Pagi buta
Hari masih begitu dini. Dengan dua taxi yang kami (aku, suamiku, dan dua orang teman) pesan semalam, menyusuri jalanan dan tol menuju Bandara Soekarno Hatta. Pesawat yang membawa kami ke Yogya akan berangkat pukul 8 pagi. Sedang perjalanan Bogor hingga Bandara Soekarno Hatta akan memakan waktu sekitar dua jam. Dengan pemandangan yang membosankan, kami memilih tidur, lumayan untuk melanjutkan mimpi yang terpenggal.
Di bandara, kami bertemu dengan dua teman lain Mbak Manda dan Mbak Mora yang akan menjadi host kami selama di Yogya. Sebenarnya Yogya bukanlah tempat yang asing lagi. Sangat mungkin jika ada waktu kami akan menyempatkan waktu berplesiran tanpa sang host. Tapi karena mereka membeli jasa kami, jadwal tentu mereka yang punya dan kami harus siap kapanpun mereka memerlukan.
Tapi tak apa. Mereka takkan mengikat kami seperti bocah yang sedang dihukum. Malah, seringkali mereka yang menawarkan kami untuk memilih kemana kami ingin pergi.
Pukul 9 pagi kami sampai di Bandara Adi Sucipto. Masih ada waktu tiga jam lagi untuk bertemu sang klien. Waktu luang ini tentu tak boleh disia-siakan. Besok selepas Ashar kami sudah harus kembali ke Jakarta. Sementara pagi hingga siang hari kami harus menjadi fasilitator kegiatan pembelajaran sains di sekolah yang akan kami kunjungi jam 12 nanti.
Jet lag? No way..!
Dan pucuk dicinta, ulam pun tiba. Alih-alih menuju hotel untuk check in, host kami mengajak langsung menuju Malioboro untuk mencari oleh-oleh. Kebayang kan, betapa waktu begitu berharga? Kami baru saja tiba dari Jakarta, bahkan baru saja kami tinggalkan satu jam yang lalu. Sekarang, kami berburu oleh-oleh untuk di bawa pulang! Seperti tidak ada waktu lagi? Memang! Kami tak ingin melewatkan waktu yang cuma beberapa waktu dengan berdiam diri di hotel. Rugi banget!
Selesai belanja pernak-pernik unik di Mirota, aku dan suamiku mengalihkan perhatian ke Pasar Beringharjo. Berharap mendapatkan baju batik murah untuk oleh-oleh. Tapi, baru sampai di pintu gerbang, kami tertarik dengan jejeran penjual pecel. Sayuran hijau nan segar itu menyihir mata dan mempengaruhi otak yang mengirim sinyal lapar ke perut. Tak ingin mendengar perut yang berisik, kami segera mencari bangku yang kosong dan memesan dua porsi pecel dengan lontong dan teh manis hangat. Hmmm…yummy!
Anda pasti berpikir, pecel di mana-mana ya sama! Anda benar, tapi juga salah! Bumbu boleh sama, tapi yang membedakan pecel Beringharjo dengan yang lainnya itu adalah sayurnya. Tidak kurang dari tujuh jenis sayuran siap menggoyang lidah. Ada bunga turi, selada air, kecipir, kenikir, daun singkong, kacang panjang dan kecambah (tauge pendek). Ditambah dengan pilihan lauk yang beragam. Ada tahu dan tempe bacem, ayam goreng, dan berbagai macam gorengan lain. Hanya dengan Rp. 7500, kami hampir tak kuat lagi berjalan karena kekenyangan. Akhirnya hanya sedikit waktu yang dapat kami luangkan untuk memburu baju batik. Dan, tak satupun baju kami dapatkan karena harus tawar menawar dan ngantri lama. Sementara dua host kami telah selesai belanja dan mengajak kami untuk segera bertemu dengan kepala sekolah, sang klien kami.
