Apr 16, 2010

Buka Mata






















Cilebut, malam hari.

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas menit, ketika kami (saya dan suami) sampai di pintu perlintasan kereta tak resmi menuju rumah. Jalan ini biasa kami pilih karena merupakan jalur terdekat meski, hanya berupa gang kecil yang hanya cukup untuk satu motor.Gang ini biasa di sebut gang Marhadi.
Melihat motor kami hendak melintas, sang penjaga pintu keluar dari pos berupa gubuk dan memberikan aba-aba dengan gerakan tangannya agar kami terus saja melintas. Dalam kepekatan malam yang mencoba ditembus lampu neon, padangan saya dengan segera menangkap sosok yang saya kenal.Penjaga pintu kereta itu adalah seorang nenek yang berpakaian sederhana, dengan rambut memutih yang tersembul dari kerudung yang diukel sekenanya.

Nenek Amah namanya. Rumahnya tak jauh dari pintu perlintasan ini. Kami sudah kenal sejak pindah rumah ke Cilebut. Seketika menimbulkan kembali niat untuk mengetahui lebih detil kehidupan sang nenek. Akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti dan sedikit berbincang.

“Kok, sendirian nek?” tanyaku. Ini kutanyakan karena beberapa kali melihat nenek “beraksi” macam ini ditemani beberapa orang.

“Ah, siapa yang mau nemenin nenek?”tanya nenek balik.

“Lho, biasanya kan ada yang nemenin?”

“Nggak, nenek biasa sendiri. Gantiin Anim, kalau dia sudah pulang,”timpal Nenek lagi.
Aku tak melanjutkan pertanyaan lagi walaupun tahu beberapa kali melihat nenek tidak sendirian. Aku menduga, teman di pos jaga hanya ingin nongkrong, tidak untuk sengaja menemani nenek “bertugas”.Maklum, rumah kontrakan yang berderet dekat pos terjepit jalan raya dan rel kereta. Jadi, ketika ingin “ngadem” tapi tak punya beranda atau halaman belakang, ke pos jaga lah larinya. Bisajadi kan? Apalagi di siang hari banyak juga yang nogkrong di pos ini.

Yang aku tahu, meskimalam telah larut dan kereta yang membawa penumpang tinggal sisa, nenek tetap mau mengambil alih pekerjaan menantunya Ujang, dan tetangganya Anim, demi sekedar mengharapkan “sisa” kebaikan pelintas rel malam hari.Karenaesok, nenek harus tetap makan. Dia tak mau bergantung pada anak dan menantunya yang penghasilannya hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di siang hari nenek tak tinggal diam.Nenek biasa mencari nafkah dengan cara mencari dan menjual daun pisang pada siapa saja yang memerlukan. Atau, menjual tenaganya dengan mengisikan kapuk pada kasur milik tetangga. Apapun, semampunya.

Hening terpecahkan oleh sorot lampu dari arah Selatan.Dari Stasiun Cilebut, kereta ekonomi bergerak menuju Stasiun Bogor.Beberapa motor yang tadinya tertahan palang pintu,kembali bisa melintas sambil memandangi kami yang tengah asyik memotret.Sayang, mereka lupa tak menaruh uang dalam kaleng yang diletakkan di pangkal palang pintu itu.Tapi, bukankah memang tak ada kewajiban atau aturan tertulis? Uang untuk penjaga hanya bergantung pada “kesadaran” pengguna gang dan perlintasan saja.

Cara nenek memperjuangan hidup, membuatku tertarik untuk menemui nenek di rumahnya besok pagi.
“Besok pagi ada di rumah, nek?”tanyaku ragu.
“Iya, ada!” jawab nenek lugas.Aku lega sekaligus tertegun. Tak terlihat di wajahnya sebuah keraguan, atau pertanyaan “untuk apa atau mau ngapain?”. Kalimat itu yang sering aku tanyakan kepada orang yang hendak silaturahmi ke rumahku. Maklum, sebagian besar orang tidak mengunjungi rumahku tanpa tujuan tertentu. Jadi, otomatis saja keluar dari pikiranku. Ah, aku jadi malu sendiri. Kalimat yang sudah aku siapkan untuk menjawab “pertanyaan” yang tidak ditanyakan oleh nenek seketika menjadi lenyap begitu saja dari otakku.

