Di rumah sedang ada tamu, menginap sejak kemarin. Tak mungkin meninggalkan mereka (sepasang muda-mudi) di rumah tanpa ada si tuan rumah. Akhirnya suamiku yang menawarkan diri belanja sayuran dan lauk-pauk untuk beberapa hari kedepan. Maklumlah, rumahku tak dekat pasar, jadi sekali belanja sekaligus untuk tiga atau empat hari.
Jadilah suamiku berangkat. Tapi dia belanjanya sore hari, karena dari pagi hingga siang harinya dia harus pergi ke suatu tempat yang akan dijadikan lokasi acara ngumpul-ngumpul. Ya, okelah. Toh, untuk makan siang para tamu aku sudah siap dengan sayur dan lauknya.
Sore menjelang maghrib suamiku sudah sampai kembali di rumah. Di tangan sudah tertenteng sekantong belanjaan. Waktu aku periksa, cuma ada sebungkus taoge, sayur asem, dan dua bungkus ikan kecil-kecil yang dipindang. Sebenarnya aku pengen marah, kok dia hanya belanja itu? Tapi, karena di wajahnya membayang keletihan, juga sedikit kesal, aku memilih menyimpan rasa penasaranku dan kutumpahkan disaat yang tepat. Mungkin nanti, kalau para tamu sudah pulang. Tapi kenapa? Bukankah dia yang menawarkan diri belanja?
Duh, ternyata sore itu kekesalanku harus bertambah. Para tamu, menunda kepulangan mereka hingga esok hari. Bukan karena aku tak suka mereka kerasan di rumahku, tapi aku kebingungan karena tidak menyiapkan makan malam. Apalagi suami hanya belanja taoge dan ikan cuwek (sebutan ikan pindang kecil-kecil itu..).Dengan rasa malu, aku menawari mereka nasi goreng, mie instant, dan telur… Terpaksa aku melakukan itu karena waktu makan malam sudah tiba, dan tak ada makanan yang aku buat. Tapi, untungnya mereka menyadari posisi mereka yang bisa jadi merepotkan si tuan rumah. Jadi semuanya berjalan lancar. Ditambah, ada es krim yang jadi penutup di akhir makan malam yang bisa menutupi kekurangan menunya.
Akhirnya, malampun berlalu. Mereka pulang lebih pagi ketimbang suami berangkat kerja. Karena hari minggu kemarin sudah “lembur” suamiku boleh berangkat lebih siang dari biasanya. Di sela waktu itu, suamiku bercerita hal-hal yang seharusnya sudah aku ketahui sejak kemarin.
Sore itu, turun dari kereta suami menuju ke lapak penjual sayur langganan. Sayangnya sudah tutup. Akhirnya dia berpindah ke pedagang di sebelahnya dan mengalihkan perhatian pada setumpuk ikan pindang yang masih dibungkus kotak anyaman dari bamboo. Ikan-ikan itu nampak menggiurkan. Tapi, dia tidak jadi membeli ikan yang berukuran besar karena dia merasa selain harganya yang mahal, jumlahnya terlalu banyak untuk berdua. Selagi memilih-milih ikan, seorang perempuan paruh baya juga memilih ikan yang sama. Tapi perempuan itu memilih yang lebih besar. Setelah memutuskan ikan yang akan dibeli, suami menunjukkan itu ke pedagang agar di bungkus. Dia sudah membayangkan kelezatan ikan itu bila dimakan bersama sayur asem atau bening bayam.
Tiba-tiba si perempuan paruh baya menoleh ke suamiku dan mengatakan sesuatu yang menyakitkan bagi suamiku. “Eh, iya mas, itu mah cukup kalau untuk kasih makan kucing” kata perempuan itu dengan entengnya. Dari wajahnya tak terlihat si ibu berniat menghina makanan pilihan suamiku. Tapi tetap saja dia merasa terhina. Suamiku geram. “Bagaimana mungkin, makanan kesukaanku dikatakan untuk kucing”, katanya sambil mendengus keras.
Mendengar ceritanya, aku sebenarnya pengen tertawa. Tapi kok kasihan lihat eskpresi suamiku. Walaupun keluh kesah yang meluncur dari bibirnya soal ikan itu berhubungan dengan keadaan keuangan yang sedang krisis, entah mengapa makin membuat aku geli.
Sudut bibirku sungguh tak tahan menahan tarikan syaraf geli di dada dan seluruh tubuh.
Akhirnya, pertahananku jebol juga. Dengan penyesalan yang mendalam, aku harus menertawakan “kesialan” suamiku itu. Sungguh, betapa nyata adanya. Sesuatu yang kita sukai ternyata bagi orang lain tak pantas untuk dimakan. Mungkin bahkan untuk kucing yang teramat dicintai.
Ah, kubuang jauh-jauh saja rasa sedihnya. Yang penting kan gizinya, bukan harganya. Lagi pula, dalam empat hari saja berturut-turut makan daging (ayam, sapi atau kambing), dia pasti sudah mengeluh bosan dan minta kembali ke tempe/tahu, ikan asin, pindang dan lain-lain.
Dengan tetap menahan geli dan prihatin, aku mencoba menghiburnya. Aku juga mencoba meyakinkan bahwa pilihannya tidak salah. Untuk itulah kenapa si ikan dinamakan dengan “ikan cuwek”. Karena seseorang, se-ekor, atau sesuatu yang memilihnya untuk jadi santapan, harusnya “cuwek” saja mendengar komentar yang tidak menyenangkan seperti itu. Ikan itu toh bergizi, dan lezat. Mendengar perkataanku, kesal suamiku berangsur mereda. Bahkan sudah bisa tersenyum. Lama-lama dia bisa menerima “hinaan” itu dan menganggapnya sebagai guyonan.
Dan sejak itu, setiap aku memasak ikan cuwek untuk lauk makan, suamiku selalu berkomentar ”mana nasi kucingku..!”
No comments:
Post a Comment