Mar 3, 2007

Di Atas Kereta Bogor-Jakarta

Peralatan sound system, gitar, gendang, seruling, dan “kecrekan” sudah siap dimainkan. Berarti, aku yang duduk persis depan sound system, harus bersiap untuk tuli setidaknya lima menit kedepan sesuai durasi lagu. Aku sebenarnya bisa pindah ke gerbong lain, tapi karena aku mendapatkan tempat duduk dengan “perjuangan” dan perjalananku masih jauh – satu jam lagi- menuju Jakarta, aku pilih bertahan dan menutup kuping. Mungkin pandangan marah dari para pengamen akan tertuju padaku karena merasa terhina. Tapi sumpah, aku tidak bermaksud begitu. Aku tidak benci dangdut, karena aku sendiri tumbuh di lingkungan yang setiap hari akrab dengan musik ini.

Tapi aku memang tidak tahan dengan musik yang diputar terlalu keras. Kupingku terasa sakit. Gimana lagi, jika mereka tak memikirkan kuping dan perasaan orang lain, kenapa aku harus peduli dengan sikap mereka. Siapa lagi yang akan menyelamatkan kupingku dari ketulian jika bukan aku sendiri. Apalagi, kupingku yang sudah tertutup kerudung tak sanggup menerima dentuman gendang yang begitu keras.

Aku kenal sebagian dari mereka. Tidak kenal nama, tapi aku sering melihat mereka karena tempat tinggal mereka dekat dengan rumah mertua. Mereka masih muda. Lahir dan besar di Jakarta. Kehidupan Jakarta yang keras mungkin tak sanggup lagi mereka tahan, akhirnya mereka memilih menyingkir ke pinggir. Tanah dan rumah mereka jual, lalu dibelikan rumah lagi, motor untuk ngojek, dan sebagian sound system untuk ngamen. Hidup bisa mengalir kembali.

Selesai satu lagu, mereka pergi ke gerbong berikutnya. Aku bisa sedikit lega. Masih satu jam lagi aku harus terguncang di kereta ekonomi. Tapi angin yang menerobos kaca jendela yang pecah membuat aku ngantuk. Tas aku peluk dan mulai memejamkan mata.

Pluk! Tiba-tiba segepok pena jatuh ke pangkuan. Liam ribu saja, teriak si penjual sambil terus menjatuhkan kotak-kotak berisi pena ke setiap penumpang di gerbong ini. Karena aku tidak berminat, dan lagi pula aku juga berjualan barang seperti itu, aku memejamkan mata lagi.

Tidak lama kemudian, seseorang menepuk bahuku. Karcis, mbak! Dengan sigap aku keluarkan karcis yang sedari tadi aku kantongi. Tapi si bapak kondektur belum beranjak dari hadapanku setelah mengembalikan karcis yang sudah di bolongi. Rupanya dia menunggu si ibu sebelahku yang terlihat sibuk mencari-cari dalam tas kecilnya. Ah,rupanya dia bukan mencari karcis, tapi memungut uang seribuan. Lalu dua tangan bersentuhan, dan uang dalam genggaman si ibu telah berpindah. Lalu si bapak beranjak menjauh, menepuk bahu para penumpang untuk menanyakan karcis.

Aku berpaling kepada si ibu. Kenapa tidak beli karcis bu, tegurku. Dia cuma menjawab, ngga sempat! Dan aku tidak perlu banyak bertanya. Kejadian itu setiap hari aku saksikan dan seakan sudah menjadi ritual. Sudah biasa.....TST (tahu sama tahu) aja!

Aku tak mungkin memarahi mereka semua. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya menjelaskan kepada mereka bahwa dengan ‘membayar di atas” seperti itu sebenarnya kita sedang meniti celaka kita sendiri. Takkan pernah ada dana untuk memperbaiki kereta yang sudah semakin bobrok ini, dan suatu hari karena ketiadaan dana itu membuat kita harus menahan sakit karena celaka. Atau bahkan terbujur kaku “hanya” karena rel yang sudah lapuk tak sempat diganti. Setiap kali aku harus menaiki kereta ini, aku merasa sedang berjudi dengan nasib. Mudah-mudahan, tak ada sinyal yang rusak. Mudah-mudahan tak ada lagi sambungan listrik yang putus....
karena separuh dari penumpang kereta tak pernah membeli karcis!

1 comment: