Mar 3, 2009

Rush Hour (1)


Pagi telah terbangun. Memanggil semua orang untuk meramaikan harinya. Meski setelah hujan semalaman menyisakan dingin, dan menawarkan kenikmatan bergelung di kasur, kewajiban telah memanggil.

Tak mau ketinggalan, kami juga bergegas mempersiapkan diri untuk beraktifitas seharian ini.Mandi, sarapan, dan berangkat. Kereta yang akan membawa kami ke Jakarta sebentar lagi lewat. Kami tak mau tertinggal. Meski kereta sering telat, kami tetap harus khawatir. Karena, jika tertinggal satu jadwal, sangat bisa jadi kereta berikutnya akan lebih telat dan penuh!

Sayang, karena terburu-buru, ponsel ku malah tertinggal. Apa boleh buat, setelah setengah jalan, motor kami putar balik menuju rumah.
Beberapa orang yang mengenal kami, menatap heran. Termasuk penjaga pintu kereta.
Kami cuma menjawab”biasa, ada yang tertinggal!”

Anehnya, meksi kami terburu-buru kami justeru lebih melihat orang lain lebih cemas. Ketika berpapasan, beberapa orang sudah menampakkan wajah bersungut. Berjalan cepat, tapi tak mau melihat ke depan. Mungkin karena jalanan yang becek dan licin, mereka takut terpeleset. Bisa makin telat nanti...

Satu yang menarik perhatianku. Seorang bapak yang berjalan tergesa, nampak sibuk dengan dagunya yang mulai ditumbuhi rambut kasar. Sambil melangkah, matanya awas menatap jalan yang akan dilalui. Tapi, tangannya sibuk menggerakkan alat pencukur rambut. Mulut dan pipinya nampak mencong sana-sini. Tanan kanan menggerakkan pencukur, tangan kiri meraba-raba kulit wajanya mencari bagian yang kasar.

Tadinya suamiku tak memperhatikan, karena cukup sibuk mengerem motor yang gamang menapaki jalanan licin. Tapi setelah aku bergumam”Ya, ampun....! Sampai segitunya....!” Dia jadi bertanya,”ada apa, sih?”
Dengan dagu yang aku gerakkan ke depan, aku menunjuk,”tuh!”
Senyum simpul segera tersembul dari bibir suamiku.
Dia menggeleng-nggelengkan kepala.
“Sesibuk apa sih pagi harinya? Sampai cukur jenggot saja tidak sempat! Kenapa tak menunggu sampai tiba di kantor? Di sana pasti kan ada toilet!”

Aku manggut-manggut saja mendengar komentar suamiku dan berpikir, iya ya....?
Aku memang tidak tahu seperti apa repotnya mencukur rambut di wajah, karena aku lebih sibuk membedakinya. Tapi, apa iya tidak bisa di tunda?

Tapi, mungkin juga mencukur rambut wajah itu jadi kebutuhan utama. Seperti halnya perempuan yang tidak rela pisah dari bedak dan lipstick. Bahkan mungkin rela sedikit terlambat daripada pergi kerja tanpa berdandan dulu.

Begitukah? Yah, namanya saja mengira-ngira....

Eh, tapi apa yang terjadi ya, jika sebelum sibuk berbedak kita harus lebih dulu mencukur rambut-rambut yang tumbuh di wajah?
Pasti akan butuh waktu yang lebih lama.
Bukan begitu, teman?

No comments:

Post a Comment