Sebagai tanda terimakasih, saat pamit kuselipkan sedikit uang ke tangan nenek. Nenek tersenyum dan berucap terimakasih.

Pagi

Dari deretan rumah sangat sederhana di pinggiran sungaiKalibaru yang curam di bibir jalan ruas Kebon Pedes – Cilebut – Bojonggede, “tergantunglah” rumah milik nenek.Mengapa tergantung? Betapa tidak, rumah nenek berada di atas tebing sungai yang sangat curam, bahkan bisa dikatakan tegak lurus. Sewaktu-waktu air hujan bisa menggerus dinding sungai, dan menghanyutkan apapun di atasnya. Bayangan buruk ini bukan tidak mustahil. Sepanjang jalan dari Jalan Baru hingga Bojonggede, banyak sisi jalan yang berbibir tebing sungai telah mengalami longsor dan sangat membahayakan pengguna jalan.Mungkin, rumah nenek sedikit “beruntung”, karena ditopang rumpun bambu dibelakangnya.

Tapi sesungguhnya, jika tak jeli, rumah nenek ini mungkin tak terlihat sebagai rumah karena lebih menyerupai bilik, dengan dinding campuran potongan triplek, seng dan bambu berukuran 3x 3 meter. Letaknya paling ujung dari deretan, dan menempel pada rumah anak bungsunya yang juga berdinding bambu. Rumah ini hanya terdiri dari dua ruangan saja. Satu ruang lagi diisi tempat tidur dan penampung air beserta sedikit perabotan, satu ruang kecil lain adalah dapur dengan tungkunya.

Saat aku kunjungi, Nenek tak terlihat sedang memasak apapun di dapur nan kecil itu. Tak ada asap dari tungku. Abu bekas kayu bakarpun nampak telah dingin. Hanya dua ekor anak ayam di cat warna –warni yang menjadi piaraannya, asyik bermandi abu dari tungku.

Di rumah nan mungil itu, hanya ada sarana yang sangat sederhana. Satu-satunya penerangan miliknya adalah bohlam yang ada tepat di tengah ruangan. Itupun hanya bisa dinyalakan dari rumah sang anak. Di atap rumah, ada talangberkarat yang diselipkan di bawah genting untuk menampung air hujan. Talang itu disambungkan dengan corong dan selang plastik untuk mengalirkan air ke dalam tampungan di dalam rumah. Airhujan yang tertampung digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti mencuci perabotan dan membersihkan diri ketika malam hari. Jika sedang tidak turun hujan, nenek terpaksa meminta air kepada tetangga. Salah satunya mengambil dari sumur di dalam kebun jati. Sedangkan untuk MCK, nenek biasa mengandalkan sungai Ciliwung yang jaraknya sekitar seratus meter dari rumahnya.

Rumah nenek juga tak berjarak dari pinggir jalan raya. Keluar dari pintu rumah, nenek sudah berhadapan dengan lalu lalang kendaraan yang semakin hari semakin ramai. Bukan tidak mungkin, setiap saat bahaya bisa menghampiri. Tapi, nenek tidak punya pilihan. Kehidupan anak-anaknya yang lain juga tidak lebih baik darinya. Dia lebih suka dekat anak bungsunya, yang memberikan satu cucu buah perkawinannya dengan Ujang, yang juga penjaga pintu perlintasan kereta.

Apakah bantuan pemerintah sudah pernah menyentuhnya? Saya tidak melihat jejaknya.

Cilebut, April 2010

No comments:

Post a Comment