Apr 2, 2009

Dari sebuah kotak berjalan....

Hari Senin telah tiba kembali setelah enam hari menghilang. Aku memilih mengisinya dengan mencari sembuh.

Kotak yang aku naiki, mulai berjalan perlahan. Mereka bilang ini kereta. Mungkin. Tapi yang kurasakan ini hanyalah kotak yang tengah berjalan, berisi manusia-manusia egois. Tak mau memberi duduk pada mereka yang lebih membutuhkan. Sudah menjadi suratan kah ketika yang duduk itu para pemuda, dan yang berdiri di atas kaki yang gemetar adalah para sepuh? Huh! Aku mulai merasakan sebal. Mana para petugas itu? Tempat duduk prioritas untuk para sepuh dan hamil telah penuh dengan pemuda gagah, yang duduk nyaman terkantuk-kantuk... Di dalam kotak ini, aku tak merasakan hidup.

Kotak panjang yang aku naiki telah sampai di stasiun tujuanku. Aku turun, dan mulai bernapas lega. Kehidupan sudah nampak. Seorang penjual makanan tengah bercengkrama dengan pembelinya. Mereka tertawa. Aku merasa sedikit hidup..

Melangkah menapaki jalanan. Mencoba menemukan hidup yang lain.
Lelaki kurus itu tengah menengadahkan topinya yang lusuh, mengharap seseorang yang tengah melewatinya, sepertiku, memberinya sedikit uang. Untuk makan, mungkin.
Aku memandanginya sejenak. Wajahnya yang kuyu sedikit menggangguku. Tidak, aku tidak mau tertipu wajah memelas itu...
Aku memalingkan muka, dan kembali berjalan.
Tapi, sesuatu membuatku menoleh lagi padanya.
Apakah aku telah kehilangan hidup? Mungkin. Aku telah menolak merasa kasihan padanya.
Aku melangkah lebih jauh lagi darinya. Lebih cepat...!

Kotak lain telah menungguku. Tak perlu menunggu lama, kotak itu telah membawaku semakin pergi menjauh.
Tapi mengapa tubuhku terasa berlubang? Kosong...
dan dari benakku, wajah pengemis itu tak mau pergi.

Kotak yang kunaiki berhenti sebentar di persimpangan. Dua roda yang berjubelan dan saling serobot tak menarik perhatianku. BOsan...

Di sebuah sudut gang di seberang jalan, tiba-tiba muncul sesosok yang berjalan terseok. Di pundaknya menggantung tiga buah kasur lipat yang membuat langkahnya makin gemetar. Di dekat warung kecil langkahnya terhenti. Disandarkannya beban itu pada pagar tembok, lalu mengambil napas. Topi yang menutupi kepalanya lepas tertiup angin. Dug! Dadaku semakin berlubang. Wajah keriputnya nampak semakin nyata.
Napasnya yang memburu tak tertutupi oleh bajunya yang tipis.
Sejenak, matanya tertuju pada warung kecil reot di dekatnya. Dengan langkah tertatih, kakek tua itu mencoba menawarkan kasur dagangannya pada pengunjung warung. Sayang, dia menggeleng. Padahal aku sangat berharap dia bisa membantu mengurangi bebannya.
Si ibu pemilik warung menatapnya iba, dan mulai mendekati si kakek. Tapi, entah apa yang di bicarakannya, tapi yang aku lihat Si Ibu tak dapat membantunya.
Dia hanya bisa menawarinya minum segelas air putih. Tapi nampaknya itu cukup membuat kakek senang. Dengan wajah tersenyum, kakek melanjutkan langkahnya. Mungkin mencari pembeli di tempat lain.

Lubang di dadaku semakin lebar. Aku mengutuk kotak berjalan ini yang tak bisa berhenti di sembarang tempat seperti kotak yang lain. Kalau tidak, mungkin aku bisa berbuat sesuatu untuknya...

Perlahan, lubang itu terisi sesuatu yang membuatku merasa sakit. Dadaku terasa sesak dan berat. Aku tak lagi mampu berdiri.

Aku terpekur.
Apakah aku telah hidup? Apakah aku mampu hidup?
Apakah aku mampu membantu yang lain tetap hidup?

Tuhan, tolong hamba...!