Jan 7, 2009

Mendadak Guru 2

Assalaamualaikum….!

Suara melengking dari seorang bocah sudah amat aku kenal. Sudah hampir tiga bulan ini dia jadi muridku. Aku yang hampir tertidur di depan televisi sedikit kaget. O iya, aku hampir lupa! Sekarang kan hari rabu, jadwalku memberikan les. Mata pelajaran yang akan di bahas bisa apa saja, jadi aku tak mempersiapkan diri secara khusus. Kalau selasa kemarin sang murid minta les IPS dan Bahasa Inggris, hari ini pun mungkin tak beda. Sudah beberapa kali dia mengeluhkan IPS dan Bahasa Inggris yang selalu banyak tugas. Saking banyaknya, dia selalu datang dengan wajah panic. Sampai-sampai kamus yang seharusnya selalu dibawa untuk belajar selalu tertinggal di rumah. Begitu juga dengan peta dunia yang harus sering dia pelototi untuk menemukan sebuah selat atau pulau yang aku sendiri jarang atau tak pernah mendengarnya.

Syifa, muridku, sudah berdiri di depan pagar, menunggu aku persilakan masuk. Dia anak yang sopan, tidak pernah mau masuk sebelum aku membukakan pintu. Tapi itu juga karena dia tidak mau kucing peliharaannya ikutan masuk.

Pernah suatu ketika dia belajar dan si kucing ikutan masuk ke ruang tengah tempat belajar. Mungkin si kucing mengira diajak bermain ke tempat baru sehingga terus-terusan keluar masuk kamarku yang kebetulan terbuka...Aku jadi tak bisa konsentrasi karena khawatir barang-barangku berjatuhan. Sebentar-sebentar harus memburu si kucing untuk ditangkap dan di keluarkan. Aku tidak mungkin menutup pintu karena ruangan akan jadi pengap. Maklum, rumahku kecil.

Hari ini dia membawa tugas (PR) yang lagi-lagi teramat banyak. IPS dan bahasa Inggris lagi! Yang mengejutkanku, mata pelajaran IPS ini membahas peta dunia berserta Negara-negara yang ada di lima benua, pembagian wilayah Negara menjadi beberapa propinsi, batas territorial, Zona Ekonomi Eksklusif dan banyak lagi seperti tentang pemilu dengan tahap-tahapnya, fungsi tahapan dan lain-lain. Dan, sedikit sisipan tentang pelestarian kekayaan hayati (yang lagi-lagi tidak dimengerti artinya). Aku jadi tidak mengerti, untuk apa anak sekolah dasar harus mempelajari ini semua? Sementara pulau-pulau di Indonesia sudah teramat banyak untuk dipelajari. Belum lagi istilah-istilah yang terlalu banyak untuk dihafalkan. Dihafalkan? Ya, karena hal ini muridku jadi sering stress, dan uring-uringan. Rupanya sang guru tidak memberitahukan makna dari istilah-istilah itu, atau tidak sempat karena begitu banyaknya materi yang harus diberikan sebelum mereka menghadapi ujian nasional yang bersistem multiple choice.

Contohnya: pemilu terdiri atas beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemilu legislatif. Apa itu legislative? Syifa hanya menggeleng. Katanya itu tidak pernah di bahas sama bu guru! Kenapa? Kata bu guru itu untuk dihafalkan saja.

Selesai? Mungkin selesai untuk tugas bu guru (di sekolah), tetapi sebuah perjuangan panjang untuk sang murid untuk mengerti tentang hal-hal yang diajarkan. Dengan dorongan semangat yang tak boleh berhenti, akhirnya tugas Syifa selesai. Untuk hari ini…besok? Tak tahu lagi…

Beralih ke bahasa Inggris. Entah aku yang terlalu bodoh, atau pembuat soalnya (soal latihan) yang terlalu canggih, beberapa kali aku sempat kesulitan menemukan jawaban dari soal multiple choice. Jika dalam bab-bab sebelumnya telah diajarkan grammar tentang present tense, past tense, dan banyak lagi, dalam soal latihan hal tersebut tidak bisa sepenuhnya di terapkan. Menurutku, soal-soal latihan itu terlalu disederhanakan sehingga menjadi ambigu.

