Nov 16, 2007

Aku si Gerobak...

Aku masih saja teronggok di depan sebuah markas militer. Di sebelahku ada juga temanku. Bukan, bukan karena terkena razia lalu dilarang berjualan. Aku terpaksa begini karena sedang menunggu pemilikku datang. Sudah lebih dari setahun dia tak pernah menegokku. Yang aku dengar dari gerobak warung kopi sebelah-yang sering nguping dari pemiliknya, dia kini kerap di dera sakit. Tubuhnya semakin renta hingga si Angin begitu mudah mengoyak dan menembus kulitnya.
Ah, memang jahat si angin itu! Aku juga tak suka kepadanya.
Setiap melewatiku, tubuhku selalu di goncang-goncang seperti berharap kerudung dan kepalaku lepas. Setelah aku benar-benar menderita, si angin berlalu begitu saja.

Sebenarnya aku sangat berharap pemilikku akan membersihkan aku dari debu yang makin tebal menutupiku. Aku ingin bersolek lagi dan menemani gelak canda para pembeli yang cerewet. Aku rindu sapaan anak-anak muda yang sering lewat dan menyapa pemilikku dengan raungan motornya. Tapi aku juga sering merasa sebal dengan tingkah para anak muda itu yang sering memprotes minuman racikan pemilikku. Katanya kurang manis, atau esnya kurang banyak! Atau ketika mereka mengurangi hitungan satu botol, membuat si kakek, pemilikku merugi.

Kemana ya, si kakek? Bapak tentara teman ngobrolnya pun sering bertanya-tanya. Mungkin dia butuh semangat dari kakek. Atau dia kesepian karena tak ada lagi yang menemaninya berjaga. Kemarin lusa, dia mengunjungiku lagi berharap kakek muncul. Aku suka pada si bapak tentara ini, dia begitu menghormati si kakek meskipun kakek bukan seorang jenderal. Baginya, si kakek melebihi seorang jenderal. Seorang pejuang, adalah cikal bakal tentara, jadi wajib di hormati. Bahkan rasa hormat itu becampur kagum, dan haru karena ternyata perjuangannya tidak terhenti ketika Indonesia merdeka. Bahkan perjuangan yang makin berat ada dihadapannya. Di tahun-tahun berikutnya, si kakek berjuang sendiri untuk hidup keluarganya. Berjualan es menjadi pilihannya. Entah bagaimana mulanya.

Lalu, lahirlah aku! Aku seumur anaknya yang pertama. Akulah yang menjadi saksi perjuangan si kakek. Aku menemaninya melayani pembeli yang terus mengerubutiku. Ah, aku sering kewalahan melayani mereka. Tapi capekku menjadi hilang waktu si kakek (yang waktu itu masih muda) pulang dengan senyum bahagia. Hari itu, sepuluh anaknya bisa makan.

Dulu, kakek juga punya becak. Tapi Pak Gubernur membuatnya harus berpikir lagi dan berusaha lagi dari nol. Becak-becak itu tidak bisa dia selamatkan atau setidaknya dibawa pergi ke Tegal tempat nenek moyangnya.

Apa Pak Gubernur waktu itu hanya peduli mobil? Sampai-sampai becak-becak itu harus menjadi penghuni dasar laut?

Kasihan si kakek…
Aku tak boleh dan tak pernah mengeluh. Bahkan saat kakiku patah aku tak berhenti menemani berjualan. Aku tak pernah merasakan kesal, kakek perhatian sekali padaku. Selesai tugasku menemaninya, kakek akan membersihkan ku, seperti memandikan anak sendiri. Merapikan aku kembali sebelum beranjak pulang. Aku tidak takut ditinggal sendirian, karena esok pagi-pagi sekali kakek akan menjumpaiku lagi.

Tak terasa waktu telah berjalan berpuluh tahun. Di sebelahku telah berjajar penjual-penjual lain yang membawa teman lebih cantik dariku. Benda-benda penghiasnya juga cantik-cantik. Kadang aku sebal dengan mereka, ngiri juga mungkin. Mereka bilang kakek kuno, berjualan es masih pakai gelas kaca dan itu membuatku terlalu berat untuk di bawa-bawa. Sedangkan mereka selalu diajak berjalan-jalan di sepanjang gerbong kereta atau sekedar nongkrong di peron.

Tapi, apa benar itu yang membuat warung kakek semakin sepi?

Kata mereka lagi, minuman kakek juga kuno, warnanya cuma ada merah yang rasanya entah apa namanya. Kalau pemilik mereka, selalu menyediakan minuman yang berwarna-warni, rasa yang enak-enak dan nggak perlu ditunggui. Selesai minum, buang saja wadahnya.

