Apr 27, 2011

Tak berhak kecewa..

Awalnya, fesbuklah yang mempertemukan kami. Saling bertukar kabar, foto, dan celotehan di komentar status, rupanya ada perasaan tak puas. Kami ingin bertemu, lalu bersepakat bertemu di rumah teman yang terdekat. Mungkin bukan yang terdekat, tetapi dia yang mengundang lebih dulu, kami menghormatinya. Mumpung seorang dari kami yang sebenarnya tinggal di luar Jawa sedang bersekolah belum mendekati masa akhir. Begitulah akhirnya, setelah sekitar sepuluh tahun tak bertemu selepas kuliah, kami bertemu untuk melepas rindu. Tak ada perjamuan  istimewa. Hanya perasaan senang setelah penasaran akan rupa kami masing-masing terjawab.

Celoteh lucu kami disaksikan anak-anak dari kawanku. Mungkin ada perasaan jengah dari anak-anak mereka, kok emak-emakku rame sekali, ya? hehehe..

Tak sampai satu jam kami pamit pulang. Ini lantaran satu dari kawanku (yang dari dulu tetep mungil tetapi anaknya telah 5!), adalah business woman, sehingga waktu sangatlah penting. Banyak deal yang harus dilakukan. Dengan perut buncit (waktu itu masih mengandung anak ke-5), setiap hari dia mondar-mandir Bekasi-Jakarta, bahkan sampai Bandung. Wuah..salut berat aku jadinya.

Satu kawanku, yang sedang menempuh pendidikan S2 membookingku untuk menjadi fotografernya saat wisuda nanti. Mudah-mudahan aku bisa. Maklum, kameraku masih apa adanya. Dan, meski sebagian teman memuji hasil jepretanku, aku masih belum pede benar. Kami berpisah di jalan, dan berjanji bertemu kembali suatu hari di toko baju anak milik temanku yang pebisnis itu. Diam-diam, aku kepincut juga dengan tawaran kerjasama (menjual baju branded) dengannya. Apa salahnya aku coba.

Ketika sampai dirumah, aku tiba-tiba teringat kembali akan percakapanku dengan kawan-kawan lamaku itu. Ada dunia yang sedang terbalik. Aku dulu mengagumi teman yang rumahnya jadi tempat reuni kilat itu. Di angkatanku, dialah dulu yang paling cemerlang. Cantik, pandai pula. Indeks prestasinya tak pernah mengecewakan. Berbeda denganku yang apa adanya, segala-galanya. Ku pikir, betapa cerah masa depannya. Dia akan menjadi wanita karier yang sukses. Tetapi, ada rasa kecewa di sutu hati. Yang kujumpai adalah berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang kubyangkan. Apa pasal? Pertama, dia tidak bertahan di tempat kerja hanya karena konflik kecil, dan dia tidak terlibat langsung di dalamnya. Dua, ketika hendak melanjutkan kuliah ke jenjang S2 dia memutuskan tidak melanjutkannya karena harus melakukan penelitian di hutan. Tiga, memilih menjadi ibu rumah tangga tanpa ingin beraktifitas lain yang mengayakan dirinya. Setiap kali ku baca statusnya atau komentarnya di fesbuk, semakin kecewa ku rasakan. Kemanakah kepandaiannya masa lalu?

Dan, aku tak sendiri. Temanku yang berjumpa dengannya pun demikian. Dengan rasa menyesal akhirnya kami mengakui, bahwa kepandaian di sekolah formal dengan nilai mata pelajaran yang bagus tidaklah menjadi ukuran mutlak kesuksesan masa depan. Tapi, apa sebenarnya ukuran sukses? Jika dia merasa baik-baik saja dengan hidupnya, kurasa dia telah merasa sukses. Sukses membesarkan anak-anaknya.

Bagaimanapun, itu adalah keputusannya sendiri. Dibuatnya secara sadar. Dan, dia nampak bahagia dengan keputusannya itu. Kenapa kami yang begitu keberatan? Seakan tak rela kepandaiannya hilang lenyap. Tapi, mungkin saja kami keliru. Bisa saja kepandaiannya itu hanya berubah bentuk. Yang lebih baik, lebih mulia. Kami cuma tak tahu saja.Lagi pula, aku juga memilih hal yang sama, menjadi ibu rumah tangga. Tentu saja aku tak boleh kecewa. Seperti halnya pada dirinya.

8 comments:

  1. ayuk...! maaf baru di respon, lagi ribet sama urusan lain..hehehe..

    ReplyDelete
  2. seperti temanku, dulu dia pinter banget tapi akhirnya memilih jadi ibu rumah tangga saja dan dia menikmatinya. yah, kita harus menghormati pilihan dia toh.

    ReplyDelete
  3. wah,sebenarnya kepandaian itu gak mesti harus bekerja disuatu temapt yang wuahhh...malah saya salut ama teman Novi,susah loh jadi ibu rumah tangga,dimana gajarin dan mendidik anak dengan benar

    ReplyDelete
  4. Sang Cerpenis, iya...betul sekali! Mungkin aku hanya shock melihat orang yang aku kagumi pilihannya berbeda dengan yang aku bayangkan. tapi, ku pikir-pikir lagi, sepertinya aku salah. Pilihan hidup ada pada diri tiap-tiap orang. dan, yang paling penting dia nampak bahagia. Aku senang untuknya.

    ReplyDelete
  5. I-one, yup. Kesulitannya double. Banyak yang meremehkan profesi ini.

    ReplyDelete
  6. Iya mbak...bingung juga kalo dipikir...kita tidak pernah sama memaknai keadaan dan kenyataan..."sawang sinawang", melihat sisi yang mungkin sama tapi penuh makna berbeda...memang rasanya kebahagiaan tak bisa distandarisasi :)

    ReplyDelete
  7. "sawang sinawang" kudune nganggo sangu "kacamata", ben ora tansah meri karo kabegjane liyan. Gitu kan? Meskipun secara tersirat aku merasakan ada "kejenuhan" dan dia kesulitan mengekspresikan diri karena takut melangkah. Dan dia memilih berada dalam zona aman.

    ReplyDelete