Apalagi ketika minggu berikutnya Syifa datang dengan PR baru, tetapi PR yang sebelumnya belum di bahas. Aku jadi sering kesal sendiri.

Tapi, sebagai guru (les) yang bijak, maklum harus membesarkan harapanku sendiri, aku tidak mau menunjukkan kekesalanku. Aku berusaha mengeluarkan kata-kata yang positif yang bisa memompa semangatnya belajar. Bagaimanapun, tugasnya di masa kini adalah belajar. Tetapi, dengan beban yang teramat banyak, lingkungan yang dia miliki harus pula memberi dukungan yang maksimal.

Padahal, sesekali aku ingin memberikan materi lain seperti perilaku yang positif terhadap lingkungan tanpa harus membuatnya terbebani. Tapi, niatku sering aku urungkan. Setelah seharian dia belajar (catatan: dia juga mendapatkan pelajaran tambahan sepulang sekolah selain hari selasa dan rabu), tentu membutuhkan istirahat atau sekedar refreshing dengan bermain bersama kucing kesayangannya.

Untung, kemarin ketika pelajaran IPS ada sedikit bahasan tentang manfaat hutan mangrove bagi kelestarian laut, aku bisa sedikit menyisipkan “pesan”. Awalnya dia tidak mengerti dengan penjelasan yang ada di buku, tapi dengan sedikit bantuan permainan dan “logika” , dia mengerti dengan baik.

Mungkin, aku memang harus bersabar. Termasuk dengan respon orangtuanya yang justru lebih banyak membunuh semangat si anak. Karya tulis mereka, tidak membuat sang ibu terkesan. Sekalinya berkunjung, dia minta padaku untuk menambah jam untuk matematika karena hasil ujian semester yang lalu tidak menggembirakan.

Mereka menginginkan aku setelah diujung waktu. Dan, aku harus mencari sedikit saja celah di otak sang anak dari pengaruh total (doktrin) Sang guru sekolah. Sungguh pekerjaan tak mudah. Setiap saat sang anak berpikir untuk menyelesaikan satu soal dalam waktu satu menit hingga tak menyadari bahwa gaya mengajarnya berbuah ”petaka”:

1.Gayaku yang menuliskan proses menjawab dengan detail sering menuai protes dari muridku, katanya terlalu lama. Karena dia bisa menjawab dengan lebih singkat.

2. Syifa langsung ”defend” dengan mengatakan ”bingung” ketika aku memberikan cara yang berbeda dengan sang guru, meskipun kali ini caraku lebih sederhana,

3. Ketika aku mencoba menerapkan cara sang guru ( 1 menit per 1 soal), banyak jawaban yang salah. Karena mencoba berpikir cepat, proses logisnya tidak terpikirkan dengan baik. Bahkan menghitung penambahan atau perkalian yang sederhana pun jadi salah.

Apa boleh buat, lagi-lagi aku harus bersabar. Setelah aku bandingkan dengan caraku yang lebih detail, tetapi hasilnya justeru benar, Syifa sedikit mengerti maksudku.

Ah, stressnya aku! Kalau begini terus, rasa-rasanya aku jadi lebih panik ketimbang si anak. Dengan sedikit bercanda aku bilang kepada suamiku ”kredibilitasku sedang di pertaruhkan”. Bagaimanapun, orang senang mencari kambing hitam. Mungkin saja, kambingnya kali ini adalah aku.

Ujian kelulusan sang anak sudah makin dekat. Dia harus bekerja keras, aku juga.

No comments:

Post a Comment