Apr 18, 2007

Modern dan Primitif, apa bedanya?

Manusia primitif, jutaan tahun lalu, mencari makan dengan melemparkan batu pada calon mangsanya agar mati dan bisa segera dimakan. Kata para ahli, mereka melakukan itu karena hanya itulah yang terpikir oleh para nenek moyang manusia. Dagingpun mereka makan mentah-mentah, sampai suatu hari (entah bagaimana ceritanya) mereka menemukan alat yang lebih modern seperti kapak batu, lalu besi dan seterusnya. Mereka selain melakukan itu untuk mendapatkan makanan, mereka melempar batu juga demi mempertahankan hidupnya dari predator lain alias senjata.

Jaman dulu, mungkin, kalau tidak memakan ya bisa jadi dimakan. Maklum, rantai makanan kan masih sangat seimbang. Hukum alam masih berlaku untuk siapa atau apa saja. Kalau menang bertarung, lawan bisa jadi santapan. Ya, meski mereka mungkin dulu tidak berpikir untuk mempertahankan diri, yang jelas perilaku itu muncul karena terdorong rasa lapar. Satu perilaku yang sangat “reasonable”: melempar (alat pembunuh) untuk mendapatkan makanan.

Lalu masa berganti, menjadi lebih modern. Batu tak lagi menjadi satu-satunya andalan. Manusia mulai membuat tombak. Itu terjadi karena manusia butuh berburu makanan, dan mungkin karena mereka tahu calon makanan akan mati lebih cepat dengan cara di tombak. Satu hal penting lagi: melempar (plus sedikit teknologi) untuk mendapatkan makanan.

Kemudian manusia mulai bisa berhitung abad. Di Yunani, perilaku primitif (melempar) sedikit berubah fungsi dengan di mulainya apa yang disebut dengan olimpiade. Di sana, batu yang sebelumnya berfungsi untuk melempar mangsa sedikit “dimodifikasi” menjadi lomba lempar cakram, dan lempar lembing. Tapi, aromanya tetaplah sama, “melestarikan” cara nenek moyang melempar sesuatu untuk mendapatkan makanan yang kali ini bisa berupa prestise.

Lalu, jaman beralih ke masa perang dunia. Manusia makin pandai membuat sesuatu yang memudahkan hidupnya. Di jaman ini, manusia makin gencar melemparkan sesuatu yang sangat kecil tetapi membuat ribuan orang mati dalam sekejap. Apa itu? Tentu kita tidak asing dengan apa yang disebut granat, bom bahkan bom atom. Untuk apa semua itu dilakkan? Untuk memenangkan perang. Perang untuk apa? Untuk memastikan bahwa manusia (di negara tertentu) yang menang tidak akan kelaparan. Masih sama kan?

Lalu sekarang, jamannya jaman edan. Maksudnya, segala hal yang ada di dunia harus selalu masuk akal tetapi tidak masuk nurani. Berarti jaman ini sudah berbeda? Belum tentu. Mungkin dari bidang lempar-melempar (dengan menggunakan fisik), semua yang sudah disebutkan di atas masih tetap ada karena atletik resmi dan atletik jalanan masih sering dijumpai. Tapi, sesuai kata ahli lagi, manusia modern akan semakin tak mengaktifkan fisik melainkan mengaktifkan otak. Fisik manusia akan semakin lemah. Karenanya, manusia modern lebih membutuhkan barang yang lebih ringan untuk dibawa kemanapun, tetapi sangat efektif untuk mendapatkan makanan. Sekali lempar itu barang, makanan akan datang dengan sendirinya. Apa itu? Benar sekali, barang itu adalah uang. Uang logam saja sudah hampir berlalu karena berat. Sekarang makin beredar uang plastik yang ringan, tapi tak gampang sobek.

