Mar 31, 2007

televisi, oh televisi...

Huruf di remote kontrol tv sudah hampir aus. Tapi aku belum bosan memencetnya. Aku masih berusaha berpindah channel untuk menemukan sesuatu yang menarik. Chanel satu, gosip. Chanel dua, gosip juga tapi pakai embel-embel investigasi. Chanel tiga, berita. Boleh juga! Tapi, keasyikanku menyimak tidak bertahan lama. Berita yang diturunkan sudah berulang kali aku saksikan, dan belum ada perkembangan baru. Sudah begitu, aku harus terus menahan gemas, kesal, marah, dan sebagainya. Aku hanya bisa mengeluh, negriku yang penuh dengan bencana inimasih juga di jejali manusia-manusia sampah yang bertebaran di mana-mana. Setiap saat, kehadiran mereka menghiasi layar kaca dengan senyum lebar, tanpa dosa. Padahal di perut dan kantongnya, penuh “jenazah” orang-orang yang dia tindas secara fisik maupun moral. Capek deh..!

Aku mencari lagi chanel yang masih menyajikan sesuatu yang menarik. Ada satu. Acara ini membahas tentang seluk beluk berbagai hidangan khas suatu daerah. Tapi tak ada resep yang bisa aku catat, karena memang hanya menampilkan makanan yang sudah matang lalu kita diberikan “wawasan” tentang rasa makanan itu. Enak, nyamleng, juara dan sebagainya….

Aku hanya bisa menelan ludah sambil mengelus dada, karena semua makanan itu hanya ada di angan-angan. Tidaklah salah kalau kemudian aku membayangkan betapa enaknya jadi pencicip di acara itu. Makan dan makan terus…. Tapi....bayar sendiri nggak ya?

Lalu, ada satu yang menggelitik pikiranku. Demi menampilkan berbagai makanan yang beragam untuk memenuhi selera pemirsa, sang juru pencicip hanya memakan sedikit sekali dari setiap menu yang dipilih. Kemanakah sisanya? Aku berharap makanan itu tidak terbuang percuma. Aku ngeri membayangkannya. Aku lebih suka membayangkan anak-anak kurang gizilah yang diajak untuk mencicipi makanan itu. Pasti takkan bersisa dan lebih berguna.

Selagi negeri ini masih banyak yang kekurangan gizi akibat tak mampu membeli makanan yang cukup, bahkan nasi akingpun mereka makan, apakah benar ini menjadi tawaran yang menggiurkan? Memang, untuk yang bosan dengan menu makan yang itu-itu saja tawaran seperti itu akan terasa sangat menyegarkan. Aku sendiri awalnya merasa amat tergiur dan “ngiler” membayangkan lezatnya makanan itu, dan berencana suatu saat aku akan datang ke restoran, atau tempat jajan itu untuk sekedar membuktikan.

Tapi, demi sebuah kebenaran, bukankah menu yang itu-itu saja dari dapur sendiri karena memang duitnya hanya cukup untuk jenis yang itu-itu saja?

Aku jadi berusaha keras untuk waras. Apakah aku akan tega menghabiskan uang belanja satu bulan hanya untuk sekali makan? Lalu akupun meng-hadapkan diri pada kebenaran yang lain. Bahwa, aku hanya bisa menelan ludah, dan sebuah kenyataan betapa keringnya kantong ini.

Tapi, aku tak boleh tak bersyukur. Dalam keterbatasan, aku harus mulai melihat dan meyakini bahwa, terlalu banyak yang manusia inginkan hingga lupa akan apa yang telah didapatkan. Toh, aku sudah memiliki yang aku butuhkan. Makanan, pakaian dan tempat tinggal semua telah ada. Jika aku menginginkan sesuatu, maka keinginan itu seharunya tidak memenjarakanku. Apalagi membuatku sedih, lalu merasa bagaikan tak punya apa-apa.

Televisi pun aku matikan. Nanti saja aku nyalakan lagi, setelah tugasku memasak telah selesai. Atau setelah aku benar-benar menemukan bahwa tv bagiku harus “hanya” sebagai hiburan dan sumber pengetahuan. Bukan penggoda iman semata….

No comments:

Post a Comment