Nov 30, 2007

A Heartbreaking Gift

Sebuah kado special dan tak akan terlupakan seumur hidup, aku terima tepat di hari ulang tahunku.

Sore kemarin, Dewi adik iparku dengan panic menelpon dan memberi kabar bahwa bapak belum juga pulang. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 wib. Tidak biasanya bapak belum pulang hingga sesore itu. Apalagi beliau pamitan hanya pergi ke puskesmas di Cilebut, yang jaraknya maksimal 30 menit naik angkot. Paling lama akan memakan waktu sampai jam 11 siang. Dan seharusnya tak sampai jam 11 karena bapak sudah berangkat ke puskesmas sejak pukul enam pagi.

Aku ikut merasakan kepanikan Dewi. Bagaimanapun, tinggal bapak satu-satunya orang tua tumpuan kasih sayangnya, setelah belum genap seratus hari emak pergi. Tapi aku tak mau makin membuatnya sedih kalau aku ikutan panic. Walaupun dalam hati dan pikiran aku sangatlah kalut. Biar saja ada yang menyangka aku tak punya hati, melihatku tetap tenang dalam situasi begitu. Aku lebih suka berpikir dulu, mencari setidaknya jawaban untuk pikiranku agar hatiku tak terlalu banyak mendapat porsi perhatianku. Biar saja pikiran kemana-mana, menduga-duga, mengira-ngira segala sesuatu yang masuk akal. Daripada hanya bisa sedih, lalu tak bisa berbuat apa-apa.

Aku tak mengatakan bahwa aku sebenarnya sangat takut adanya kemungkinan terburuk akan tiba. Bapak sudah tua, umurnya sudah 85 tahun. Banyak sebab yang bisa membuat bapak terluka. Selain penglihatan yang mulai rabun, bapak mulai kehilangan pendengaran. Pikiranku mengatakan, bisa saja bapak terluka atau bahkan sesuatu yang lebih gawat saat menyeberang rel kereta karena “keisengannya” berbelanja makanan kesukaannya di pasar dekat stasiun.

Karenanya, saat naik angkot dan kereta ke bojong, aku pasang telinga baik-baik. Mungkin saja aku bisa mendapatkan sebuah informasi, jika ada sebuah peristiwa terjadi antara Bojong gede – Cilebut.

Aku tahu bapak belum pikun, karena selalu tahu jalan pulang. Jadi, sekuat apapun pikiranku mencoba mengelak dengan berbagai pikiran”manis”, aku semakin terseret dalam kekhawatiran. Hati kecilku terus berteriak: pasti ada sesuatu yang terjadi dengan bapak. Tapi jika harus mencari, kemana kaki harus kulangkahkan? Ke puskesmas? Tidak mungkin, jam 12 siang mereka sudah tutup, dan jika ada sesuatu mereka pasti sudah menghubungi keluarga karena bapak selalu membawa KTP saat berobat. Bagaimana jika bapak pergi ke Bogor selesai berobat? Jika ada sesuatu di sana, bagaimana harus menemukannya? Perang batin ramai berkecamuk. Pikiran buruk dan doa saling berkejaran.

Lalu ditambah dengan rasa berdosa karena aku sebagai anak merasa gagal menyenangkan orang tua. Padahal itu jadi misi utamaku sejak emak pergi dan aku merasa belum pernah membahagiakan hatinya. Mungkin juga pernah menyakitinya tanpa sempat termaafkan.
Tapi aku terus berusaha selalu berharap yang terbaik, karena itu tak pernah salah, dan karena itu adalah doa. Siapa pula manusia yang mengharapkan sesuatu yang buruk terjadi pada diri atau keluarga sendiri? Kecuali dia sudah sinting!
Tapi jika itu harus terjadi, benarkah aku telah siap?

Ternyata tidak! Semakin larut, mulutku semakin rajin menggumamkan kekesalan, pengharapan, doa, dan kesedihan. Kesal pada bapak yang teramat keras kepala, selalu merasa masih bertubuh kuat seperti masa muda dulu. Segala sesuatunya ingin dikerjakan sendiri, malu jika meminta bantuan. Tapi lebih kesal lagi pada diri sendiri yang kurang keras kemauan untuk menemani bapak. Yang menyakitkan hati adalah, aku hanya bisa berdoa mengharapkan yang terbaik. Dan sedih yang ku rasakan karena sebenarnya hari ini aku dan suami plus beberapa teman dan murid ingin membuat bapak senang dengan acara bakar ayam di rumah bapak. Kalau biasanya di Cilebut, dan kali ini memilih di Bojong, semata-mata karena ingin berbagi kegembiraan.