Tapi, tahukah anda bahwa untuk mendapatkan barang itu, manusia modern masih tetap harus ahli melempar? Lihatlah di TV atau koran, begitu banyak orang yang melakukan ketrampilan itu sejak jaman primitif. Sepertinya itu sudah jadi sifat pembawaan manusia.
Kita pasti nggak asing dengan istilah lempar omongan tak bermutu-sekedar cari sensasi, atau lempar tanggung jawab. Atau bahkan, lempar batu sembunyi tangan. Untuk apa manusia modern melakukan itu? Apa lagi...kalau bukan untuk membuat periuk makanannya aman.

Sama saja kan?

Orang boleh bilang jaman modern identik dengan keberadaan manusia modern yang (katanya) berpikir dengan logis. Tapi, kita masih menjumpai banyak manusia yang benar-benar primitif, lebih primitif dari manusia yang melempar batu untuk makan.

Tidak percaya? Coba simak yang berikut ini.

Apakah bukan manusia super primitif namanya, jika di jaman sekarang masih saja melempar sampah seenaknya atau bahkan main lempar ke selokan atau kali bahkan sungai yang sebenarnya bisa menghindarkan kita dari banjir. Padahal kita juga sering mengeluh, banjir juga membawa banyak penyakit!

Lalu, pelajar yang saling melempar batu untuk saling melukai. Begitukah pelajar? Padahal mereka telah dan sedang dididik untuk menjadi manusia tak primitif. Atau, itu karena kurikulum pendidikan kita memang masih primitif?

Suporter bola yang tidak pernah lepas dari ritual melempar. Kalau tak kena di hati, mereka melempar cacian. Kalau tidak puas hanya dengan mencaci, mereka akan mulai melemparkan dan melempari benda-benda di sekelilingnya. Sampai babak belur kalau perlu. Tidak peduli dengan penderitaan orang lain.

Terus, ada juga manusia yang entah dari mana asalnya tiba-tiba melempar batu ke arah kereta api yang sedang melaju dan banyak penumpang di dalamnya. Apa ya yanga da dibenaknya? Mungkinkah kereta dianggap ular naga yang sedang melaju dan mengancam jiwanya, lalu berlaku seperti nenek moyangnya? Sampai sekarang aku tak tahu alasannya karena meurutku yang ini, aduh....primitif banget...!

Sebenarnya, kalau mau lebih jeli lagi, masih banyak tingkah manusia modern yang super duper primitif! Coba aja....mungkin anda akan menemukan lebih banyak dari saya.

Saya sudahi dulu episode melemparnya. Capek juga, ngomongin sesuatu yang nggak ada bagus-bagusnya....! Maaf kalau tadinya ada yang merasa modern jadi terhina. Habis, biar jaman sudah beda, manusianya ternyata sama saja (primitifnya)...

Apr 7, 2007

Si Buta Yang (Juga) Manusia

Ngomongin soal “komunitas” kereta sebenarnya membosankan. Tapi, kalau dinikmati ya…menyenangkan juga. Banyak sisi-sisi yang tidak bisa kita dapatkan di lingkungan rumah atau kantor sekalipun. Ya, tinggal memilih. Sisi buruk banyak, sisi baikpun ada. Kejadian lucu juga ada, itu jika kita beruntung!

Yang berikut, menurutku kejadian lucu tapi buat sebagian orang mungkin menyebalkan. Begini ceritanya:
Siang menjelang sore hari itu, sudah banyak penumpang menunggu di jalur lima dan enam. Jalur lima menuju Jakarta, dan jalur enam menuju Bogor. Keluh kesah semakin kencang didengungkan dari mulut penumpang. Sudah satu jam menunggu, tak satupun kereta yang datang menjemput. Hanya satu kereta ekspress yang lewat dengan angkuh, meninggalkan debu yang mengepul.

Semakin lama, dan semakin sore penumpang akan semakin penuh. Tapi penumpang masih harus bersabar. Kereta yang datang malah arah Jakarta di jalur lima. Beberapa penumpang turun, dan naik. Dari dalam kereta itu muncul seorang laki-laki buta yang turun tergopoh. Dia adalah pengemis yang biasa meminta-minta di kereta. Tangannya mencari-cari pegangan, sedangkan tongkat yang biasa digunakan untuk menjejak jalan sudah dilipat dan diselipkan di ketiak. Untung seorang pedagang minuman berbaik hati membimbingnya turun. Banyak penumpang yang menghadap ke jalur lima berwajah terharu, jatuh kasihan terhadap wajahnya yang ketakutan. Dia mungkin takut terbawa kereta karena tak bisa turun.