Tapi kakek tetap maunya bikin sirop sendiri, dia nggak suka manis dari gula biang. Ah, dia memang peduli dengan pembelinya. Tapi apa, pembelinya nggak peduli tuh! Mereka bilang minuman kakek nggak praktis! Nggak bisa diminum sambil jalan. Lho, bukanya makan atau minum sambil jalan itu pamali? Tapi, memang pembeli sukanya begitu.

Makin sepilah warung kakek. Apalagi sejak kakek pindah ke Bogor. Selain bukanya jadi agak siang, kakek segera berbegas pulang begitu Ashar menjelang. Padahal kan, kakek pulang barengan orang-orang pulang dari kerja yang sangat mungkin butuh minum dan istirahat. Tempatku berdiri kan bagus, di bawah pohon rindang, dan nggak terlalu ramai kendaraan lalu lalang.

Tapi Kakek bilang, kalau kesorean, kereta akan terlalu penuh dan kakek tak kuat lagi berdesakan. Baiklah, aku mengerti. Lebih baik begitu daripada hari ini pulang terlalu malam, tapi keesokan harinya kakek tak datang.

Hari-hari kini semakin jarang kakek mengunjungi. Aku jadi semakin rindu masa-masa dulu sewaktu aku masih sering di dandani. Seorang bapak tentara betah menemani kakek bercengkrama berlama-lama. Kisah-kisah perjuangan kakek semasa perang kemerdekaan dulu kerap menjadi penyemangat si bapak tentara. Dia juga kerap membantu kakek ketika aku di guncang angin, atau membenahiku saat hujan mengguyur. Kakek memang masih sayang padaku.

Kemanakah gerangan kakek sekarang?

Tiba-tiba aku melihat kelebat anak lelaki si kakek. Dia menyapa bapak tentara yang kebetulan juga sedang menengok keadaanku. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Aku lihat raut wajah si bapak tentara terlihat kaget lalu sedih. Sejenak kemudian dia menyalami si anak kakek erat-erat. Anak lelaki kakek menengok sejenak ke arahku, lalu beranjak pergi dengan kepala tertunduk.

Aku jadi berpikiran buruk. Tidak…jangan…! Janganlah itu berarti sesuatu yang membuatku sedih. Apakah kakek…. pergi untuk selamanya? Tidak…..!

Si bapak tentara tiba-tiba bergegas berlari ke arahku. Dia mencoba membenahi kerudung di kepalaku yang akan lepas. Dia heran, padahal angin tak sedang lewat. Seorang teman datang membantu, dan bertanya-tanya kenapa tiba-tiba kerudungku akan lepas.
Si bapak tentara cuma bisa menggelengkan kepala. Lalu dengan sedikit bercanda dia mengatakan mungkin aku sedang bersedih.

Memangnya kenapa, pak? Tanya teman si bapak itu lagi.
Karena isteri si kakek kemarin meninggal…..jawabnya. Si teman mengangguk-angguk seakan mengiyakan jawaban si bapak tentara.

Oh, itulah sebabnya. Aku ikut sedih untuk kakek. Setahuku kakek sangat mencintai isteri yang memberinya sepuluh anak itu. Kata kakek, isterinya itu sangat jujur dan pendiam. Dia juga isteri yang iklhas. Ah, pasti kakek merasa sangat kehilangan. Jangan kuatir kek, aku akan selalu ada untukmu. Janganlah lama-lama bersedih.

Tapi, apakah kakek akan tetap berjualan? Entahlah. Mudah-mudahan saja. Kakek tak pernah bisa berdiam lama. Mudah-mudahan kakek cepat pulih dari kesedihan, dan bersama-samaku lagi mengisi waktu.

Tapi, mungkin saja kakek takkan berjualan lagi dan berniat menjualku? Kalau demikian adanya, akulah yang akan merasa kesepian. Aku juga takut pemilikku yang baru tidak merawatku dengan baik.

Kek, kalau boleh memilih, aku ingin tetap bersama kakek. Semangat hidup kakek membuatku selalu gembira bersama kakek.

Tapi kalau kakek menginginkanku pergi, tak apa. Aku akan tetap mengenang kakek sebagai orang terhebat. Meski seumur hidup tak pernah diakui sebagai pejuang kemerdekaan, akulah yang mengakuimu sebagai pejuang terhebat. Anak-anakmu yang tumbuh menjadi generasi penerus yang penuh semangat, akan menjadi trophy penghargaanmu yang terbaik.

No comments:

Post a Comment