Tapi, memang kali ini menjadi sebuah penanda bagiku. Aku mendapatkan teguran dari Allah, karena kemarin aku merasa segalanya “aman-aman” saja. Ternyata, masih banyak kekurangan pada diriku. Aku harus lebih baik, lebih perhatian pada keluarga, lebih segalanya.

Setelah menunggu tanpa kepastian, menjelang pukul sembilan malam, kabar itu datang. Bapak ditemukan di sebuah tempat yang bukan merupakan jalur bapak biasa pulang pergi (cukup jauh dari rumah dan stasiun). Bapak, ditemukan orang tercebur ke dalam sungai yang “untungnya” sedang surut. Itupun jika tak ada tetangga bapak yang kebetulan lewat di tempat kejadian, tak seorangpun mengenal bapak. Dan jarak waktu terjatuh dan ditemukan tetangga setidaknya tiga jam.

Bapak pulang dengan tubuh menggigil dan membiru. Luka terbuka di sekujur tubuh dan perban teramat lebar di kepala sungguh mengejutkan dan memilukan. Saat Bapak pergi, tak sedikitpun luka di tubuhnya. Baju yang dipakainyapun bukan kemeja bapak lagi. Katanya itu dipinjamkan oleh seorang ibu yang menolong dan iba kepadanya.

Apa yang telah terjadi pada bapak?

Bapak pulang dengan trauma di wajahnya. Pertolongan yang kami berikan selalu ditepisnya. Gerakan tangannya menggapai seperti hendak berteriak minta tolong. Dan suara-suara yang keluar dari mulutnya tak bisa kami mengerti. Mungkin mengaduh, atau ingin mengadu. Kami hanya bisa tergopoh bertanya apa yang sakit dan apa yang terjadi.

Bapak pulang, dengan tanpa mengenali kami lagi. Tubuhnya limbung, dan sinar matanya linglung. Dewi dan Kakak tak bisa membendung air matanya. Aku? Sebenarnya aku ingin menangis meraung-raung, ingin mencaci siapa pun orang yang tega melakukan ini pada bapak. Aku ingin dia merasakan apa yang bapak rasakan. Aku ingin meneriakkan di teliganya: “bapak sudah tua, kenapa kamu tega melakukannya?”

Beberapa orang “pahlawan” kami hari itu juga bertutur, saksi mata kejadian itu sempat melihat bapak berdiam lama di bawah pohon dekat jembatan sebelum akhirnya berjalan menyeberang jembatan. Bahkan mereka berpikir bapak bukan orang waras, karena bajunya berangkap empat, dua diantaranya baju seragam anak SD. Bapak juga terlihat menenteng dua bungkusan, yang setelah terjatuhnya bapak, bungkusan itu tak terlihat lagi.

Mereka juga bilang, terkaget-kaget waktu menyaksikan tubuh bapak sudah penuh luka saat diangkat dari sungai. Malah bapak sempat menolak diangkat dari sungai. Bapak lebih memilih berjalan perlahan sambil berpegangan sempadan kali, melewati bawah jembatan.

Ya, Tuhan! Betapa perih dan sakitnya hatiku. Tak terbayang betapa menderitanya bapak melalui semua itu. Dengan tubuh penuh luka, limbung, lalu bapak pulang sendiri tanpa seorangpun menemani. Dengan baju bertumpuk-tumpuk, berdiam di bawah pohon karena (mungkin, menurutku) bapak merasa pusing dan sakit kepala, malah disangka orang gila. Yang membuatku semakin sakit, kata mereka bapak masih tergolong beruntung karena sungainya waktu itu sedang surut. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi, mungkin selamanya kami akan mencari.

Dengan menguatkan hati, kami berusaha memberikan yang terbaik saat itu. Kami menyelimutinya rapat-rapat, agar dingin yang menyekap tubuhnya segera pergi. Tapi luka-luka di kepala dan di tangannya, membuat kami tak berhenti menduga-duga apa yang telah terjadi?

Jika luka itu akibat pukulan penganiayaan, tak ada lebam lain di sekujur tubuhnya. Jika orang itu bermaksud jahat pada bapak, untuk apa bapak diobati? Beberapa orang lain mengatakan bapak sempat terlihat di bawa oleh dua orang berkendara sepeda motor ke sebuah klinik. Mungkinkah bapak korban tabrak lari, dan diantar berobat oleh penolongnya?