Setelah Si Buta turun, semua “penonton” adegan itu terlihat lega. Tapi si buta belum beranjak dari sisi kereta. Entah apa yang ditunggunya. Beberapa menit berlalu, kereta itu belum bergerak karena menunggu sinyal hijau menyala. Tak dinyana, si buta tiba-tiba bergerak mendekati kereta di saat kereta hendak berangkat lagi menuju Jakarta. Seorang bapak di sebelahku berteriak histeris mengingatkan si buta. Dan seorang ibu yang kebetulan lewat, menarik si buta ke pinggir sambil menunjukkan ekspresi khawatir. Si ibu menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya Allah…hati-hati dong….!”katanya keras-keras pada si buta.
Si buta terdiam. Tapi setelah kereta benar-benar telah meninggalkan jalur lima, si buta mulai merangsek lagi ke pinggir rel. Tingginya “tebing” dan jalur membuat sebagain orang hendak bergerak kembali untuk mencegahnya jatuh. Tapi Bapak yang di sebelahku memilih meneriakinya lagi.
“Awas, itu bukan tempat turun. Geser ke kanan lagi...!”
Tapi Si buta tidak beranjak dari sana. Dia loloskan tongkat yang sedari tadi dikempit di ketiak. Dengan tongkat itu dia mulai menjejak, meraba-raba pinggir rel. Setelah yakin dia berada di pinggir rel, dia mengempit lagi tongkatnya. Semua mata memandang ke pada si buta, berharap dia tidak berulah dan membahayakan diri lagi.

Tiba-tiba seorang pedagang minuman dari jalur empat yang berseberangan dengan jalur lima mulai tertawa-tawa sambil menunjuk-nunjuk arah di buta. Serempak kami menoleh ke arah si buta lagi. Dan,..Oh,oh!
Si buta sedang melepas celana dan memuntahkan hajatnya di depan banyak orang. Air seninya mengucur deras menimpa rel. Seorang gadis calon penumpang kereta ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ada di jalur empat terlambat memalingkan muka. Wajahnya nampak merah padam.

Tapi si buta nampak tak peduli.

Aku sendiri memang memalingkan muka, tapi melihat ekspresi wajah si buta setelah menunaikan hasratnya itu jelas aku tahu. Wajah itu adalah wajah penuh kelegaan.

Yang aku tak habis pikir, kenapa dia memilih pinggir rel sebagai “toilet”nya? Apakah itu diajarkan oleh orangtuanya? Atau dia “melihat” orang lain yang tidak buta juga melakukan hal yang sama: menganggap stasiun sebagai tempat sampah, meludah bahkan kencing? Apakah dia tak pernah mengenal toilet (sebenarnya)? Atau hanya alami (insting) semata: bahwa posisi yang lebih tinggi membuatnya “mungkin” untuk membuang hajat?

Tapi, kenapa aku begitu peduli ya? Harus aku akui, sebenarnya untuk apa aku repot-repot mencoba memahami ulah si buta. Jelas dia lebih “reasonable” ketimbang manusia yang tidak buta. Coba pikir, dia toh tak perlu malu dilihat orang (saat kencing tadi), karena dia tidak bisa melihat orang lain yang melihatnya. Sedangkan, orang yang tidak buta saja pura-pura buta kok! Mereka bahkan melihat (menganggap) tembok, balik pohon, bahkan pantat mobil sebagai toilet.

Kalau di pikir lagi, tingkah siapa yang harus lebih di khawatirkan? Si Buta atau yang tidak buta tapi pura-pura buta?

Tapi satu yang aku tahu pasti, si buta (dan bukan buta) pasti akan tunduk atas desakan biologis. Itu kan karena kita manusia dan,.…Si Buta juga manusia!