Dengan perut kenyang, percaya diri kembali menjulang. Bahkan tak terpikir di benak kami bahwa dua host kami ternyata kelaparan karena terlalu asyik bebelanja. Keegoisan kami langsung tertohok ketika setelah selesai urusan dengan klien mereka mengajak kami makan di warung gudheg yang amat terkenal di seputaran wilayah Kampus UGM. Lho, kok? Bagaimana tidak, mereka saja tidak segan mengajak makan lagi meski mereka tahu kita telah kenyang.
Tapi, tetap saja keserakahan berkuasa. Meski perut kenyang, kami tetap mau makan meski dengan separo porsi. Yang ini, tak kalah enak. Pantas, warungnya begitu ramai. Apalagi, di balik jendela kami bisa menikmati alunan lagu keroncong mendayu-dayu.
Ah kantuk, janganlah kau terlalu cepat datang! Momen ini terlalu sayang untuk dilewatkan.Tapi sungguh, kantuk begitu ganas menyerang. Karenanya, kami segera menuju hotel dan beristirahat sebentar.
Prambanan
Sebentar? Yup! Karena dua jam kemudian kami sudah berada di jalan menuju Candi Prambanan. Kami hendak menjemput malam di sana. Meski sebagian rusak karena gempa beberapa waktu lalu, dengan bermandi cahaya temaram keemasan, sore di candi Prambanan sangat eksotis.
Di gerbang keluar, banyak gadis menawarkan souvenir berupa gelang-gelang cantik dari kulit dan sangat murah. Tak ada tempat lain yang menawarkan souvenir dengan harga seribu bahkan kurang, selain di Yogya.
Dan, perjalanan yang asyik menjadi sempurna ketika petualangan hari ini di tutup dengan makan malam di Warung Cak Koting. Emm…seperti bukan panggilan nama orang Yogya, ya? Tapi tak apalah, ayam bakarnya memang enak. Sambalnya membuat kami seperti naga yang siap menyemburkan api dari mulut. Pedas!
Baiklah, sekarang tiba giliran tubuh mendapatkan istirahat dan kesegaran. Besok, masih ada tugas menunggu. Dan, juga petualangan lainnya…!
Tamansari
Hari telah berganti. Pukul delapan pagi kami bertugas hingga pukul satu siang. Lagi-lagi, demi menghemat waktu, kami langsung membawa seluruh barang yang kami punya ke dalam mobil. Kami tak perlu lagi membuang waktu kembali ke hotel, karena sisa waktu yang kami punya harus kami manfaatkan dengan baik. Kemana lagi sebaiknya pergi? Pukul 4 sore nanti, pesawat yang membawa kami ke Jakarta akan lepas landas.
Yang harus dipikirkan adalah, kami tak boleh memilih lokasi wisata yang jauh hingga membuang waktu di jalan. Akhirnya, pilihan kami jatuh pada Taman Sari yang masih dalam lingkup keraton.
Semangat! Meski Yogya panas menyengat, kami coba menikmati perjalanan ini. Menyusuri lorong-lorong yang pernah dinikmati oleh raja-raja di tanah Yogya ratusan tahun lalu. Membayangkan menjadi puteri yang cantik jelita, bersanding dengan pangeran yang gagah perkasa. Menikmati kesejukan kolam indah dengan air jernih mengalir deras. Membasuh dan membasahi kaki yang penat, mendinginkan kepala yang terpapar panas mentari. Di bagian lain, para seniman telah siap menyuguhkan tarian yang indah.
Ah, pandai sekali sang pemandu kami bertutur. Indah rangkaian katanya, mengukir imajinasi. Begitu cantikkah di masa lalu?
Yogya nan mempesona. Rasa-rasanya, berkali-kali pun kita kunjungi, Yogya tetap memikat. Mengikat hati untuk berjanji bahwa lain kali kita akan bersua kembali.
Pukul 16.30 (karena pesawat di delay) kami kembali ke Jakarta, untuk selanjutnya langsung ke Bogor.
36 jam di Yogya, seperti gerilya singkat sebuah perjuangan membuka gerbang kejayaan masa lalu. Tak mungkin kita kembali ke masa lalu. Tapi, tawaran mengecap sisa-sisa keindahan itu bukanlah sia-sia, karena akan terus membekas dalam ingatan.
No comments:
Post a Comment