Bungkusan kantong plastic yang dibawa pulang, adalah empat baju yang dipakainya sekaligus dan basah karena terjatuh di sungai. Di saku celana, tak ada lagi dompet bapak.
Dan, kemana baju bapak? Apakah dua kantong yang ditentengnya itu adalah baju bapak? Kenapa bapak ada di tempat itu? Kemana saja sebenarnya bapak pergi?

Setelah di telusuri ke lokasi bapak terjatuh, dan warung tempat bapak di tolong, makin banyak keterangan yang membingungkan. Ada yang mengatakan sempat melihat bapak di stasiun Bojonggede, bahkan ada pula yang melihat bapak hampir tertabrak sedan. Tetapi sebuah petunjuk datang saat mendatangi tempat bapak berdiam, ada beberapa bungkus obat yang menurut saksi itu punya bapak. Tapi benarkah ini semua obat yang diminum oleh bapak? Sebanyak ini?

Tak lama Pak Mantri datang memeriksa. Melihat kondisi bapak, beliau menyarankan untuk di bawa ke rumah sakit sesegera mungkin. Takut luka di kepala itu akibat benturan. Apalagi lukanya berada di bagian kepala belakang yang biasanya menimbulkan cedera (gegar) otak. Dan setelah ditunjukkan obat-obat yang ditemukan, beliau makin yakin itu obat yang diberikan setelah kejadian karena ada penghilang mual, penahan sakit, dan antibiotic.

Kami termangu sampai Pak Mantri pulang…

Tiba-tiba aku tertarik bungkusan obat penahan sakit yang sudah “hilang” enam buah kapsulnya. Aku jadi berpikir, jangan-jangan kejadianya pagi hari saat bapak pergi ke puskemas atau setelahnya. Karena, jika dosis yang diberikan adalah 3 x 2 kapsul/hari, dan bapak sudah meminum 6 tablet/kapsul, berarti jatah untuk sehari telah terpenuhi.

Apalagi yang bisa membuat kami bisa membela diri sebagai anak yang baik? Dari pagi hingga malam, kami “membiarkan” bapak terkapar sendirian tanpa seorangpun menyadari. Kami semua sibuk urusan sendiri! Padahal dulu, bapak bekerja untuk kami. Semua hal tentang kami bapak peduli.

Hari ini aku menangis pilu. Waktu itu aku juga menangis, merasakan kepedihan kehilangan kasih sayang ibu yang pergi karena sakit. Tapi ternyata, tangis penyesalan jauh lebih menyakitkan daripada sakit karena kehilangan. Kata “Andai saja, waktu itu....” menjadi sembilu yang mengiris hati, lebih pedih ketimbang kata “selamat tinggal…”

Aku benar-benar menangis. Biar saja orang mengatakan, semua sudah terjadi tak perlu di sesali. Aku tak peduli. Sesal yang menyesaki dada ini adalah milikku. Aku yang merasakan. Di mataku pula bayangan bapak yang kesakitan dan menderita terus menghantui. Ku biarkan saja kata “andai saja..” itu terus mengganggu pikiran dan hatiku. Tak apa-apa. Itu hukuman yang pantas untukku. Jika itu bisa membuat bapak kembali sehat, aku rela. Aku akan “menikmati” sesal ini sampai kerelung jiwa agar aku tetap mengerti rasanya. Agar nanti aku tak mengulang lagi, dan menemukan sesal yang sama.

Tuhan, ampunkan hamba yang lalai menjaga bapak….. kami tak pantas mengaku cinta pada bapak dan Engkau. Berikan kami ajaran ayat-ayat cintaMu, agar kami bisa belajar mencintai dengan lebih tulus dan ikhlas. Terimakasih atas teguranMu, bagi kami ini wujud cintaMU.

Sekarang, ijinkan kami merawat bapak sebaik-baiknya. Berikan kami kesempatan untuk membahagiakan bapak. Jangan biarkan kepala kami menggeleng untuk bapak, jangan biarkan mata kami tertutup untuk bapak. Biarkan tangan kami terus menggandeng dan menjaganya. Tolong sembuhkan bapak. Biarkan Bapak kembali melihat wajah kami yang akan terus tersenyum untuknya.

Tuhan….berikan bapak kesembuhan, dan kekuatan. Hanya dia pemersatu kami saat ini. Kami akan terus menyayanginya. Kami akan selalu datang untuknya. Kami ingin bapak hadir di tengah-tengah kami. Tertawa bahagia, seperti dan lebih baik dari hari-hari sebelumnya.

Tuhan, kuatkanlah juga hati kami. Agar bapak kami tak lagi mendapatkan kesedihan karena kami, anak-anaknya yang dicintai.

Amien Ya Rabbal Alamien…..!

Minggu, 25 November 2007

No comments:

Post a Comment