Mar 18, 2007

Ordinary People

Sudah pagi lagi! Capek akibat berdesakan di kereta kemarin belum pulih benar, sekarang aku harus mengulanginya lagi. Mungkin besok juga…

Aku jadi berpikir untuk minta ijin datang terlambat. Mudah-mudahan diijinkan, toh kerjaanku sudah aku selesaikan semua kemarin. Aku memang tak pernah suka menunda kerjaan, karena bisa menyita pikiran.

Ijin sudah turun. Si Bos bilang terlambat dikit boleh, asal aku tetap datang hari ini karena ada beberapa hal yang harus dibicarakan untuk pesiapan seminar besok. Aku sedikit lega. Setidaknya aku bisa memiliki waktu lebih banyak untuk sampai kantor. Dan itu berarti aku tidak harus memaksa naik kereta yang sudah penuh sesak. Aku bisa sedikit ambil waktu menunggu kereta berikutnya. Di atas jam delapan pagi nanti, kereta lumayan longgar.

Aku memilih duduk menunggu kereta berikutnya di dekat sebuah kios minuman. Si ibu penjual sedang sibuk menata barang yang akan di jual. Tumpukan roti dan panganan lain satu persatu di rapikan. Sesekali dia meneriaki anak lelakinya yang sedang asyik berlatih dengan grup ngamen-nya. Anak lelaki itu berseragam sekolah dasar, kelihatanya dia berumur 9 atau 10 tahun. Jam 8.15 dia masih belum masuk kelas? Apa dia membolos? Tapi setelah ku pikir lagi, SD di depan stasiun memang hanya ada tiga kelas, jadi mereka masuk bergantian.

Tiba-tiba datang seorang ibu dengan menggendong bayi. Aku sering melihatnya. Dia adalah seorang penyapu kereta. Maksudnya, dia menyapu lantai kereta atas kemauannya sendiri bukan atas perintah pihak PT KAI. Dengan berbekal sapu lidi atau berupa sabut tanpa gagang, si ibu menyapu lantai yang penuh dengan sampah penumpang dengan harapan mendapat imbalan dari penumpang.

Si ibu penyapu membeli air gelas yang dingin. Beberapa saat kemudian si ibu penjual dan penyapu terlibat percakapan yang “mengasyikkan” meskipun bagiku tidak. Bagiku lebih terasa menyedihkan.

“Loe sudah lama nggak kemari. Tumben sekarang nongol..!” kata si ibu penjual memulai perbincangan.
“Iya, kemarin baru pulang kampung” kata si ibu penyapu dengan logat Jawanya yang medhok. Sesekali mulutnya menyedot minuman. Dari wajahnya dia nampak menikmati betul air dingin itu.
Si ibu penjual memperhatikan bayi yang ada dalam gendongan si ibu penyapu. Dahinya sedikit berkerut.
“Ini anak baru? Baru nemu atau anak loe sendiri. Tapi pasti bukan anak loe, kan? Gue nggak pernah liat loe bunting. Dapet beli di mana? Berape duit loe beli? Anak yang kemarin dikemanain?”
Si ibu penjual menghujani si ibu penyapu dengan pertanyaan. Si ibu peyapu terlihat gugup, tapi coba di tutupinya dengan senyum.
Sekilas aku ingat, beberapa waktu lalu dia menyapu dengan menggendong anak perempuan yang berumur sekitar dua tahun. Si anak sering merengek minta belikan ini dan itu. Sekarang dia muncul lagi dengan anak yang berbeda.
Melihat si ibu penyapu tak bereaksi, si ibu penjual terlihat tidak puas. Lalu dia melancarkan pertanyaan lagi ke ibu penyapu.
“Yang umur segini, dapet nggak tiga ratus (ribu)?” tanya si ibu penjual tanpa basa-basi.
Aku yang mendengar pertanyaan itu sangatlah terkejut. Tapi herannya, si ibu penjual terlihat yakin sekali pertanyaannya itu tidak ngawur atau mengada-ngada. Dan si ibu penyapu sekali lagi hanya senyum-senyum saja.
Kemudian, si ibu penyapu beranjak pergi. Dia naik kereta arah Bogor yang baru saja berhenti.
Aku mengalihkan perhatian pada si ibu penjual. Dia terdengar masih membicarakan si ibu penyapu dan anak barunya dengan penjual bubur kacang hijau di sebelahnya.
“Ah, itu sih biasa….palingan juga si anak sebelumnya dia jual karena sudah ribet ngurusinnya. Anak umur dua tahunan kan sudah bisa ngrengek minta macem-macem! Sudah gitu nggak bisa di pakai buat nyari duit”
Si abang tukang bubur hanya manggut-manggut.
Lalu pembicaraan selesai. Semua sibuk kembali dengan urusan masing-masing.

Tinggal aku yang termangu. Sebelumnya aku sudah sering mendengar perihal jual beli anak, tapi tidak pernah senyata ini. Anak-anak dan bayi, terus berpindah tangan seperti barang yang hanya bisa pasrah menerima nasib. Ibarat selembar kertas, warnanya tak lagi putih penuh coretan kelabu hasil goresan orang tuanya. Hidupnya kini bukan untuk curahan kasih sayang, tapi untuk membuat “orang tuanya” kenyang.

Salah siapa, ini dosa siapa….? Lagu Ebiet yang terdengar sayup mengiringi pikiranku yang semakin jauh mengembara.

No comments:

Post a Comment