan malu mendatangiku. Dia baru saja mengantar sang putri naik mobil jemputan ke sekolah. Mungkin, itu karena aku yang baru saja hendak menyiram tanaman menatapnya tak berkedip heran. Memang tak biasanya dia menyapaku sedemikian rupa. Dia lebih suka langsung main ke tetanggaku sebelah kiri rumahku lagi untuk ngobrolin entah apa. Yang aku tahu karena memang mereka sudah saling akrab sejak mereka mendadak punya hobi memasak.
Ya udah, itu urusan mereka. Kita lanjut cerita mengapa dia dengan tidak biasa mendatangiku.
Ternyata, dia datang untuk berkeluh kesah tentang materi pelajaran anaknya yang kini menginjak tahun ke-enam di SD. Dia tak sanggup lagi mengajari sendiri sang anak karena menurutnya materi pelajaran SD sekarang sudah sangat beda dengan jamannya dulu. Dia bilang kasihan melihat sang anak selalu gelisah ketika mendapatkan tugas dan si anak tidak bisa mengerjakan, sementara dia tak lagi bisa membantu.
Sampai di sini aku bisa menangkap arah pembicaraannya, dan siap menjawab. Tapi, aku memilih terus menunggu sampai dia bicara sendiri maksudnya mendatangiku. Dan, akhirnya dia bicara juga.
Dia meminta tolong padaku untuk mengajari sang anak, alias dia meminta aku untuk menjadi guru les. Aku sih nggak keberatan, hanya saja aku tidak bisa langsung mengiyakan karena ini bukan tentang aku dan ibunya, tetapi lebih tentang sang anak. Kalau dia tidak keberatan dan mengerti dengan caraku mengajari, oke saja. Semua tergantung pada si anak. Karenanya, aku memintanya lebih dulu bertanya pada sang anak dan melakukan sekali uji coba untuk tahu apakah si anak menyukaiku atau malah pulang dengan kepala makin pusing.
Keesokan sorenya, si anak datang padaku dengan setumpuk PR matematika yang sejujurnya tidak juga mudah buatku. Apalagi, materi matematika itu dulu aku dapatkan di bangku SMP. Di bangku SD aku boleh jago matematika, tapi ketika melewati materi SMP yang lumayan berat bersamaan dengan datangnya masa pancaroba (ABG), semuanya pernah membuat ibuku uring-uringan juga. Meski ibuku berusaha membuatku pintar matematika dengan memintakan les secara khusus pada sang guru, aku lebih suka kabur. “Hangout” ke rumah teman, rujakan atau sekedar bersepeda keliling dari satu rumah ke rumah teman lain.
Hmm, begitulah jadinya. Meski di akhir tahun, ujianku menunjukkan hasil yang lumayan, tetap saja aku tidak bisa berteman dengan matematika. Alias, susyah bangets…!
Tapi, demi membuat otakku yang mulai sering lupa ini tetap terjaga, aku mencoba sekuat tenaga untuk mengerti materi yang ada dan membantu sang anak. Tugas terberat sebenarnya bukan memahami materi, tetapi ada pada mendapatkan cara menjelaskan pada si anaklah hingga membuatnya mengerti.
Matematika katanya tentang logika. Dan, berlogika dengan anak bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi caraku berlogika (menjelaskan rumus), ternyata berbeda dengan sang guru di sekolah. Itupun aku tahu setelah si anak bingung, katanya penjelasanku terlalu panjang. Tapi, waktu aku meminta dia menjelaskan materi yang sudah diberikan oleh sang guru, diapun tidak terlalu paham.
Akhirnya, daripada sama-sama bingung, aku memilih menjelaskan materi dengan caraku. Karena kalau aku saja bingung untuk memahami, bagaimana bisa aku menjelaskan? Untungnya, setelah beberapa kali latihan dengan PR, si anak mengerti juga.
Tugasku, sementara ini berjalan dengan sukses. Aku ikut senang. Setidaknya si anak tidak pulang dengan kepala pusing lagi, bisa tidur dengan tenang untuk mengumpulkan energi. Esok pagi, dia harus berjibaku lagi dengan tugas yang lain.
Melihat si anak pulang dengan semangat baru, si ibu datang kembali dan memintaku untuk terus menjadi guru les. Dia senang karena si anak merasa cocok dengan caraku mengajar sehingga tidak pusing mencari guru les lagi.
Aku sebenarnya melihat ini sebagai peluang fund rising-ku untuk membeli buku-buku baru. Sudah lama aku tidak membeli buku baru, setidaknya satu novel. Apalagi aku juga mendengar kabar, beberapa anak di kompleks ini juga mengalami hal yang sama. Pusing mencari guru les.
Tapi, demi kebaikan semuanya, aku memilih tidak menerima upah dari usahaku membantu sang anak. Bagaimanapun, aku tidak bisa menjanjikan waktuku akan selalu ada. Komitmen membantu aku punya, tapi untuk terikat dengan waktu seperti yang mereka inginkan aku belum bisa. Dan, alasan lain yang amat penting: menghindari konflik horizontal yang sangat mungkin terjadi. Seorang tetangga akan dengan senang hati “menghujat” usaha cari uang yang aku lakukan jika aku menerima upah. Ya, meski upah itu hakku, dan walaupun kedengkian itu bukanlah tanggungjawabku, tetap saja akan sangat menggangguku. Aku tidak punya mental selebritis yang harus menerima kenyataan bahwa hidupnya adalah konsumsi publik. Aku yakin, rejeki datang dalam bentuk lain dan lebih “soft” tanpa menimbulkan “kehebohan”.
Adalah sebuah kenyataan bahwa niat baik seseorang tidak selalu diterima dengan baik pula. Lagipula, aku sedang melakukan apa yang aku suka dan aku mau. Bukan yang mereka suka dan mau. Aku ingin melakukan ini tanpa beban, ataupun takut protes dari sang ibu. Dan, adalah niatku untuk menjadikan ini sebagai ladang kebaikan yang mudah-mudahan menular kepada yang lain. Amin!
Jadi, mendadak guru…tak ada salahnya…!
No comments:
Post a Comment