Feb 15, 2011

Ekonomif berlabel Eksekutif

Setelah menemani Bintang Kecilku selama dua minggu di rumah neneknya, dan urusan akte kelahiran selesai, aku segera kembali ke Bogor untuk menyelesaikan berbagai hal. Apalagi aku belum membenahi rumah ataupun menyiapkan istana untuknya. Duh, beratnya kaki melangkah. Tapi, harus kulakukan juga.

Dengan segala keribetan administrasi untuk akte, jadwal kepulanganku terus tertunda. Akhirnya aku tak berani memesan tiket pesawat untuk pulang, meski suami terus memberikan jadwal penerbangan yang mungkin bisa aku pilih. Lagipula, untuk mencapai bandara terdekat, Malang atau Surabaya, aku masih harus berkendara minimal empat jam. Dengan tentengan tak sedikit, sendirian, otomatis pilihan ini aku eliminasi.

Akhirnya, pilihanku jatuh pada bus malam eksekutif merk L yang sebenarnya sudah sekitar sepuluh tahun tak lagi jadi pilihan. Pasalnya, bus ini pernah mengecewakanku amat sangat sebanyak tiga kali.

Pertama, saat perjalanan menuju Bogor dan baru mencapai tol Gresik mendadak bus berhenti, dan harus menunggu lama untuk bisa jalan kembali. Apa sebab? Tak ada yang memberitahukan. Tapi, selidik-punya selidik, ternyata BENSIN HABIS! Bus eksekutif kehabisan bensin? Hampir seluruh penumpang bergumam:"kok bisa?"

Sebelum bisa jalan kembali, si kenek harus membawa jerigen dan menumpang bis lain untuk mendapatkan bensin di pom terdekat. Meski menahan kesal, kami tak punya pilihan. Ini di tengah jalan tol!

Kedua, di lain kesempatan, dalam perjalananku dari Jakarta menuju Bogor (setelah perjalanan lancar dari Jember ke Jakarta), entah ada masalah apa dengan menejemen perusahaan, dari telepon genggam kru yang lewat aku mendengar pembicaraan bahwa seluruh kru perusahaan bus L yang aku tumpangi ini akan demo. Tapi, tak terpikir olehku bahwa caranya akan demikian: kru bus MENURUNKAN seluruh PENUMPANG yang hendak menuju Bogor (pool bus) di JALAN TOL!

Apa yang harus kami lakukan? Ini gila!

Di tengah kebingunganku, datang satu bus trayek Jakarta- Bogor berhenti dekat kami dan bergegas menarik kami naik ke dalam bus yang telah penuh sesak. Dan, ketika aku masih bingung dengan kejadian yang baru lewat, kenek bus sudah menagih ongkos.
Tentu aku marah dibuatnya.

Dengan kesal ku katakan padanya:"kenapa tak minta pada kru bus L tadi?"

Tapi yang terjadi adalah, si kenek balik memarahiku:"kalau mbak nggak mau bayar, silahkan turun saja. Sudah untung kami mau angkut ke Bogor. Asal tahu aja, di tol tak boleh menurunkan atau menaikkan penumpang!"

Maksudnya mungkin: dia sudah berani ambil resiko di tilang hanya untuk "menolong" kami yang terlantar di tengah jalan tol tapi kami tak mau bayar, tentu marahlah dia. Di lain pihak - aku dan penumpang lain- masih berhak menikmati layanan sampai tujuan-Bogor. Kami tak mau bayar lagi. Tapi, situasi tak mengijinkan kami untuk bernego. Kami kalah posisi!

Aarrghhh...!

Marah, kesal, bertanya-tanya, dongkol..semua menyesaki dada dan pikiran. Kurang ajar betul! Sama sekali tak cocok dengan labelnya!

Ketiga, saat dari Bogor hendak kembali ke kampung, tanpa sebab aku harus menunggu lama di pool selama kurang lebih tiga jam. Setelah dinyatakan bus telah siap, dan aku naik, yang kurasakan tak lebih seperti naik bajaj berpendingin. Bus berguncang hebat, bahkan di jalan tol yang mulus! Perasaan tak enak kembali menyergap.

Dan...benar adanya, memasuki sebuah gerbang tol menuju luar kota, bus berhenti mendadak. Eh, bukan..dengan terbatuk-batuk. Kami, penumpang menunggu lama di atas bus. Belum pupus penasaran kami, tiba-tiba kru bus meminta penumpang untuk turun dan bantuan kami untuk...MENDORONG bus agar mesinnya menyala kembali! What a day!

Dari tiga pengalaman ini aku memutuskan untuk menyudahi petualangan ala bus eksekutif tapi rasa ekonomi persembahan bus merk L.

Tapi, tentu anda heran kenapa aku harus menunggu sampai tiga kali dikecewakan? Tidakkah cukup sekali saja? Tak lain adalah karena bus L, satu-satunya akses langsung menuju Bogor tempat adikku kuliah dan tempat orang tua calon suamiku (dulu) tinggal. Belum ada pesaing bus lain. Baru beberapa waktu kemudian muncul beberapa bus lain, dan menjadi pilihan meski hanya sampai Jakarta. Setidaknya, dengan bus pesaing ini, aku belum pernah di kecewakan.

Lalu, kenapa aku kembali memilih bus ini? Padahal, kru menaikkan penumpang dari jalan (meski hanya sampai Surabaya), sopir merokok di bawah papan yang jelas-jelas menerangkan larangan merokok dalam bus, servis makan malam yang tak manusiawi (karena aku merasa diperlakukan seperti bebek). Dengan hanya berlauk sepotong kecil ayam goreng tanpa daging, kering kentang dan kuah soto bercita rasa air payau, tentu jauh lebih enak makanan di warteg! Bahkan kalah dibandingkan persembahan bus lain.

Setelah ku cari-cari alasan, ini dia yang ku dapat:
  • Satu, berharap pelayanannya lebih baik dari sepuluh tahun lalu (meski ternyata tidak).
  • Dua, aku sedang lelah sehingga malas jika harus turun di Jakarta dan menyambung sendiri dengan kendaraan lain.

Tapi, harapanku tak berbalas setimpal.

Di tengah kantuk yang menyergap, sayup kudengar sang sopir membanggakan PO yang dia hormati (karena memberinya nafkah) pada seorang penumpang karena telah berstandard nasional (berlisensi). Beda dengan bus lain yang tidak berlisensi.

Dalam hati aku bergumam.."ya, pak..bus ini memang beda! Tapi, tak oke!"
Sambil menahan dongkol dan kaki yang bengkak..

No comments:

Post a Comment