Ngomongin soal “komunitas” kereta sebenarnya membosankan. Tapi, kalau dinikmati ya…menyenangkan juga. Banyak sisi-sisi yang tidak bisa kita dapatkan di lingkungan rumah atau kantor sekalipun. Ya, tinggal memilih. Sisi buruk banyak, sisi baikpun ada. Kejadian lucu juga ada, itu jika kita beruntung!
Yang berikut, menurutku kejadian lucu tapi buat sebagian orang mungkin menyebalkan. Begini ceritanya:
Siang menjelang sore hari itu, sudah banyak penumpang menunggu di jalur lima dan enam. Jalur lima menuju Jakarta, dan jalur enam menuju Bogor. Keluh kesah semakin kencang didengungkan dari mulut penumpang. Sudah satu jam menunggu, tak satupun kereta yang datang menjemput. Hanya satu kereta ekspress yang lewat dengan angkuh, meninggalkan debu yang mengepul.
Semakin lama, dan semakin sore penumpang akan semakin penuh. Tapi penumpang masih harus bersabar. Kereta yang datang malah arah Jakarta di jalur lima. Beberapa penumpang turun, dan naik. Dari dalam kereta itu muncul seorang laki-laki buta yang turun tergopoh. Dia adalah pengemis yang biasa meminta-minta di kereta. Tangannya mencari-cari pegangan, sedangkan tongkat yang biasa digunakan untuk menjejak jalan sudah dilipat dan diselipkan di ketiak. Untung seorang pedagang minuman berbaik hati membimbingnya turun. Banyak penumpang yang menghadap ke jalur lima berwajah terharu, jatuh kasihan terhadap wajahnya yang ketakutan. Dia mungkin takut terbawa kereta karena tak bisa turun.
Setelah Si Buta turun, semua “penonton” adegan itu terlihat lega. Tapi si buta belum beranjak dari sisi kereta. Entah apa yang ditunggunya. Beberapa menit berlalu, kereta itu belum bergerak karena menunggu sinyal hijau menyala. Tak dinyana, si buta tiba-tiba bergerak mendekati kereta di saat kereta hendak berangkat lagi menuju Jakarta. Seorang bapak di sebelahku berteriak histeris mengingatkan si buta. Dan seorang ibu yang kebetulan lewat, menarik si buta ke pinggir sambil menunjukkan ekspresi khawatir. Si ibu menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya Allah…hati-hati dong….!”katanya keras-keras pada si buta.
Si buta terdiam. Tapi setelah kereta benar-benar telah meninggalkan jalur lima, si buta mulai merangsek lagi ke pinggir rel. Tingginya “tebing” dan jalur membuat sebagain orang hendak bergerak kembali untuk mencegahnya jatuh. Tapi Bapak yang di sebelahku memilih meneriakinya lagi.
“Awas, itu bukan tempat turun. Geser ke kanan lagi...!”
Tapi Si buta tidak beranjak dari sana. Dia loloskan tongkat yang sedari tadi dikempit di ketiak. Dengan tongkat itu dia mulai menjejak, meraba-raba pinggir rel. Setelah yakin dia berada di pinggir rel, dia mengempit lagi tongkatnya. Semua mata memandang ke pada si buta, berharap dia tidak berulah dan membahayakan diri lagi.
Tiba-tiba seorang pedagang minuman dari jalur empat yang berseberangan dengan jalur lima mulai tertawa-tawa sambil menunjuk-nunjuk arah di buta. Serempak kami menoleh ke arah si buta lagi. Dan,..Oh,oh!
Si buta sedang melepas celana dan memuntahkan hajatnya di depan banyak orang. Air seninya mengucur deras menimpa rel. Seorang gadis calon penumpang kereta ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ada di jalur empat terlambat memalingkan muka. Wajahnya nampak merah padam.
Tapi si buta nampak tak peduli.
Aku sendiri memang memalingkan muka, tapi melihat ekspresi wajah si buta setelah menunaikan hasratnya itu jelas aku tahu. Wajah itu adalah wajah penuh kelegaan.
Yang aku tak habis pikir, kenapa dia memilih pinggir rel sebagai “toilet”nya? Apakah itu diajarkan oleh orangtuanya? Atau dia “melihat” orang lain yang tidak buta juga melakukan hal yang sama: menganggap stasiun sebagai tempat sampah, meludah bahkan kencing? Apakah dia tak pernah mengenal toilet (sebenarnya)? Atau hanya alami (insting) semata: bahwa posisi yang lebih tinggi membuatnya “mungkin” untuk membuang hajat?
Tapi, kenapa aku begitu peduli ya? Harus aku akui, sebenarnya untuk apa aku repot-repot mencoba memahami ulah si buta. Jelas dia lebih “reasonable” ketimbang manusia yang tidak buta. Coba pikir, dia toh tak perlu malu dilihat orang (saat kencing tadi), karena dia tidak bisa melihat orang lain yang melihatnya. Sedangkan, orang yang tidak buta saja pura-pura buta kok! Mereka bahkan melihat (menganggap) tembok, balik pohon, bahkan pantat mobil sebagai toilet.
Kalau di pikir lagi, tingkah siapa yang harus lebih di khawatirkan? Si Buta atau yang tidak buta tapi pura-pura buta?
Tapi satu yang aku tahu pasti, si buta (dan bukan buta) pasti akan tunduk atas desakan biologis. Itu kan karena kita manusia dan,.…Si Buta juga manusia!
No comments:
Post a Comment