Mar 23, 2009

Rush Hour (2)

Terlalu Serius….!

Semakin sore, mendung semakin gelap. Angin juga semakin kencang menerpa. Untung masih ada jaket yang sedikit menghalau dingin yang mulai menusuk kulit.
Sudah setengah jam menunggu kereta yang akan membawaku kembali ke Bogor. Tapi, nampaknya aku masih harus menunggu lebih lama. Belum ada kereta yang lewat ke arah Jakarta, berarti belum boleh berharap akan ada kereta yang kembali ke Bogor.
Well, ini lagu lama…!

Pengen ngomel, rasanya percuma. Sudah jadi rahasia umum, bahwa negeri ini adalah negeri langka. Langka transportasi yang baik. Semua orang harus belomba menyelamatkan diri sendiri tanpa boleh berharap pada pemerintah. Sudah untung jika kali ini aku masih bisa duduk di bangku tunggu yang terbuat dari besi bekas rel. Meski keras dan dingin, lumayan untuk menyangga badan yang mulai kelelahan. Ya, di bilang lumayan karena di stasiun lain belum tentu bisa menemukan tempat duduk. Kalau tidak rusak, ya terpakai oleh pedagang.

Stasiun yang bernuansa pasar ini semakin penuh. Bangku yang tadinya masih lowong kini tak lagi tersisa. Sebagian bahkan harus berdiri. Dari arah Bogor, kereta akan lewat di jalur 5 menuju Jakarta. Penumpang berdiri dan bersiap. Tapi karena yang muncul adalah kereta ekonomi AC, sebagian penumpang urung berdiri. Mereka hanya memiliki tiket ekonomi biasa (banget).

Dengan wajah kecewa, mereka menatap kepergian kereta itu menuju stasiun berikutnya.
Aku menatap jam tangan, dan mulai menghitung. Jika kereta AC ekonomi baru menuju Jakarta Kota, setidaknya akan butuh waktu 45 menit untuk sampai kembali di stasiun ini.
Padahal, jangankan empat puluh lima menit lagi, lima belas menit lagi pun penumpang tak akan tertampung. Entah, apakah kereta yang tiba nanti bisa menyapu semuanya. Seperti yang sudah-sudah, bisa-bisa mendapatkan tempat untuk satu kaki saja sulit. Satu-satunya penghibur adalah harapan. Harapan akan adanya kereta balik – sebutan untuk kereta kosong yang baru keluar dari kandang dan langsung mengangkut penumpang menuju Bogor.

Setelah setengah jam, aku mulai lelah menghitung waktu dan berharap.
Karena jenuh, aku mulai mencari-cari pemandangan atau hal baru. Walaupun aku tahu itu sulit. Hampir setiap sudut stasiun ini sudah aku hafal, bahkan tempat para copet mangkal.
Pusing memperhatikan sekian banyak manusia, perhatianku teralih pada seorang bapak dan dua orang ibu setengah baya yang sudah duduk manis menunggu kereta ke arah Jakarta. Sama sepertiku, mereka mulai hilang kesabaran. Berkali-kali mengangkat lengan kirinya untuk melihat jam tangan.

Tiba-tiba wajah mereka sedikit berbinar. Di jalur 5 kembali masuk kereta menuju Jakarta. Sayang, lagi-lagi kereta ekonomi AC. Sejenak mereka saling bertatapan. Sejurus kemudian, entah siapa yang memulai, tiba-tiba mereka sudah bangun dari duduk dan masuk ke dalam kereta.

Giliranku yang terbengong. Lho, bukannya mereka tadi beli tiket kereta ekonomi biasa? Nekad banget....apa mereka tidak tahu sedang ada penertiban penumpang?
Belum habis aku bergumam, mereka turun dan kembali duduk ke tempat semula. Sambil bersungut-sungut mereka saling melempar komentar pedas.
”Ah, mereka terlalu serius....!”rutuk si Bapak. Sambil mendekap tas di dada, si bapak menatap para petugas dengan mata nanar. Tapi setelah membanting tubuhnya kembali ke bangku yang keras, si bapak diam. Sadar tingkahnya di perhatikan orang, si bapak pura-pura mengelus rambut yang disisir rapi. Mungkin untuk menutupi malu.
”Terlalu dibuat serius...” omel si Bapak lagi mencoba mentralkan situasi.
Sedangkan dua ibu yang turut naik hanya bisa sibuk beralasan (meski tak ada yang bertanya) mengapa mereka nekad melakukan itu.
”Habis, lama banget sih....!” ucap mereka hampir bebarengan.

Suasana semakin ”memanas” ketika yang kembali berhenti di stasiun ini dan akan menuju Jakarta adalah kereta ekonomi AC. Penumpang mulai gerah dengan ”ketidakadilan” ini. Beberapa orang mulai menyoraki petugas yang berada di belakang corong pengumuman.
Apalagi kereta menuju Bogor belum satupun lewat.

Tiba-tiba si Bapak, bangun dari duduknya dan mulai mengawasi pintu kereta yang terbuka. Di terlihat celingukan, seperti ada yang di cari. Sedikit demi sedikit, langkahnya mulai mendekati pintu. Dan, hup! Kakinya melangkah masuk dan langsung duduk manis di satu sudut. Ketika menyadari tidak ada petugas yang memergoki tingkahnya, wajahnya nampak lega. Pelan-pelan pintu tertutup kembali. Kereta berjalan membawa si bapak.
Tinggalah dua ibu tadi ribut sendiri. Iri dengan keberuntungan si bapak, dan menyesali kekurangnekatannya. Meski tak ada yang tahu, apakah si bapak bisa sampai tujuan tanpa ketahuan di stasiun berikutnya.

Kembali ke ceritaku sendiri.
Masih belum beruntung, sampai sepuluh menit kemudian. Kereta yang aku tunggu akhirnya datang juga. Meski telah terisi setengah penuh, aku tak mau menunggu lagi.
Berdiri tak apa, asal tidak mogok.

Kali ini aku bisa dibilang cukup beruntung. Setengah jam berdiri, seorang bapak memberiku duduk. Lumayan, sekedar mengurangi pegal di kaki.

Tiba-tiba aku teringat ucapan si Bapak nekad tadi.
Si bapak jelas tidak suka keinginanya naik kereta ekonomi AC di tolak petugas, walaupun memang jelas petugas yang benar. Tapi mengapa dia mengatakan itu ya?
Di mana letak terlalu seriusnya? Kalau keseriusan petugas “mengusir” penumpang gelap, itu sih sudah sewajarnya.
Atau, hanya karena tadinya boleh (bisa) numpang tanpa tiket yang benar (karena penegakan disiplin yang tak serius), dan sekarang di larang si Bapak jadi marah-marah? Lalu, menyebut petugas terlalu serius?

Menurutku, justeru para petugas belum serius menangani masalah transportasi massa ini.
Lhat saja, penumpang masih saja terbengkalai meski kewajiban membayar tiket sudah di penuhi. Ditambah dengan jadwal tidak pasti, sering mogok, rel rusak, sinyal rusak, bla..bla...
Apanya yang serius?

Aku juga telah lama menunggu hingga kepalaran dan kedinginan. Hak-hak ku sebagai konsumen benar-benar dilecehkan. Apakah perbakan harus selalu menunggu class action?

Lho, kok aku jadi terlalu serius? Ketularan si bapak tadi, nih....!

No comments:

Post a Comment